Lompat ke konten
Home » √ KAIDAH- KAIDAH USHUL FIQH, Pembahasan dari Imam Syafi’i

√ KAIDAH- KAIDAH USHUL FIQH, Pembahasan dari Imam Syafi’i

Daftar Isi

USHUL FIQH
Ushul fiqh

www.rangkumanmakalah.com

A. Pendahuluan

Qawaidul Ushuliyah (kaidah-kaidah Ushul fiqh ) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas syari’ah, calon mujtahid yang akan meneruskan perjuangan pendahulu – pendahulu kita dalam membela dan menegakkan islam dimanapun berada. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apaitu Qawaidul ushuliyah. Maka dari itu, kami selaku penyusun mencoba untuk menerangkan tentang kaidah – kaidah ushul, mulai dari pengertian, perkembangan, sumber-sumbernya, dan beberapa urgensi dari kaidah – kaidah ushul.

Kaidah – kaidah Pokok Ushul Fiqh

Dalam ushul fiqh terdapat 5 kaidah pokok, yaitu:

  1. الأُمُـوْرُ بـِمَـقـَاصِـدِهَا(Segala sesuatu bergantung pada tujuannya)
  2. الْيـَقِـيْنُلَايُزَالُبِالشَّـكِ(Keyakinan tidak dapat hilang karena adanya keraguan)
  3. الْمـُشَـقَّةُتَـجْـلِبُالتَّـيْسِـيْرُ(Kesukaran mendatangkan kemudahan)
  4. الضَّرَرُيُـزَالُ(Kemudharatan harus dihilangkan)
  5. الْـعَـادَةُمُحَكَّـمَةٌ (Kebiasaan dapat menjadi hukum)

Untuk memperjelas memperjelas maksud dari kaidah-kaidah tersebut, kami akan menyertakan contoh dari masing-masing kaidah-kaidah tersebut.

Kaidah Ushul Fiqh 1

الأُمُـوْرُ بـِمَـقـَاصِـدِهَا(Segala sesuatu bergantung pada tujuannya)

Pengertian kaidah ini bahwa hukum yang berimplikasikan terhadap suatu perkara yang timbul dari perbuatan atau perkataan subjek hukum (mukallaf) tergantung pada maksud dan tujuan dari perkara tersebut.[1]

Contoh: Kalau kita sholat kita pasti bertemu dengan yang namanya niat, kalau kita tidak bertemu dengan yang namanya niat berarti kita tidak pernah sholat. Begitu juga dengan yang lainnya, seperti puasa, zakat, haji dll. Kita pasti bertemu dengan yang namnya niat.

Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang berbunyi:

”Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat.”(QS. Ali-Imran: 145)

Kaidah Ushul Fiqh 2

الْيـَقِـيْنُلَايُزَالُبِالشَّـكِ(Keyakinan tidak dapat hilang karena adanya keraguan)

Kaidah ini berarti bahwa keyakinan yang sudah mantap atau yang sealur dengannya, yaitu sangkaan yang kuat, tidak dapat dikalahkan oleh keraguan yang muncul sebagai bentuk kontradiktifnya, akan tetapi ia hanya dapat dikalahkan oleh keyakinan atau asumsi yang kuat yang menyatakan sebaliknya.[2]

Contoh: Kalau misalkan kita mau melakukan sholat, tapi kita masih ragu apakah kita masih punya wudhu’ atau tidak, maka kita harus berwudhu’ kembali, akan tetapi kalau kita yakin kita masih punya wudhu’, kita langsung sholat saja itu sah, meski pada kenyataannya wudhu’ kita telah batal.

Kaidah Ushul Fiqh 3

الْمـُشَـقَّةُتَـجْـلِبُالتَّـيْسِـيْرُ(Kesukaran mendatangkan kemudahan)

Makna dari kaidah diatas adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf , maka syari’ah meringankannya, sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.

Contoh: Apabila kita melakukan perjalanan yang mana perjalanan tersebut sudah sampai pada batas diperbolehkannya mengqasar sholat, maka kita boleh mengqasar sholat tersebut, karena apa bila kita tidak mengqsar shoalat kemungkinan besar kita tidak akan punya waktu yang cukup untuk shalat pada waktunya. Karena seseorang yang melakukan perjalanan pastilah akan dikejar waktu untuk agar cepat sampai pada tujuan, dan itu termasuk pada pekerjaan yang sulit di lakukan apabila harus melakukan sholat pada waktu sholat tersebut.

Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang berbunyi:

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”(QS. Al-Baqoroh: 185)

Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.”(QS. An-Nisa: 28)

Kaidah Ushul Fiqh 4

الضَّرَرُيُـزَالُ(Kemudharatan harus dihilangkan)

Konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tindak menyetujui), baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.[3]

Hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW yang diri wayatkan oleh Ibnu Majah, Ad-Daruquthni, dan lain – lain dari Sa’id Al-khudrira.BahwaRasulullah SAW bersabda:

لاَضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

“Janganlah merugikan diri sendiri dan janganlah merugikan orang lain.”[4]

Contoh: kalau misalkan ada pohon besar dengan buah yang banyak yang mana buah tersebut sering jatuh dan sering mengenai kepala orang yang lewat dibawahnya hingga ada yang harus dibawa ke rumah sakit, maka dengan beracuan pada kaidah ini pohon tersebut harus di tebang.

Kaidah Ushul Fiqh 5

الْـعَـادَةُمُحَكَّـمَةٌ (Kebiasaan dapat menjadi hukum)

Adat yang dimaksudkan kaidah Ushul fiqh diatas mencakup hal yang penting, yaitu : di dalam adapt ada unsur berulang-ulang dilakukan, yang dikenal sebagai sesuatu yang baik.

Contoh: ketika di suatu tempat ada suatu kebiasaan, yang mana kebiasaan tersebut telah mendarah daging, maka dengan sendirinya kebiasaan tersebut akan menjadi hukum, misalkan kebiasaan petik laut, kalau ada masyarakat pesisir yang tidak melakukan petik laut tersebut, maka dia akan dikucilkan oleh masyarakat setempat.

Dalam masalah muamalat, adat kebiasaan bisa dijadikan dasar hukum, dengan syarat adat tersebut diakui dan tidak bertentangan dengan ketentuan – ketentuan umum yang ada dalam syara’. Kaidah ini didasarkan kepada hadis Nabi SAW:

مَارَأهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللّهِ حَسَنٌ

“Sesuatu yang oleh orang muslim dipandang baik, makadisisi Allah juga dianggap baik.”[5]

Kaidah – kaidah Umum Ushul Fiqh

Dalam ushul fiqh terdapat 40 kaidah umum. Kami akan membahas 10 kaidah yang telah kami ambil dari 20 kaidah pertama yang sesuai dengan muamalah, yaitu:

Kaidah 1

الإِيْثَارُ بِالْقُرَبِ مَكْرُوْهٌ وَفِى غَيْرِهَا مَحْبُوْبٌ (Mengutamakan orang lain dalam urusan ibadah adalah makruh dan dalam urusan selain ibadah adalah disenangi)

Dasar kaidah ini para ulama mengambil dari ayat al-Qur’an yang berbunyi:

“Merekaitu (shahabat Anshor) mengutamakan shahabat muhajirin dan mengalahkan dirinya sendiri walaupun sebenar nya merekamemerlukan)” (QS. Al-Hasyr: 9)

Contoh: Air terbatas, kesempatan wudlu ada, justru air diberikan kepada orang lain sehingga ia tidak bias mengerjakan shalat. Pengutamaan kepada orang lain yang seperti ini haram hukumnya karena menyebabkan dirinya sendiri meninggalkan yang wajib. Contoh yang lainnya adalah: mendahulukan orang lain dalam menerima zakat.

Kaidah 2

الحُدُوْدُ يَسْقُطُ بِالشُّبُهَاتِ (Hukuman itu gugur sebab adanya subhat)

Kaidah ini didasarkan kepada hadis Nabi SAW:

إِدْرَؤُاالحُدُوْدُبِالشُبُهَاتِ

“Hindarkanlah hukuman-hukuman karena adanya syubhat”

Contoh: Orang yang berhubungan seks dengan wanita lain yang disangka istrinya itu tidak bisa di had. Contoh yang lainnya adalah: Orang yang menikah menggunakan dua pendapat seperti: kontrak atau mut’ah itu juga tidak bisa di had.[6]

Yang termasuk dalam kaidah ini adalah:

الكَفَّارَةُتَسْقُطُبِالشُبُهَاتِ

“Kewajiban membayar kafarat gugur karena adanya syubhat”

Contoh: orang melakukan persetubuhan pada waktu puasa ramadhan karena lupa, tidak wajib membayar kafarat.

Kaidah 3

الحَرِيمُ لَهُحُكْمُ مَاهُوَ حَرِيمٌ لَه (Yang mengelilingi larangan hokum nya sama dengan yang dikelilingi)

Kaidah ini didasarkan kepada hadis Nabi SAW:

الحَلاَلُبَيْنَوَالحَرَامُبَيْنَوَبَيْنَهُمَامُشْبَبَهَاتلاَيَعْلَمُهُنَّكَثِيْرٌمِنَالنَّاسِ ….

)رواهالشيخان (

Yang halal telah jelas dan yang haram telah jelas dan diantara keduanya ada masalah-masalah mutasyabihat (yang tidak jelas hukumnya), yang kebanyakan orang tidak mengetahui hukumnya….” (HR. Bukhori dan Muslim)

Contoh: Haram meminum khamr berarti haram pula menjualnya.

Kaidah 4

الخُرُوْجُ بِالضَّمَانِ (Berhak mendapatkan hasil disebabkan keharusan mengganti kerugian)

Contoh: Membeli sesuatu yang ada illatnya itu boleh dikembalikan.[7]

Kaidah 5

الخُرُوْجُ مِنَ اْلخِلاَفِ مُسْتَحَبٌّ (Keluar dari khilaf itu hukumnya sunnah)

Kaidah ini didasarkan kepada hadis Nabi SAW:

فَمَنْاتَّقَىالشُّبُهَاتفَقَدْاسْتَقْرَألَدَيْنَهوَعَرِّضْهُ

Maka barang siapa menjaga diri dari syubhat, maka ia telah mencari kebersihan untuk agama dan kehormatannya”

Contoh:Shalat sunnah qashar atau jama’ dalam perjalanan jauh.[8] Contoh yang lainnya adalah: mengutamakan anggota wudhu.

Kaidah 6

الرُّخْصَ لاَتُنَاطُ بِالشَّكِ (Keringanan itu tidak untuk hal-hal yang meragukan)

Contoh:Wajib mengulangi sesuatu yang dikerjakan dengan ragu-ragu, misalnya lupa sudah berwudhlu atau belum maka kita harus berwudhlu lagi.[9]

Kaidah 7

السُّؤَالُ مُعَاذٌ فِى اْلجَوَابِ (Pertanyaan itu diulangi dengan jawaban)

Contoh: Jika ada seorang berkata aku jual barang ini dengan harga seribu, lalu ada orang lain menjawab: aku beli, itu berarti membeli dengan harga seribu.

Kaidah 8

لاَيُنْسَبُ اِلَى سَاكِتٍ قَوْلٌ (Suatu pendapat tidak disandarkan kepada yang diam)

Contoh: Jika seorang ditawari ijab dalam transaksi jual beli lalu dia diam, maka sikap diamnya serta-merta tidak dapat diartikan sebagai menerima transaksi tersebut (qabul).[10]

Kaidah 9

مَاكَانَ اَكْثَرَ فِعْلاً كَانَ اَكْثَرَ فِضْلاً (Perkara yang banyak pekerjaannnya, maka banyak pula pahalanya)

Kaidah Ushul fiqh ini didasarkan kepada hadis Nabi SAW:

اَجْرُكِعَلَىقَدْرِنَصْبِكِ (رواهمسلم)

Pahalamu adalah berdasar kan kadar usahamu” (HR. Muslim)

Contoh: Shalat witir terpisah itu lebih utama daripada disambung.[11]Sebab dengan diputusakan tambah niat, takbir dan salam.

Kaidah 10

المُتَعَدِّى اَفْضَلُ مِنَ اْلقَاصِرِ (Perbuatan yang mencakup kepentingan orang lain lebih utama dari pada hanya terbatas untuk kepentingan sendiri)

Menurut Imam Asy-Syafi’I, mencari ilmu itu lebih utama daripada sholat sunat, karena mencari ilmu akan bermanfa’at kepada orang banyak, sedangkan sholat sunat itu manfa’atnya hanya pada diri sendiri.

Contoh yang lainnya adalah: Menurutparaulama’ bahwa orang yang kelewat batas itu lebih baik dari pada orang yang sembrono).

Kesimpulan

Dalam ushul fiqh terdapat 5 kaidah pokok, yaitu:

  1. الأُمُـوْرُ بـِمَـقـَاصِـدِهَا (Segala sesuatu bergantung pada tujuannya)
  2. الْيـَقِـيْنُلَايُزَالُبِالشَّـكِ (Keyakinan tidak dapat hilang karena adanya keraguan)
  3. الْمـُشَـقَّةُتَـجْـلِبُالتَّـيْسِـيْرُ (Kesukaran mendatangkan kemudahan)
  4. الضَّرَرُيُـزَالُ (Kemudharatan harus dihilangkan)
  5. الْـعَـادَةُمُحَكَّـمَةٌ (Kebiasaan dapat menjadi hukum) (makalah)

Dalam ushul fiqh terdapat 40 kaidah umum. Kami akan membahas 10 kaidah yang telah kami ambil dari 20 kaidah pertama yang sesuai dengan muamalah, yaitu:

الإِيْثَارُ بِالْقُرَبِ مَكْرُوْهٌ وَفِى غَيْرِهَا مَحْبُوْبٌ

Mengutamakan orang lain dalam urusan ibadah adalah makruh dan dalam urusan selain ibadah adalah disenangi.

الحُدُوْدُ يَسْقُطُ بِالشُّبُهَاتِ

Hukuman itu gugur sebab adanya subhat

الحَرِيمُ لَهُحُكْمُ مَاهُوَ حَرِيمٌ لَه

Yang mengelilingi larangan hokum nya sama dengan yang dikelilingi.

الخُرُوْجُ بِالضَّمَانِ

Berhak mendapatkan hasil disebabkan keharusan mengganti kerugian.

الخُرُوْجُ مِنَ اْلخِلاَفِ مُسْتَحَبٌّ

Keluar dari khilaf itu hukumnya sunnah.

الرُّخْصَ لاَتُنَاطُ بِالشَّكِ

Keringanan itu tidak untuk hal-hal yang meragukan.

السُّؤَالُ مُعَاذٌ فِى اْلجَوَابِ

Pertanyaan itu diulangi dengan jawaban.

لاَيُنْسَبُ اِلَى سَاكِتٍ قَوْلٌ

Suatu pendapat tidak disandarkan kepada yang diam

.مَاكَانَ اَكْثَرَ فِعْلاً كَانَ اَكْثَرَ فِضْلاً

Perkara yang banyak pekerjaannnya, maka banyak pula pahalanya.

المتع المُتَعَدِّى اَفْضَلُ مِنَ اْلقَاصِرِ

Perbuatan yang mencakup kepentingan orang lain lebih utama dari pada hanya terbatas untuk kepentingan sendiri.

Demikian informasi seputar kaidah – kaidah Ushul fiqh semoga bermanfaat

*situs: www.rangkumanmakalah.com

DAFTAR PUSTAKA

Hakim, Abdul Hamid. 1928. Mabadiul Awaliyyah. Beirut

Muslich, Ahmad Wardi. 2010. Fiqih Muamalat. Amzah

Setiawan, Wahyu. 2009. TerjemahQawa’id Fiqhiyyah. Jakarta: Amzah

Mubarok, Jaih. 2002. Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah Asasi). Jakarta: PT RajaGrafindoPersada


[1]Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam (penerjemah: Wahyu Setiawan), Qawa’id Fiqhiyyah, Amzah, 2009, hal. 6

[2]Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam (penerjemah: Wahyu Setiawan), Qawa’id Fiqhiyyah, Amzah, 2009, hal. 15

[3]Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam (penerjemah: Wahyu Setiawan), Qawa’id Fiqhiyyah, Amzah, 2009, hal. 15

[4]IbnuMajah ,SunanIbnuMajah, Juz 2, CD. MaktabahKutubilMutun, Seri 4, hlm. 743.

[5]IbnuMajah ,SunanIbnuMajah, Juz 2, CD. MaktabahKutubilMutun, Seri 4, hlm. 743.

[6]Abdul Hamid Hakim, Mabadiul Awaliyyah, Beirut, 1928, hal. 42

[7]Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam (penerjemah: Wahyu Setiawan), Qawa’id Fiqhiyyah, Amzah, 2009, hal. 24

[8]Abdul Hamid Hakim, Mabadiul Awaliyyah, Beirut, 1928, hal. 24

[9]Abdul Hamid Hakim, Mabadiul Awaliyyah, Beirut, 1928, hal. 43

[10]Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam (penerjemah: Wahyu Setiawan), Qawa’id Fiqhiyyah, Amzah, 2009, hal. 25

[11]Abdul Hamid Hakim, Mabadiul Awaliyyah, Beirut, 1928, hal. 44


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *