Lompat ke konten
Home » √ Kontak Sosial dalam Pemikiran Politik Sunni

√ Kontak Sosial dalam Pemikiran Politik Sunni

Daftar Isi

Pemikiran Politik Sunni
Pemikiran Politik Sunni

Kontak sosial dalam pemikiran Pemikiran Politik Sunni – Sebagai mayoritas umat Islam, penganut paham Sunni dikenal sebagai pengikut mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, untuk dibedakan dari pengikut aliran lain dalam Islam yang pandangan-pandangannya dianggap menyimpang dari apa yang telah disepakati mayoritas umat.[3]

Senada dengan pandangan tersebut, A. J Wensinck menyatakan bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah atau pengikut mazhab Sunni adalah mereka yang menolak berbagai bentuk penyimpangan ajaran Islam.[4] Istilah Sunni biasanya digunakan untuk mengekpresikan sikap oposisi terhadap Syi’ah. Namun, sejarah mencatat bahwa oposisi ini muncul akibat dari ketegangan politik pada masa awal Islam. Ketegangan-ketegangan ini diekspresikan dalam istilah teologis dan terutama berkaitan dengan persoalan kepemimpinan umat yang membelah identitas umat Islam. Sejak itulah sebagian umat Islam mulai menyebut diri mereka sendiri sebagai penganut Sunni sebagai lawan dari Syi’ah.

Meskipun Islam Sunni biasanya dikaitkan dengan aliran teologi Asy’ari, ada bukti yang cukup bahwa istilah Sunni telah muncul jauh sebelum mas Asy’ari. Istilah ini telah dipergunakan berkaitan dengan orang-orang yang ingin mendapatkan rujukan langsung dari teks Al-Qur’an dan Hadis dalam persoalan agama. Mereka akan diam jika tidak mendapat rujukan dari keduanya karena mereka tidak ingin melanggar batasan-batasan yang telah ditentukan oleh kedua sumber ajaran tersebut.

Orang-orang seperti itu lebih dikenal dengan Ahli Hadis adn terutama terdiri dari para sahabat Nabi dan para pengikut mereka. Mereka juga dikenal dengan nama salaf (para pendahulu), untuk dibedakan dengan Ahli Rakyu atau pendukung pemikiran rasional-spekulatif yang lebih cndong mengikuti spekulasi intelektal dengan mengedepankan penalaran analogis.[5]

Perselisihan mereka bermula dari persoalan sifat-sifat Tuhan. Kalangan Ahli Hadis berpendirian bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat yang kekal, seperti maha mengetahui, maha kuasa, mendengar, melihat, dan berbicara. Mereka tidak membedakan antara sifat-sifat yang terkait dengan dzat dan yang terkait dengan perbuatan. Mereka juga tidak berkeinginan untuk menginterpretasikan arti sifat-sifat tersebut. Umpanya, Malik ibn Anas, ketika beliau diminta untuk menjelaskan arti ayat Al-Qur’an yang menyatakan Tuhan duduk di atas singgasana, beliau cukup menjawab, “duduk itu sudah jelas, tetapi bagaimana duduknya ini tidak diketahui; mengimaninya adalah wajib, sedangkan mempertanyakan tentang hal itu adalah bid’ah”.[6]

Ranah Sosial dalam Pemikiran politik Sunni

Pemikiran Politik Sunni – Secara umum, hampir seluruh umat muslim di indonesia adalah penganut Sunni, atau lebih tepatnya penganut aliran ahl al-sunnah wa al-Jama’ah. Aliran inilah yang dijadikan model utama dalam mempraktikkan islam di Indonesia. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kita dapati bahwa hampir setiap kelompok atau organisasi keagamaan di kalangan umat islam Indonesia sepaham dengan paham ini.

Nahdlatul Ulama atau NU, misalnya, sebagai representasi kalangan tradisionalis muslim, secara eksplisit menyatakan dalam Anggaran Dasar organisasinya bahwa mereka, dalam hal keyakinan ibadah, menganut ajaran ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Di samping itu, mereka juga memperjuangkan Islam sesuai dengan ajaran salah satu mazhab fikih dalam Islam, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Dalam anggaran Dasar organisasi yang paling awal disebutkan bahwa NU didirikan dengan maksud untuk mempertahankan ajaran empat mazhab dan bertujuan untuk kepentingan Islam.[7]

Dalam perkembangannya, terutama dalam hal penyebaran, dakwah Islam terkadang tidak dapat dipisahkan dengan Konteks sosial. Dengan artian bahwa untuk mendakwahkan Islam tidak dapat dilakukan secara langsung dan bertentangan dengan budaya setempat.

Ambilah contoh proses penyebaran Islam di Indonesia. Menurut Sunan Kalijaga yang terbiasa tinggal di daerah pedalaman dan secara kultural dekat dengan lingkungan istana Jawa, pendekatan secara langsung dan asli tidak dapat dilakukan. Dia berpendapat bahwa dakwah Islam di wilayah yang didominasi oleh tradisi Hindu-Budha tidak dapat dilakukan secara langsung dan bertentangan dengan budaya setempat.

Sebaliknya, hal itu harus dilakukan secara persuasif dengan memberikan toleransi yang baik terhadap adat-istiadat lokal. Lebih jauh Sunan Kalijaga bahkan mencoba berusaha untuk menghidupkan kembali budaya lokal. Dia beralasan bahwa dengan pendekatan yang penuh toleransi inilah dia dapat menarik perhatian rakyat setempat untuk menerima Islam, sehingga kelak mereka dapat dibimbing untuk mempelajari ajaran Islam yang sebenarnya.

Chairul Anam sebagaimana dikutib oleh Fauzan menjelaskan bahwa pendekatan yang dijalankan Sunan Kalijaga inilah yang banyak diikuti oleh kalangan NU, termasuk para ulama di pesantren. Dalam melaksanakan dakwah para ulama yang tergabung dalam NU ini biasanya tampak lebih toleran terhadap bentuk-bentuk penyimpangan dari Islam “ortodoks” yang diakibatkan oleh pengaruh adat istiadat setempat. Mereka beralasan bahwa tradisi lokal dapat digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan Islam secara lebih luas.

Kecenderungan seperti ini telah ditampakkan dalam berbagai kebiasaan lokal yang dikaitkan dengan upacara-upacara keagamaan, seperti perkawinan, khitan, peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad dan upacara-upacara tertentu yang dimaksudkan untuk memperingati hari wafatnya seseorang pada hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, dan keseribu setelah kematian seseorang. Semua tradisi ini masih cukup populer di kalangan tradisionalis, termasuk dari NU.[8]

Karakteristik pengikut Sunni

Al Baghdadi dalam bukunya al-farq abyn al-firaq menerangkan bahwa karakteristik para pengikut Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah:

  1. meyakini keesaan Tuhan dan berpegang teguh pada doktrin yang meyakini adanya janji dan ancaman, yaitu tentang adanya pahala dan siksa;
  2. berpegang teguh pada keyakinan bahwa Allah mempunyai sifat qadim, menyatakan diri mereka bebas dari sifat antropomorfisme[9] dan juga dari meniadakan sifat-sifat Tuhan, serta menjauhi pandangan orang-orang Qadariyah dan Mu’tazilah;
  3. menyadari perlunya sholat berjama’ah pada hari Jum’at;
  4. mengakui adanya kewajiban untuk menerapkan hukum berdasarkan Al-Qur’an, Sunah dan ijma’ para sahabat;
  5. mentaati Sultan (pemimpin) dalam semua hal kecuali yang terkait dengan perbuatan dosa;
  6. berserah diri sepenuhnya kepada Allah, tunduk dan patuh kepada perintah-Nya;
  7. merasa puas (qana’ah) dengan apa yang ada. Merasa puas dengan rezeki yang diberikan pada mereka serta menjauhkan diri dari keinginan memberontak kepada Allah.

Demikian ulasan yang dapat saya sampaikan seputar kontak sosial dalam pemikiran politik sunni, semoga bermanfaat.

www.rangkumanmakalah.com

DAFTAR PUSTAKA

Al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal,

Bennedict R. O’G. Anderson, Language and Power: ExploringvPolitical Culture in Indonesia, (Ithaca and London: Cornell University Press, 1990)

Saleh, Fauzan, Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004)

Marmura, Michael, “Sunni Islam”, dalam The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, vol. 4

Wensinck, A. J, “Sunna”, dalam The Encyclopedia of Islam, vol. 7


[1] Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), 97.

[2] Fauzan Saleh. Lihat lebih lanjut, Bennedict R. O’G. Anderson, Language and Power: ExploringvPolitical Culture in Indonesia, (Ithaca and London: Cornell University Press, 1990), 68.

[3] Michael Marmura, “Sunni Islam”, dalam The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, vol. 4, 140.

[4] A. J, Wensinck, “Sunna”, dalam The Encyclopedia of Islam, vol. 7, 155.

[5] Fauzan Saleh , Teologi Pembaruan, 98.

[6] Al-Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal,

[7] Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan, 104-105.

[8] Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan, 108.

[9] Terkait dengan antropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apapun. Lebih lanjut lihat A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam, (Jakarta: PT Alhusna Zikro, 1995), 109.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *