Daftar Isi
Periodisasi pemikiran islam klasik (650-1250)
Periodisasi pemikiran islam – Periode klasik dapat dibagi ke dalam dua fase, yaitu fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000); dan fase disintegrasi (1000-1250). Fase pertama (650-1000) yaitu zaman dimana wilayah Islam mulai meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan di Persia sampai ke India di Timur. Wilayah itu berada dalam teritorial khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah dan kemudian di Damsyik dan terakhir di Baghdad. Di masa inilah berkembang dengan pesat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang coraknya bermacam-macam seperti fiqh, filsafat, sufisme dan termasuk teologi.[3]
Dari periode ini ulama–ulama fiqh yang mucul seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafii. Sementara dalam bidang teologi ulama-ulama yang lahir adalah Imam Al-Asy’ari, Imam Al-Maturidi, Washil Bin Atho’ Abu Huzail, Al-Nizam dan Al-Jubai. Fase kedua (1000-1250) adalah persatuan dan kesatuan umat Islam mulai mengalami kemunduran. Konflik politik seringkali melanda sehingga hancurnya imperium Islam yang menyebabkan Baghdad berhasil dikuasasi oleh Hulaghu Khan di tahun 1258.[4]
Terjadinya gelombang ekspansi pertama, semenanjung Arab, Palestina, Suria, Irak, Persia dan Mesir sudah masuk dalam wilayah kekuasaan Islam. Pada 661 M, Mu’awiyah membangun dinasti Bani Umayah dan dimulailah gelombang ekspansi yang kedua. Perluasan kekuasaan yang sudah dimulai sejak zaman Umar dilanjutkan kembali setelah beberapa lama banyak mengurusi masalah internal.
Namun konflik internal kembali terjadi di lingkungan dinasti yang menyebabkan kekuasaan Bani Umayah hanya berlangsung selama kurang lebih 90 tahun (661 M – 750 M) dan kemudian diambil alih oleh Bani ‘Abbasiyah. Bani Abbasiyah (750 M – 1258 M) diwarisi kekuasaan yang cukup luas, meliputi Spanyol, Afrika Utara, Suriah, Semenanjung Arabia, Irak, sebagian dari Asia Kecil, Persia, Afganistan dan sebagian wilayah Asia Tengah. Di beberapa wilayah kekuasaan itu merupakan pusat kebudayaan besar seperti Yunani, Suryani, Persia dan India. Karenanya beberapa khalifah pada masa Bani Abbasiyah lebih memusatkan pada pengembangan pengetahuan.[5]
Semangat agama yang sangat menghargai ilmu pengetahuan, terekspresi pada masa kekuasaan Bani ‘Abbasiyah, khususnya pada waktu khalifah al-Ma’mun (berkuasa sejak 813-833 M). Penerjemahan buku-buku non-Arab ke dalam bahasa Arab terjadi secara besar-besaran dari awal abad kedua hingga akhir abad keempat hijriyah. Perpustakaan besar Bait al-Hikmah didirikan oleh khalifah al-Ma’mun (813-833) di Baghdad yang kemudian menjadi pusat penerjemahan dan intelektual.[6]
Buku-buku yang diterjemahkan terdiri dari berbagai bahasa, mulai dari bahasa Yunani, Suryani, Persia, Ibrani, India, Qibti, Nibti dan Latin. Keberagaman sumber pengetahuan dan kebudayaan inilah yang kemudian membentuk corak filsafat Islam selanjutnya, khususnya karya-karya klasik Yunani seperti Plato dan Aristoteles.[7]
Menurut Fazlur Rahman, yang disebut filsafat Islam dalam hubungannya dengan filsafat Yunani harus dilihat dalam konteks hubungan “bentuk-materi.” Jadi filsafat Islam sebenarnya adalah filsafat Yunani secara material namun diaktualkan dalam bentuk sistem yang bermerk Islam. Sehingga dengan demikian tidaklah mungkin untuk mengatakan bahwa filsafat Islam hanya merupakan carbon copy dari filsafat Yunani atau Helenisme. Elaborasi karya klasik dengan dialektika dogma dan stigma masyarakat, melahirkan karya mutakhir pada zamannya yang bercorak Islam.[8]
Pada prinsipnya, motivasi pengembangan sains dan filsafat dalam pemikiran keislaman, yaitu pertama motivasi kultural (ba’its tsaqafi) yakni adanya kebutuhan untuk berdebat dengan orang-orang dari agama lain dan membujuk mereka untuk memeluk Islam, dan kedua karena alasan praktis dalam memperbaiki pola kehidupan. Ketika terjadi gelombang kebudayaan luar dalam dunia Islam yang meliputi aqidah kaum Majusi (penyembah api) dan kaum Dahriah, kekhalifahan ‘Abbasiyah menganggap perlu bagi kaum muslim untuk mempelajari ilmu-ilmu logika serta sistem berpikir rasionalis lainnya untuk menangkal aqidah yang datang dari luar itu.[9]
Gairah penggalian terhadap ilmu pengetahuan telah mendorong para ilmuan Islam untuk dapat menghasilkan penemuan-penemuan baru seperti; di bidang kedokteran (Muhammad Ibn Zakariyyah Ar-Razi: Kitab Al-Judari wal Hashbah: buku tentang cacar dan campak. Abu Ali Al-Husain Ubn Zina: Al-Qahun Fi-ith-Thiha : Pedoman ilmu Kedokteran), Farmasi (Abdullah bin Ahmad Ibn Baytar: Jami’ Fi adwiyat al-Mufradah: Bahn lengkap tentang ramuan obat sederhana) Astronomi ( Abu Rasyihan al-Biruni: Maqolid Ilm Al- Hay’ah : Kunci ilmu bintang-bintang) Pertanian (Abi Zakariyya Ibn Awwam: Kitab Al Filahah : Biku Ilmu pertanian) Ilmu Hewan (Syaraf Az-Zaman Al Mawazi: Thabay Al Hayawan : Ilmu tentang tabiat binatang. Lahirnya cendekiawan dan ilmuan muslim mencitrakan Islam menjadi referensi peradaban pada masanya.[10] Baca juga: Sejarah Islam di Spanyol.
Periodisasi pemikiran islam Pertengahan (1250-1800)
Periodisasi pemikiran islam – Pada periode pertengahan juga di bagi dua. Periode pertengahan I (1250-1500) adalah fase kemunduran. Pada fase ini ‘benih’ perpecahan dan disintegrasi antara umat Islam mengalami eskalasi. Konflik antara Sunni dan Syai’ah semakin menajam. Di sisi lain secara geografis dunia Islam mengalami perpecahan menjadi nation-state kecil akibat kuatnya disintegrasi. Secara umum teritori Islam terbagi dua yaitu bagian Arab yang terdiri dari Arabia, Suria, Iraq, Palestina, Mesir dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai pusatnya. Kedua yaitu bagian Persia yang terdiri dari atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusat.[11]
Fase II adalah Fase tiga kerajaan besar (1500-1800) yang dimulai dengan zaman kemajuan (1500-1700) dan zaman kemunduran (1700-1800). Tiga kerajaan besar itu adalah kerajaan Turki Utsmani (Ottoman Empire) yang berpusat di Turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India. Di masa kemajuan ini masing-masing kerajaan mempunyai keunggulan masing-masing khususnya di bidang literatur dan seni arsitektur. Namun, bila dibandingkan dengan kemajuan di era klasik, kemajuan di era ini sungguh jauh. Karena pada era pertengahan ini perhatian umat Islam terhadap ilmu pengetahuan masih merosot tajam atau masih sangat rendah.[12]
Periode ini biasanya dikenal dengan zaman kebekuan atau kejumudan. Kata jumud mengandung arti keadaan membeku, statis, tiada perubahan. Keadaan seperti ini melanda umat Islam sejak akhir abad 13 hingga memasuki abad 18 M. Pemikiran rasional yang dulu mendapat tempat yang proporsional digantikan dengan pemikiran tradisional. Adanya pengingkaran terhadap potensi manusia.
Kemandekan dan kejumudan pemikiran keagamaan terjadi, banyak mempersepsikan, sebagai akibat polemik akademik antara ulama rasionalis dan ulama tradisionalis, yang tampaknya ‘dimenangkan’ oleh ulama tradisionalis. Banyak referensi mencatat bahwa hal demikian terjadi setelah Al-Ghazali (1058-1111 M) mengugat dan mempertanyakan kaum filosof dalam bukunya Tahafut al-Falasifa (Kerancuan atas Para Filosof).[13]
Ibnu Rusyd membidas balik kritik Al-Ghazali, dan mencoba mensucikan filsafat. Beliau diakui sebagai murid Aristoteles termurni di antara para filosof muslim. Kontribusi utamanya Ibnu Rusyd terhadap filsafat Islam adalah, pertama, tesisnya tentang ragam jalur untuk mencapai kebenaran yang sama. Semua jalur yang dipakai sama-sama bisa diterima, dan didasarkan pada teori makna (the theory of meaning) yang sangat rasional dan kaya pemikiran. Kedua, Ibnu Rusyd berusaha memadukan antara filsafat dan agama setelah Al-Kindi , filosof pertama yang memadukan keduanya. Bahkan dia berpendapat bahwa agama Islam secara inherent adalah agama yang filosofis karena agama mewajibkan kita berfilsafat. Kedua filosof muslim di atas berserta filosof lainnya membalikkan pandangan Al-Ghazali yang mengatakan bahwa agama dan filsafat bertentangan.[14]
Pemikiran Islam kritis dan rasional pasca-Ibnu Rusyd terasa mati karena memang pintu ijtihad dan rasionalisme tidak berkembang sejak abad pertengahan, dikunci oleh arus deras pemikiran konservatif para ulama. Ketika itu, banyak pemikiran filsafat yang diharamkan atau bahkan sang pemikirnya dijatuhi hukuman mati dan fatwa kafir (takfir) karena dianggap filsafat adalah produk bid’ah yang datang bukan dari Islam.[15]
Hasan Hanafi menyatakan, sebagaimana yang dikutip A. Khudori Soleh, bahwa penyebab kejumudan dan kebekuan pemikiran keagamaan adalah (1) Eksklusifisme. Karena adanya pentokohan, bahkan pensakralan individu, sikap tradisionalistik menggiring terbentuknya sikap-sikap eksklusif yang hanya menghargai dan mengakui kebenaran kelompoknya sendiri dan menolak keberadaan fihak lain. (2) Subjektifisme.
Sebagai akibat lanjut dari eksklusifisme, orang-orang kelompok ini menjadi kehilangan sikap objektifitas dalam menilai sebuah persoalan. Benar dan salah tidak lagi didasarkan atas persoalannya melainkan lebih pada asalnya, dari dan oleh kelompok mana atau tokoh siapa. (3) Determinisme. Sebagai akibat lebih lanjut dari dua konsekuensi diatas, dimana masyarakat telah tersubordinasi dan terkurung dalam satu warna, mereka menjadi terbiasa menerima “sabda” sang panutan dan menganggapnya sebagai sebuah keniscayaan tanpa ada keinginan untuk merubah apalagi menolak.[16]
Periodisasi pemikiran islam modern (1800-sekarang)
Periodisasi pemikiran islam – Periode ini merupakan zaman kebangkitan kembali (reformasi) akibat dari tenggelamnya tradisi intelektual dalam beberapa abad. Kesadaran akan kemajuan di dunia Barat dan penderitaan akan kolonialismenya, menuntut intelektual muslim mengambil dan mengembalikan peradaban Islam yang gemilang di masa silam. Dapat dipastikan bahwa penetrasi dan perkembangan modernisasi di dunia Islam terjadi setelah adanya koneksasi dengan Barat dalam rentang waktu yang sangat panjang, setidaknya menurut Harun Nasution ada empat tahapan, di antaranya adalah:[17]
Pendapat Harun Nasution
1) Koneksasi Pertama, yaitu permulaan abad ke-VII meluasnya wilayah Islam mencakup Yordania, Palestina, Suria, Irak dan Mesir yang ketika itu berada dibawah kekuasaan Kerajaan Bizantium yang berpusat di Barat.
2) Koneksasi Kedua, yaitu saat berkembangnya pemikiran rasional-ilmiah di kalangan sarjana Muslim yang menghasilkan filsafat dan sains Islam zaman klasik (650-1250 M).
3) Koneksasi Ketiga, yaitu saat terjadi transformasi intelektual Islam dengan Barat yang berakibat pemikiran rasional-ilmiah Islam dibawa ke Barat.
4) Koneksasi Keempat, yaitu saat terjadinya penetrasi dan penjajahan di dunia Islam yang bukan hanya melibatkan kekuasaan politik-meliter, tetapi juga pemikiran baru tentang sains dan teknologi modern.
Di kalangan orientalis sendiri (Gibb dan Smith), menilai reaksi modernisasi yang dilakukan di dunia Islam lebih cenderung bersifat “apologetis” terhadap Islam dari berbagai tantangan yang datang dari kaum kolonial dan misioneris Kristen dengan menunjukkan keunggulan Islam atas peradaban barat, dan juga modernisasi dipandang sebagai “romantisisme” atas kegemilangan peradaban Islam yang memaksa Barat untuk belajar di dunia Islam. Akan tetapi, sesudah itu Barat bangun dan maju, bahkan dapat mengalahkan dan mengusai dunia Islam sehingga menarik perhatian ulama dan pemikiran Islam untuk mengadopsi kemajuan Barat tersebut termasuk modernisasinya.[18]
Harun Nasution menyatakan secara implisit ide Pembaharuan yang menjadi titik fokus Muhammad Abduh dalam beberapa hal. Pertama, Pembongkaran kejumudan dalam tradisi pemikiran. Kedua, Menyerukan diadakannya ijtihad, tidak taqlid. Ketiga, Penghargaan terhadap akal. Keempat, Kesesuaian antara ilmu pengetahuan modern dengan agama. Kelima, Perbaikan sistem pendidikan. Keenam, Pemikiran politik.[19]
Mulai dari abad ke-19 timbul di dunia Islam aspek pembaruan, dikenal dengan nama perkembangan modern Islam, yang intinya adalah memperbarui pemikiran dalam Islam agar sesuai dengan perubahan-perubahan yang dibawa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Di sini terdapat juga dua aliran, aliran rasional yang terikat hanya kepada al-Qur’an dan hadis, dan aliran tradisional yang terikat selain kepada kedua sumber itu, juga kepada ijtihad ulama masa silam.[20]
Pendapat Ibnu Taimiyah
Menurut Ibnu Taimiyah, pembaruan dalam Islam timbul karena;[21]
1) Membudayanya khurafat di kalangan kaum muslimin
2) Kejumudan atau ditutupnya pintu ijtihad dianggap telah membodohkan umat Islam
3) Terpecahnya umat Islam sehingga sulit maju dan membangun.
4) Kontak antara Barat dan Islam telah menyadarkan kaum muslimin akan kemunduran.
Gelombang modernisasi semakin tak terelakkan, telah merambah dalam konstruksi pemikiran dan corak pemahaman keagamaan Islam. Pada akhir abad 18, Islam memberikan kesempatan modernisasi hingga sekarang ini. Para reformis seperti Muhammad bin Abdul Wahab, Amir Abdul Qadir al-Jazairy, Afghany, Abduh, As-Sanusy, al-Kawakiby, Muhammad Iqbal, Zia Tju Kalb, Khalid Muhammad Khalid, Malik bin Nabi, dan lainnya, telah membuka penafsiran baru ijtihad secara formulatif bagi kehidupan modern. Suatu rekayasa ijtihad yang member dukungan solusi bagi tuntutan modernitas.[22]
seorang filosof Perancis abad XX Michel Foucault yang dikutip oleh Wahyudi menyatakan “Manusia disetiap zaman memandang, memahami dan membicarakan kenyataan dengan cara tertentu. Setiap abad atau zaman memiliki ciri atau corak epistimologi sendiri-sendiri.” Sesuai dengan semangat Islam sebagai agama rahmatan lil alamin, cendekiawan senantiasa membumikan al-Qur’an dan hadits sesuai konteks sosiokultural dan dialektika intelektual.[23]
Pendapat A. Khudori Soleh
Periodisasi pemikiran islam – Mencermati perkembangan pemikiran Islam kontemporer, menurut A. Khudori Soleh, setidaknya ada lima trend besar yang dominan, yaitu: [24]
1. Fundamentalistik, yaitu kelompok pemikiran yang sepenuhnya percaya kepada doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif bagi kebangkitan umat dan manusia. Islam sendiri telah cukup, mencakup tatanan sosial, politik dan ekonomi sehingga tidak butuh segala metode maupun teori-teori dari Barat. Tokoh yang cenderung berpikiran fundamentalis adalah Sayyid Quthub, Muhammad Quthub, al-Maududi, Said Hawa, Anwar Jundi dan Ziauddin Sardar, dan di Indonesia ada Abu Bakar Ba`asyir, Ja`far Umar Thalib, Habib Habsyi.
2. Tradisionalistik (salaf), yaitu kelompok pemikiran yang berusaha untuk berpegang teguh pada tradisi-tradisi yang telah mapan, seluruh persoalan umat telah dibicarakan secara tuntas oleh para ulama pendahulu. Kecenderungan tersebut dapat dijumpai pada pemikiran Husein Nasr, Muthahhari, Naquib al-Attas dan Ismael Faruqi.
3. Reformistik, yaitu kelompok pemikiran yang berusaha merekontruk warisan-warisan budaya Islam dengan cara memberi tafsiran-tafsiran baru. Tradisi yang ada harus dibangun kembali secara baru (i`âdah buniyat min al-jadid) dengan karangka modern dan prasyarat rasional agar bisa tetap survive dan diterima dalam kehidupan modern. Kecenderungan pemikiran ini, antara lain, dapat dijumpai pada pemikir-pemikir reformis seperti Hasan Hanafi, Asghar Engineer, Bint al-Syathi, Amina Wadud, M. Imarah, M. Khalafallah dan Hasan Nawab.
4. Post-tradisionalistik yaitu kelompok pemikiran yang berusaha mendekonstruksi warisan-warisan budaya Islam berdasarkan standar-standar modernitas. seluruh bangunan pemikiran Islam klasik (turâts) harus dirombak dan dibongkar, setelah sebelumnya diadakan kajian dan analisa terhadapnya. Kecenderungan dekonstruktif ini tampak jelas pada pemikiran tokoh-tokoh seperti Arkoun, Jabiri, Syahrur, Abd Allah A. Naim, Nasr Hamid Abu Zaid, Fatima Menissi dan Najib Mahfuz. Di Indonesia Ulil Abshar, Masdar F. Mas`udi.
5. Modernistik, yaitu kelompok pemikiran yang hanya mengakui sifat rasional-ilmiah dan menolak cara pandang agama serta kecenderungan mistis yang tidak berdasarkan nalar praktis. Keharusan berpikir kritis dalam soal-soal kemasyarakatan dan keagamaan, penolakan terhadap sikap jumûd (kebekuan berfikir) dan taqlîd. Kassim Ahmad, Thayyib Tayzini, Abd Allah Arwi, Fuad Zakaria, Zaki Nadjib Mahmud, dan Qunstantine Zurayq.
Demikian ulasan singkat seputar Periodisasi pemikiran islam, semoga bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunasril, Perkembangan Pemikiran dalam Islam, Ed. 1, (Cet. 1, Jakarta: Bumi Aksara, 1991)
Asmuni, H.M. Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan Pergerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995)
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam – Sejarah Pemikiran dan Keagamaan, (Cet. 11, Jakarta: Bulan Bintang: 1996)
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernity: Transformation of an Intellectual Traditional, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1985)
Soleh, A Khudori, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003)
Wahyudi, Islamologi Terapan, (Cet.I; Surabaya: Gita Media Press, 1997)
[1] Asmuni, H.M. Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan Pergerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995) hal. 2
[2] Ali, Yunasril, Perkembangan Pemikiran dalam Islam, Ed. 1, (Cet. 1, Jakarta: Bumi Aksara, 1991) hal. 35
[3] Ibid, 36
[4] Ibid, 37
[5] Ibid, 38
[6] Ibid, 38
[7] Ibid, 38
[8] Rahman, Fazlur, Islam dan Modernity: Transformation of an Intellectual Traditional, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1985) hal. 76
[9] Ibid, 77
[10]Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam – Sejarah Pemikiran dan Keagamaan, (Cet. 11, Jakarta: Bulan Bintang: 1996) hal. 93
[11] Ali, Yunasril, Perkembangan Pemikiran dalam Islam, Ed. 1, (Cet. 1, Jakarta: Bumi Aksara, 1991) hal. 43
[12] Ibid, 44
[13] Ibid, 45
[14] Asmuni, H.M. Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan Pergerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995) hal. 17
[15] Ibid, 18
[16] Soleh, A Khudori, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003) hal. 112
[17]Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam – Sejarah Pemikiran dan Keagamaan, (Cet. 11, Jakarta: Bulan Bintang: 1996) hal. 52
[18] Asmuni, H.M. Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan Pergerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995) hal. 57
[19]Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam – Sejarah Pemikiran dan Keagamaan, (Cet. 11, Jakarta: Bulan Bintang: 1996) hal. 68
[20] Ibid, 70
[21] Ibid, 72
[22] Ibid, 73
[23] Wahyudi, Islamologi Terapan, (Cet.I; Surabaya: Gita Media Press, 1997) hal. 98
[24] Soleh, A Khudori, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003) hal. 120