Daftar Isi
A. Pengertian Etika dalam Filsafat etika Ibnu Miskawaih
Filsafat etika Ibnu Miskawaih – Etika berasal dari bahasa Yunani kuno dari kata ethos dalam bentuk tunggal yang berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berfikir. Kata yang cukup dekat dengan etika adalah moral yang berasal dari bahasa latin mos jamak dari mores yang berarti juga kebiasaan, adat antara etika dan moral memiliki arti yang sama hanya sumbernya yang berbeda.[2]
Ada tiga kata yang sering di gunakan dalam hubungan dengan tingkah laku manusia yaitu etika, moral dan akhlak. Dalam bahasa Indonesia pada umumnya moral diidentikkan dengan etika. Perbedaan etika dan akhlak menurut Daud Ali etika di lihat dari sudut pandang kebiasaan masyarakat sedangkan akhlak di lihat dari sudut pandang agama.[3]
Berdasarkan pengertian tersbut dapat di tarik perbedaan hubungan etika dan akhlakl. Moral merupakan aturan-aturan normatif yang berlaku dalam suatu masyarakat yang terbatas oleh ruang dan waktu. Sedang akhlak bersifat agamis sedang pada moral tidak demikian. Oleh karena itu akhlak lebih merupakan suatu paket yang norma-norma yang harus di terapkan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim tanpa mempertanyakan secara kritis sehingga akhlak bisa di sebut moralitas islami. Studi kritis terhadap wilayah moralitas itulah wilayah etika sehingga moral tidak lain dari kajian dari etika.
Dengan demikian kalau kita bandingkan dengan penjelasan mengenai akhlak di atas dapat di ketahui bahwa etika lebih menunjuk pada ilmu akhlak sedang moral lebih merupakan perbuatan konkrit realisasi dari kekuatan jiwa. Di lihat dari sumbernya juga berbeda akhlak bersumber dari wahyu al-Qur’an dan hadis nabi sedang etika berasal dari hasil pemikiran manusia terutama filsafat. Meski sejumlah penulis muslim sering menggunakan istilah etika dalam mengungkap perkataan akhlak namun bukanlah berarti bahwa sumber pokok keduanya sama. Kalau ada beberapa ahli yang tidak membedakan dua istilah itu boleh jadi karena mereka melihat betapa pengembangan akhlak banyak di tunjang analisis filsafat.
Biografi Ibnu Miskawaih
Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Ya’kub Ibnu Miskawaih di lahirkan di Rayy di kota Iran pada tahun 330 H/941 dan wafat di Asfahan pada tanggal 9 Safar 421 H bertepatan dengan tanggal 16 Februari 1030 M. Ibnu Miskawaih adalah seorang penganut Syi’ah ini di dasarkan kepada pengabdiannya kepada sultan dan Wazir-wazir Syi’ah dalam masa pemerintahan Bani Buwaihi 320-420 H. Disiplin ilmunya meliputi kedokteran, Bahasa sejarah dan filsafat akan tetapi ia lebih populer sebagai seorang filosof akhlak.[4]
Pemikiran Filsafat Ibnu Miskawaih
Hakikat Manusia
Filsafat etika Ibnu Miskawaih – Dalam pandangan Ibnu Miskawaih manusia terdiri dari tiga jiwa, yaitu jiwa bernafsu (an Nafs al-bahimmiyat) sebagai jiwa terendah, jiwa berani (an nafs al-ghadabiyyat) sebagai jiwa pertengahan dan jiwa berfikir (an nafs an natiqat) jiwa tertinggi. Ketiga jiwa ini unsur ruhani manusia yang asal kejadiannya berbeda. Unsur rohani an nafs albahimmiyat dan an nafs al ghadabiyyah berasal dari unsur materi sedang an nafs an nathiqat berasal dari ruh Tuhan karena itu Ibn Miskawaih berpendapat bahwa kedua an nafs yang bersal dari materi akan hancur bersama hancurnya badan dan an nafs an nathiqat tidak akan mengalami kehancuran.
Ibnu Miskawaih juga membuat klasifikasi jiwa ke dalam tiga kategori lain yaitu an nafs al bathimiyyah (jiwa binatang buruk) an nafs sabuiyah (jiwa binatang buas) dan an nafs al matiyah (jiwa cerdas yang mulia). Keutaman jiwa cerdas ini mempunyai sifat adil, harga diri, berani, pemurah, benar dan cinta. Sedang sifat buruk dari jiwa mempunyai tingkah laku : berani babi,pengecut, ujub (takabur) sombong olok-olok, nanar penipu dan hina.
Filsafat Etika
Pemikiran filsafat ibnu Miskawaih banyak di pengaruhi pemikiran filsafat Plato, Aristoteles dan Galienes. Ibnu Miskawaih kemudian berusaha mengkompromikan pemikiran ketiga tokoh tersebut dengan ajaran-ajaran islam.
Ibn Mishkawaih mengatakan, moral atau akhlak adalah suatu sikap mental (ha>lun li al-nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berfikir dan pertimbangan. Sikap mental ini terbagi ke dalam dua kategori ada yang berasal dari watak dan ada pula yang berasal dari kebiasaan dan latihan.[5] Jadi menegakkan akhlak yang benar menjadi sangat penting, sebab dengan landasan moral yang kuat akan melahirkan perbuatan-perbuatan baik tanpa kesulitan.
Yang banyak dijumpai di kalangan manusia adalah mereka yang memiliki sifat-sifat kurang terpuji (asyra>r) karena watak. Karena itu pendidikan kebiasaan atau latihan-latihan dapat membantu seseorang untuk memiliki sifat-sifat terpuji. Ibn Mishkawaih menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang mengatakan akhlak yang berasal dari watak tidak mungkin berubah. Ibn Mishkawaih menegaskan akhlak atau watak sangat mungkin mengalami perubahan caranya melalui pendidikan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan latihan-latihan.[6]
Teori Kebahagian
Kebahagiaan merupakan tujuan tertinggi yang ingin di capai oleh manusia. Pengertian kebahagian telah banyak dibicarakan oleh pemikir-pemikir Yunani yang pokoknya terdapat dua versi, yaitu pandangan pertama yang diwakili oleh Plato, mengatakan bahwa hanya jiwalah yang dapat mengalami kebahagiaan. Karena itu selama manusia masih hidup atau selama jiwa masih terkait dengan badan, maka selama itu pula tidak akan diperoleh kebahagiaan itu. Sedangkan pandangan kedua yang diwakili oleh Aristoteles, mengatakan bahwa kebahagiaan itu dapat dinikmati oleh manusia di dunia, kendatipun jiwanya masih terkait dengan badan.[7] Hanya saja kebahagiaan itu berbeda menurut masing-masing orang.Seperti orang miskin memandang kebahagiaan itu pada kenyataan dan orang sakit pada kesehatan, dan seterusnya.
Menurut Ibn Mishkawaih pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan meliputi keduanya. Kebahagiaan itu ada dua tingkat.[8] Pertama, ada manusia yang terikat dengan hal-hal yang bersifat benda dan mendapat kebahagiaannya dengannya, namun ia tetap rindu dengan kebahagiaan jiwa, lalu berusaha memperolehnya. Kedua, manusia yang melepaskan diri dari keterikatannya kepada benda dan memperoleh kebahagiaan lewat jiwa. Kebahagiaan yang bersifat benda tidak diingkarinya, tetapi dipandangnya sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah. Kebahagiaan yang bersifat benda menurut Ibn Mishkawaih, mengandung kepedihan dan penyesalan, serta menghambat perkembangan jiwanya menuju ke hadirat Allah. Kebahagiaan jiwalah yang merupakan kebahagiaan yang paling sempurna dan mampu mengantar manusia yang memilikinya ke derajat malaikat.
Kebaikan dalam Filsafat etika Ibnu Miskawaih
Selain msalah kebahagiaan (al-Sa’a>dah). Masalah lain yang dibicarakan dalam kajian tentang akhlak adalah kebaikan (al-Khair), kebahagiaan (al-Sa’a>dah), dan keutamaan (al-Fad}i>lah). Menurut Ibn Mishkawaih, kebaikan adalah suatu keadaan di mana kita sampai kepada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan adakalanya umum, dan adakalanya khusus. Di atas semua kebaikan itu terdapat kebaikan mutlak yang identik dengan wujud tertinggi.
Semua bentuk kebaikan secara bersama-sama berusaha mencapai kebaikan mutlak tersebut. Kebaikan Umum tadi adalah kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Sedangkan kebaikan khusus adalah kebaikan bagi seseorang secara pribadi.[9] Kebaikan dalam bentuk terakhir inilah yang dinamakan kebahagiaan. Dengan demikian antara kebaikan dan kebahagiaan dapat dibedakan. Kebaikan mempunyai identitas tertentu berlaku umum bagi semua orang, sedangkan kebahagiaan berbeda-beda tergantung pada orang-orang yang berusaha memperolehnya
Pendidikan anak-anak
Mengingat pentingnya pembinaan akhlak, Ibn Mishkawaih memberikan perhatian yang cukup besar terhadap pendidikan anak-anak. Ia menyebutkan bahwa masa kanak-kanak mata rantai jiwa hewan dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak berakhirlah ufuk hewani dan dimulailah ufuk manusiawi. Karena itu anak-anak harus dididik dengan akhlak yang mulia. Sedini mungkin anak-anak harus mendapat pendidikan akhlak mulia, sebab akhlak mulia pada pendidikan dini inilah yang akan berakar kuat dalam kehidupan mereka di masa yang akan datang.
Teori jalan tengah Ajaran keutamaan akhlak Ibn Mishkawaih berpangkal pada doktrin jalan tengah. Doktrin jalan tengah (al-wasath) yang dirumuskannya. Inti teori ini menyebutkan bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan dalam Bahasa Inggris dikenal dengan istilah The Doctrin of The Mean atau The Golden. Ibn Mishkawaih secara umum memberi pengertian pertengahan (jalan tengah) tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia.[10] Dari sini terlihat Ibn Mishkawaih memberi tekanan yang lebih untuk pertama kali buat pribadi.
Ibn Mishkawaih menegaskan bahwa setiap keutamaan akhlak memiliki dua sisi yang ekstrem. Yang tengah bersifat terpuji yang ekstrem bersifat tercela. Dalam menguraikan sikap tengah dalam bentuk akhlak tersebut, Ibn Mishkawaih tidak membawa satu ayat pun dari al-Qurâan dan tidak pula membawa satu dalil dari hadis. Namun demikian menurut penilaian al- Ghaza>li , bahwa spirit doktrin jalan tengah ini sejalan dengan ajaran Islam. Hal demikian dapat dipahami, karena banyak dijumpai ayat-ayat al-Qur’a>n yang memberi isyarat untuk itu, seperti tidak boleh kikir tetapi juga tidak boleh boros, melainkan harus bersifat di antara kikir dan boros. Hal ini sejalan dengan ayat al-Qur’a>n surat al-Isra ayat 29
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.”[11]
“ Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (al-Furqon ayat 67)[12]
Ayat tersebut memperlihatkan bahwa sikap pertengahan merupakan sikap yang sejalan dengan ajaran islam. Posisi tengah daya bernafsu adalah iffah (mejaga kesucian diri) yang terletak antara mengumbar nafsu (al syarah) dan mengabaikan nafsu (khumud al syahwah. Posisi tengah daya berfikir adalah al hikmah (kebijaksanaan) yang terletak antara kebodohan (al safih) dan kedunguan (al balah) dan posisi daya tengah berani (syja’ah) yang terletak antara pengecut (al jubn) dan nekad (al tahawwur). Kombinasi dari tiga keutamaan membuahkan keadilan (al adalah) merupakan posisi tengah antatra berbuat aniaya dan teraniaya.
Setiap keutamaan memiliki cabangnya masing-masing. Kebijaksanaan (Hikmah) memiliki tujuh cabang yaitu ketajaman intelegensi, kuat ingatan, rasionalitas, tangkas, jernih ikiran dan mudah dalam belajar. Menjaga diri (iffah) memiliki 12 cabang yaitu : malu,ketenangan, sabar,dermawan,kemerdelaan, bersahaja, cenderung kepada kebaikan, teratur, menghiasi diri kepada kebaikan meninggalkan yang tidak baik tenang dan hati-hati.Sementara keberanian berkembang menjadi sembilan cabang yaitu ; berjiwa besar, pantang takut, ketenangan, keuletan, kesabaran, murah hati, menahan diri,keperkasaan dan memiliki daya tahan yang kuat (pekerja berat).
Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa posisi jalan tengah bisa di raih dengan memadukan fungsi syari’at dan filsafat syariat berfungsi efektif bagi terciptanya posisi jalan tengah dalam jiwa bernafsu dan jiwa berani. Sedeangkan filsafat berfungsi efektif bagi terciptanya posisi tengah jiwa berfikir. Doktrin jalan tengah ini juga dapat dipahami sebagai doktrin yang mengandungan arti dan nuansa dinamika. Letak dinamikanya paling tidak pada tarik menarik antara kebutuhan, peluang, kemampuan dan aktivitas. Sebagai makhluk sosial, selalu berada dalam gerak (dinamis), mengikuti perkembangan zaman. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, ekonomi dan lainnya merupakan pemicu bagi gerak zaman.
Ukuran akhlak tengah selalu mengalami perubahan menurut perubahan ekstrim kekurangan maupun kelebihannya. Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang materi untuk masyarakat kalangan mahasiswa misalnya tidak dapat disamakan dengan ukuran kesederhanaan pada masyarakat dosen. Demikian pula ukuran tingkat kesederhanaan pada masyarakat negara maju akan berbeda dengan tingkat kesederhanaan pada masyarakat negara berkembang.
Hal tersebut akan berbeda lagi dengan tingkat kesederhanaan pada masyarakat miskin. Doktrin jalan tengah tidak hanya memiliki nuansa dinamis tetapi juga fleksibel. Oleh karena itu, doktrin tersebut dapat terus-menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya tanpa menghilangkan nilai-nilai esensial dari pokok keutamaan akhlak. Jadi dengan doktrin jalan tengah manusia tidak akan kehilangan arah dalam kondisi apapun.
situs: www.rangkumanmakalah.com
DAFTAR PUSTAKA
Ali Daud, Pendidikan Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada ,2002.
Mahjuddin, Kuliah akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1999
Mskawaih Ibnu. Tahzdibul Akhlak. Beirut Libanon: Dar Kutub al- ilmiyah
Poejawiyatna,Etika Filsafat Tingkah Laku Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
Supena Ilyas, Pengantar Filsafat Islam.Semarang, Walisongo Press 2010.
Zar Sirajuddin,Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya,Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada:2010
Zubair,A.Charris,Kuliah Etika,Jakarta: Kalam Mulia, 1996
[1] Poejawiyatna, Etika Filsafat Tingkah laku (Jakarta : Rineka Cipta 1982)7
[2] K.Bertens, Etika (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama 1994)4-5
[3] Daud Ali. Pendidikan Agama (Jakarta:Rineka Cipta 2001)170
[4] Sirajuddin Zar,Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta:Raja Grafindo Persada 2004)127
[5] Ibnu Miskawaih, Tahzibul akhlak, (Beirut : Dar al-Kutub al-ilmiyah)26
[6] Ibid,.26
[8] Ibid
[9] Ilyas Supeno, Pengantar Filsafat Islam (Semarang :Wali Songo Press 2010)154
[10] Ibid,.154
[11] Departemen Agama Ri,al-Qur’an dan Terjemahan (Depok: Cahaya Qur’an 2008)285
[12] Ibid.,365