Daftar Isi
www.rangkumanmakalah.com
A. Teori Behaviorisme dalam Pembelajaran
Teori Pembelajaran Menurut Edwin Ray Guthrie – Behaviorisme merupakan salah satu aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental, yang dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar.
Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Dalam konsep Behavioral, perilaku manusia merupakan hasil belajar, sehingga dapat di ubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar.[2]
1. Prinsip Teori Behavioristik
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses.
Teori behaviorisme sangat menekankan perilaku atau tingkah laku yang dapat diamati. Teori-teori dalam rumpun ini sangat bersifat molekular, karena memandang kehidupan individu terdiri atas unsur-unsur seperti halnya molekul-molekul.[3]
2. Ciri – ciri teori Behavioristik
- Mengutamakan unsur-unsur atau bagian-bagian terkecil
- Bersifat mekanistik
- Menekankan peranan lingkungan
- Mementingkan pembentukan reaksi atau respon
- Menekankan pentingnya latihan
Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat dan kecenderungan perilaku S-R (stimulus-Respon).
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Behaviorisme banyak menentukan perkembangan psikologi terutama dalam ekperimen‑eksperimen dan ini diakui secara luas sebagai jasa besar para behavioris dalam penelitian tentang prilaku manusia termasuk juga ilmu komunikasi yang mengkaji manusia dan prilakunya banyak dipengaruhi oleh konsepsi behavioris
Lahirnya paham ini merupakan reaksi terhadap introspeksionisme (yang menganalisis jiwa manusia berdasarkan laporan‑laporan subjektif) dan juga psikoanalisis (yang berbicara tentang alam bawah sadar yang tidak tampak) yang sangat sulit diamati, diukur dan diramalkan. Kaum Behavioris mencoret dari kamus ilmiah mereka semua peristilahan yang bersifat subjektif, seperti sensasi, persepsi, hasrat, tujuan, bahkan termasuk berpikir dan emosi sejauh kedua pengertian tersebut dirumuskan secara subjektif”.
Belakangan, teori kaum behavioris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena menurut mereka seluruh perilaku manusia kecuali instink adalah hasil belajar. Belajar artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor‑faktor lingkungan. Dari sinilah timbul konsep “manusia mesin” (Homo Mechanicus).
B. Mengenal Edwin Ray Guthrie dalam Teori Pembelajaran
Teori Pembelajaran Menurut Edwin Ray Guthrie – Guthrie lahir di Lincoln Nebrazka tanggal 9 januari pada tahun 1886 dan meninggal pada tahun 1959 . setelah SMA kemudian meneruskan studinya ke universitas Nebraska dan lulus dengan sarjana matematika dan kemudian mengajar matematika di beberapa sekolah menengah sambil memperdalam filsafat di Universitas Pennsylvania dan lulus sebagai doktor. Kemudian menjadi instruktur filsafat di Universitas Washington.
Setelah lima tahun ia pindah ke Departemen Psikologi sampai karirnya berakhir. Guthrie adalah profesor psikologi di University of Washington dari tahun 1914 sampai pensiun pada tahun 1952. Gaya tulisan Gutrie lebih mudah untuk dipelajari karena penuh humor, dan menggunakan banyak kisah untuk menunjukkan contoh ide-idenya supaya mudah dipahami oleh mahasiswanya. Bersama dengan Horton ia melakukan satu percobaan yang tekait dengan teori belajarnya.[4]
Pada usia 33 tahun Guthrie pemenang nobel yang diberikan asosiasi psikologi Amerika dalam kontribusi terakhir. Karya dasarnya adalah The Psycholoy of Learning, yang dipublikasikan pada 1935 dan direvisi pada 1952.
Pada publikasi terahirnya sebelum meninggal, Guthrie sempat merevisi hukum kontiguitasnya menjadi, apa-apa yang dilihat akan menjadi sinyal terhadap apa- apa yang dilakukan”. Alasannya karena terdapat berbagai macam stimuli yang dihadapi oleh organisme pada satu waktu tertentu dan organisme tidak mungkin membentuk asosiasi dengan semua stimuli itu. Organisme hanya akan memproses secara efektif pada sebagian kecil dari stimuli yang dihadapinya, dan selanjutnya proporsi inilah yang akan diasosiasikan dengan respons.
Meskipun Guthrie menekankan keyakinannya pada hukum kontiguitas di sepanjang karirnya, dia menganggap akan keliru jika kita menganggap asosiasi yang dipelajari sebagaian hanya asosiasi antara stimuli lingkungan dengan prilaku nyata. Misalnya, kejadian di lingkungan dan responsnya terkadang dipisahkan oleh satu interval waktu, dan karenanya sulit untuk menganggap keduanya sebagai kejadian yang bersamaan.
Guthrie selanjutnya mengatasi problem tersebut dengan mengemukakan adanya movement-product stimuli (stimuli yang dihasilkan oleh gerakan), yakni disebabkan oleh gerakan tubuh. Contohnya, ketika mendengar telepon berdering kita berdiri dan berjalan mendekati pesawat telepon. Sebelum kita sampai ke pesawat telepon, suara deringan tersebut sudah tidak lagi bertindak sebagai stimulus. Kita tetap bergerak karena ada stimuli dari gerakan kita sendiri menuju pesawat telepon.
C. Eksperience Guthrie dan Horton
Teori Pembelajaran Menurut Edwin Ray Guthrie – Guthrie dan Horton (1946) secara cermat mengamati sekitar delapan ratus kali tidak melepaskan diri dari kotak teka-teki yang dilakukan oleh kucing yang kemudian observasi ini dilaporan dalam sebuah buk yang berjudul cats in a Puzzle Box. Kotak yang ereka pakai sama dengan yang dipakai Thorndike dalam melakukan eksperimennya. Guthrie dan Horton menggunakan banyak kucing sebaai subyek percobaan, akan tetapi mereka melihat kucing kelar dari kotak dengan cara sendiri-sendiri dan berbeda-beda.[5]
Dari percobaan diatas respon khusus yang dipelajari oleh hewan tertentu adalah respon yang dilakukan hewan sebelum ia keluar dari kotak. Karena respon ini cenderung diulang lagi saat kucing diletakkan di kotak di waktu yang lain, maka ia dinamakan stereotyped behavior (perilaku strereotip).
Guhtrie dan Horton mengamati bahwa seringkali hewan, setelah bebas dari kotak akan mengabaikan ikan yang diberikan kepadanya. Meskipun hewan itu mengabaikan obyek yang disebut penguatan tersebut, kucing dapat keluar dari kotak dengan lancar ketika diwaktu yang lain ia dimasukkan lagi ke dalam kotak. Observasi ini, menurut Guthrie memperkuat pendapatnya bahwa penguatan hanyalah aransemen mekanis yang mencegah terjadinya unlearning. Sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap kejadian yang diikuti dengan respons yang diinginkan dari hewan akan mengubah kondisi yang menstimulasi dan karenanya mempertahankan respons di dalam kondisi yang menstimulasi sebelumnya.[6]
D. Teori Belajar Menurut Guthrie (1886-1959)
Teori Pembelajaran Menurut Edwin Ray Guthrie – Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama.[7] Hukum kontiguiti adalah satu prinsip asosionisme yaitu respon atas suatu situasi cendrung diulang, bilamana individu menghadapi suatu yang sama. Kunci teori guthrie terletak pada prinsip tunggal bahwa kontiguitas merupakan fondasi pembelajaran.
Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru.
Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena itu dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sering diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap dan karena itu pula diperlukan pemberian stimulus yang sering agar hubungan itu menjadi lebih langgeng. Selain itu, suatu respon akan lebih kuat (dan bahkan menjadi kebiasaan) bila respon tersebut berhubungan dengan berbagai macam stimulus.
Hukum tersebut diusulkan oleh Guthrie karena menganggap kaidah yang dikemukakan oleh Thorndike dan Pavlov terlalu rumit dan berlebihan. Thorndike mengemukakan bahwa, jika respons menemukan kondisi yang memuaskan maka koneksi S-R akan menguat. Disisi lain Pavlov mengemukakan dengan hukum belajarnya dengan model kondisional berupa CR-CS-US-UR. Unsur- unsur itulah yang dianggap oleh guthrie berlebihan.
Stimulus dan respon cendrung bersifat sementara, persetujuan umum di kalangan psikolog, bahwa kontiguitas stimulus dan respon merupakan kondisi yang penting bagi proses belajar, maka dari itu diperlukan pemberian stimulus yang sering, agar hubungan itu menjadi lebih langgeng, suatu respon akan lebih kuat dan menjadi kebiasaan bila respon tersebut berhubungan dengan berbagaimacam stimulus, situasi belajar merupakan gabungan stimulus dan respon, akan tetapi asosiasi ini bisa benar dan bisa salah.
Meskipun Guthrie menekankan keyakinannya pada hukum kontiguitas di sepanjang karirnya, dia menganggap akan keliru jika kita menganggap asosiasi yang dipelajari sebagaian hanya asosiasi antara stimuli lingkungan dengan prilaku nyata. Misalnya, kejadian di lingkungan dan responsnya terkadang dipisahkan oleh satu interval waktu, dan karenanya sulit untuk menganggap keduanya sebagai kejadian yang bersamaan.
Guthrie selanjutnya mengatasi problem tersebut dengan mengemukakan adanya movement-product stimuli (stimuli yang dihasilkan oleh gerakan), yakni disebabkan oleh gerakan tubuh. Contohnya, ketika mendengar telepon berdering kita berdiri dan berjalan mendekati pesawat telepon. Sebelum kita sampai ke pesawat telepon, suara deringan tersebut sudah tidak lagi bertindak sebagai stimulus. Kita tetap bergerak karena ada stimuli dari gerakan kita sendiri menuju pesawat telepon.
Teori Pembelajaran Menurut Edwin Ray Guthrie – Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang. Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Hukuman yang diberikan dalam proses pembelajaran harus sesuai dengan asumsi dan ideologi yang ada dalam diri siswa.
Meskipun menurut sekolah hukuman itu tidak edukatif dan tidak efektif, bisa saja menurut sekolah yang lain sangat efektif. Hal ini disebabkan oleh asusmi ideologis yang diyakini di kalangan siswa. Contoh jenis hukuman di pondok pesantren tidak sesuai jika diterapkan di sekolah formal yang jauh dari budaya pondok pesantren.[8]
Sebagai contoh, seseorang yang memiliki kebiasaan merokok sulit ditinggalkan. Hal ini dapat terjadi karena perbuatan merokok tidak hanya berhubungan dengan satu macam stimulus (misalnya kenikmatan merokok), tetapi juga dengan stimulus lain seperti minum kopi, berkumpul dengan teman-teman, ingin tampak gagah, dan lain-lain.
Menurutnya suatu hukuman yang diberikan pada saat yang tepat, akan mampu mengubah kebiasaan seseorang. Sebagai contoh, seorang anak perempuan yang setiap kali pulang dari sekolah, selalu mencampakkan baju dan topinya di lantai. Kemudian ibunya menyuruh agar baju dan topik dipakai kembali oleh anaknya, lalu kembali keluar, dan masuk rumah kembali sambil menggantungkan topi dan bajunya di tempat gantungannya. Setelah beberapa kali melakukan hal itu, respons menggantung topi dan baju menjadi terasosiasi dengan stimulus memasuki rumah. Meskipun demikian, nantinya faktor hukuman ini tidak dominan dalam teori-teori tingkah laku. Terutama setelah Skinner makin mempopulerkan ide tentang penguatan (reinforcement).
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie yaitu:
- Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
- Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
- Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman.
Ketidak samaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat.
Misalnya, seorang siswa perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respon.
Efektifitas hukuman ditentukan oleh apa penyebab apa penyebab tindakan yang dilakukan oleh organisme yang dihukum itu. Hukuman bekerja dengan baik bukan kerena rasa sakit yang dialami oleh individu yang terhukum, akan tetapi karena hukuman mengubah cara indiviu merespons stimuli yang sama. Hukuman dikatakan berhasil ketika hukuman berhasil mengubah perilaku yang tidak diinginkan karena hukuman menimbulkan perilaku yang tidak kompatibel dengan perilaku yang dihukum. Dan hukuman dikatakan gagal apabila perilaku yang disebabkan oleh hukuman selaras dengan perilaku yang dihukum.[9]
Karena pandangan Guthrie tentang asosiasi tergantung pada stimulus dan respon, peran penguatan memiliki interpretasi unik. Guthrie percaya pada pembelajaran satu kali mencoba, dengan kata lain kedekatan hubungan antara elemen-elemen stimulus dan respon langsung menghasilkan ikatan asosiatif penuh.[10]
2. Dorongan Menurut Guthrie
Teori Pembelajaran Menurut Edwin Ray Guthrie – Drives (dorongan) fisiologis merupkan apa yang oleh Guthrie dikatakan maintaining stimuli (stimuli yang mempertahankan) yang menjaga organisme tetap aktif sampai tujuan tercapai. Misalnya, rasa lapar menghasilkan stimuli internal yang terus ada sampai makanan dikonsumsi. Ketika makan diperoleh, maintaining stimuli akan hilang, dan karenanya kondisi yang menstimulasi telah berubah.[11]
3. Lupa Menurut Guthrie
Menurut Guthrie, lupa disebabkan oleh munculnya respons alternatif dalam satu pola stimulus. Setelah pola stimulus menghasilkan respons alternatif, pola stimulus itu kemudian akan cenderung menghasilkan respons baru. Jadi menurut Guthrie, lupa pasti melibatkan proses belajar baru. Ini adalah bentuk retroactive inhibition (hambatan retroaktif) yang ekstrem, yakni fakta bahwa proses belajar lama diintervensi oleh proses belajar baru.
Untuk menunjukkan hambatan retroaktif, contohnya sebagai berikut: Seseorang yang belajar tugas A dan kemudian belajar tugas B lalu diuji untuk tugas A. satu orang lainnya belajar tugas A, tetapi tidak belajar tugas B, dan kemudian diuji pada tugas A. secara umum akan ditemukan bahwa orang pertama mengingat tugas A lebih sedikit ketimbang orang kedua. Jadi, tampak bahwa mempelajari hal baru (tugas B) telah mencampuri retensi dari apa yang dipelajari sebelumnya (tugas A).
Guthrie menerima bentuk hambatan retroaktif ektrim ini. Pendapatnya adalah bahwa setiap kali mempelajari hal yang baru, maka proses itu akan menghambat sesuatu yang lama. Dengan kata lain, lupa disebabkan oleh intervensi. Tak ada intervensi, maka lupa tidak akan terjadi.
4. Transfer Training Menurut Guthrie
Teori Pembelajaran Menurut Edwin Ray Guthrie – Gutrhrie dalam hal ini kurang terlalu berharap. Karena pada dasarnya seseorang akan menunjukkan respons yang sesuai dengan stimuli jika pada kondisi yang sama. Guthrie selalu mengatakan pada mahasiswa universitasnya, jika anda ingin mendapat manfaat terbesar dari studi anda, anda harus berlatih dalam situasi yang persis sama-dalam kursi yang sama-di mana anda akan diuji. Jika anda belajar sesuatu di kamar, tidak ada jaminan pengetahuan yang diperoleh disitu akan ditransfer ke kelas.
Saran Guthrie adalah selalu mempraktikkan perilaku yang persis sama yang akan diminta kita lakukan nanti, selain itu, kita harus melatihnya dalam kondisi yang persis sama dengan kondisi ketika nanti kita diuji. Gagasan mengenai pemahaman, wawasan dan pemikiran hanya sedikit, atau tidak ada maknanya bagi Guthrie. Satu-satunya hukum belajar adalah hokum kontiguitas, yang menyatakan bahwa ketika dua kejadian terjadi bersamaan, keduanya akan dipelajari.[12]
E. Teori Conditioning dari Guthrie
Guthrie mengemukakan bahwa tingkah laku manusia itu secara keseluruhan dapat dipandang sebagai deretan-deretan tingkah laku yang terdiri dari unit‑unit. Unit‑unit tingkah laku ini merupakan reaksi atau respons dari perangsang atau stimulus sebelumnya, dan kemudian unit tersebut menjadi pula stimulus yang kemudian menimbulkan response bagi unit tingkah laku yang berikutnya. Demikianlah seterusnya sehingga merupakan deretan‑deretan unit tingkah laku yang terus-menerus. Jadi pada proses conditioning ini pada umumnya terjadi proses asosiasi antara unit‑unit tingkah laku satu sama lain yang berurutan. Ulangan‑ulangan atau latihan yang berkali‑kali memperkuat asosiasi yang terdapat antara unit tingkah laku yang satu dengan unit tingkah laku yang berikutnya.
Sebagai penjelasan dari percobaan Pavlov sebagai berikut: Pada mulanya anjing percobaan keluar air liur ketika disodorkan makanan. Setelah berkali‑kali sambil menyodorkan makanan dilakukan juga menyorotkan sinar merah kepada anjing itu; pada suatu ketika hanya dengan menyorotkan sinar merah, anjing itu keluar juga air liurnya. Jadi, dalam hal ini terjadi asosiasi yang makin kuat antara sinar merah (stimulus) dengan keluarnya air liur (respons). Yang penting pula diperhatikan dalam percobaan itu ialah; dapat diubahnya suatu stimulus (unit) tertentu dengan stimulus yang lain. Karena itu, menurut Guthrie untuk mengubah kebiasaan‑kebiasaan yang tidak baik, harus dilihat dalam rentetan deretan unit‑unit tingkah lakunya, kemudian kita usahakan untuk menghilangkan unit yang tidak baik itu atau menggantinya dengan yang lain yang seharusnya.
Berikut ini sebuah contoh sebagai penjelasan. Seorang ibu datang menanyakan kepada Guthrie, bahwa anak perempuannya setiap pulang dari sekolah selalu melemparkan tas dan pakaiannya ke sudut kamarnya, kemudian ganti pakaian dan terus makan tanpa meletakkan tas dan pakaiannya pada gantungan yang telah tersedia untuk itu. Teguran‑teguran ibu untuk menggantungkan tas dan pakaian pada tempatnya, hanya berlaku satu atau dua, hari saja, sesudah itu kebiasaan yang buruk berulang lagi. Bagaimana cara memperbaiki kebiasaan buruk pada anak tersebut?
Guthrie menyarankan (sesuai dengan teori conditioning) perbaikan seperti berikut:
Teguran ibu jangan hanya menyuruh menggantungkan tas dan pakaiannya sesudah anak itu makan, akan tetapi anak tersebut harus disuruh memakai pakaian itu lagi dan menyandang tasnya dan kemudian anak itu masuk ke rumah lagi terus menggantungkan tasnya dan pakaiannya, berganti pakaian, dan selanjutnya makan. Jadi, proses berlangsungnya unit‑unit tingkah
F. Teori Keterhubungan Guthrie
Teori Pembelajaran Menurut Edwin Ray Guthrie – Guthrie lebih menekankan pada hubungan antara stimulus dan respons, dan beranggapan bahwa setiap respons yang didahului atau dibarengi suatu stimulus atau gabungan dari beberapa stimulus akan timbul lagi bila stimulus tersebut diulang lagi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa suatu stimulus tertentu akan menimbulkan respons tertentu. Suatu respons hanya terbina oleh satu kali percobaan saja, oleh karena itu pengulangan atau repetisi tidak memperkuat hubungan stimulus respons. Namun demikian, Guthrie menekankan pada pentingnya pengulangan atau drill.
Pengulangan tersebut bukan dimaksudkan untuk memperkuat hubungan, tetapi untuk membina atau memasangkan stimulus yang cocok dengan respons yang diharapkan. Guthrie memulai proses pendidikannya dengan memaparkan tujuan-tujuannya serta dengan mengemukakan respons-respons apa yang perlu dibuat terhadap rangsangan tertentu. Kemudian dia akan menciptakan lingkungan belajar yang tertata sedemikian rupa sehingga respons yang diinginkan dihasilkan sesuai dengan rangsangan yang ada. Motivasi bagi Guthrie bahkan lebih tidak penting lagi sebagaimana yang dianggap penting oleh Thorndike. Apa yang diperlukan dalam proses belajar hanyalah agar siswa memberikan respons yang tepat ketika hadir suatu rangsangan.
Latihan dianggap penting sekiranya hal ini menyebabkan lebih banyak terjadinya rangsangan yang menghasilkan perilaku yang diinginkan. Karena setiap pengalaman sifatnya unik, maka siswa harus mempelajarinya berulang-ulang. Tidak ada jaminan bahwa siswa yang sudab belajan dua tambah dua sama dengan empat (2 + 2 = 4) di papan tulis akan menjawab sama ketika ia telah duduk di bangkunya. Dengan demikian siswa tidak hanya diharuskan belajar bahwa dua balok tambah dua balok sama dengan empat balok, tetapi mereka harus juga membuat pertambahan yang baru dengan menggunakan benda-benda lain, seperti apel, buku, kucing, dll.
Meskipun pembelajaran secara konstan berlangsung terus, pendidikan dalam kelas merupakan suatu usaha untuk menghubungkan stimulus tertentu dengan responsnya dengan penuh tujuan. Seperti juga Thorndike, Guthrie percaya bahwa pendidikan formal harus menyerupai situasi kehidupan nyata sebanyak mungkin. Para guru penganut teori Guthrie akan diperbolehkan untuk kadang-kadang menggunakan hukuman untuk menangani perilaku siswa yang menyimpang. Agar pemakaiannya efektif, hukuman harus digunakan ketika perilaku menyimpang tadi terjadi.
Lebih jauh lagi hukuman harus menyebabkan timbulnya perilaku yang bertentangan dengan perilaku menyimpang tadi. Jika misalnya siswa yang sedang membuat kegaduhan di kelas dihukum dengan cara diteriaki oleh guru, tetapi reaksinya malah membuat kegaduhan yang lebih besar, maka hukuman itu malah akan menguatkan perilaku yang sedang dilakukannya.
G. Metode yang dirumuskan Gutrie
Gutrie merumuskan beberapa metode yang diantaranya adalah:[13]
1. Metode Threshold (Ambang) :
Yaitu metode mencari petunjuk yang memicu kebiasaan buruk dan melakukan respons lain saat petunjuk itu muncul. Misalnya, saat diketahui alasan merokok karena stres, maka ketika suatau saat stres itu datang lakukan kegiatan lain.
2. Metode Fatigue (kelelahan) :
yaitu, membiarkan respons terus menerus hingga tidak lagi menjadi fungsi dari stimulus. Misalnya, gadis kecil senang menyalakan korek api, tugasnya adalah membiarkannya sampai dia merasa menyalakan korek api tidak lagi menyenangkan.
3. Metode Incompatible Stimuli (stimuli menyimpang) :
yaitu memberikan penyandingan terhadap stimuli karena dianggap dapat menimbulkan respons buruk. Misalnya, ibu memberi anaknya sebuah boneka, tetapi anak justru takut dan gemetar. Jadi, ibu harus menjadi stimulus yang dominan agar kombinasi keduanya berbentuk relaksasi.
Ketiga metode di atas menurut Guthrie efektif karena disajikan suatu petunjuk tindakan yang tidak diinginkan dan berusaha mempengaruhi agar tindakan itu tidak dilakukan, karena ada stimuli utuk perilaku lain yang terjadi dan membuat respons yang buruk menjadi tersingkirkan.
H. Pendapat Guthrie Tentang Pendidikan
Teori Pembelajaran Menurut Edwin Ray Guthrie – Seperti halnya Thorndike, Guthrie menyarankan proses pendidikan dimulai dengan menyatakan tujuan, yakni menyatakan respons apa yang harus dibuat untuk stimuli. Dia menyarankan lingkungan belajar yang akan memunculkan respons yang diinginkan bersama dengan adanya stimuli yang akan diletakkan padanya. Jadi motivasi dianggap tidak terlalu penting, yang diperlukan adalah siswa mesti merespons dengan tepat dalam kehadiran stimuli tertentu.
Latihan (praktik) adalah penting karena ia menimbulkan lebih banyak stimuli untuk menghasilkan perilaku yang diinginkan.karena setiap pengalaman adalah unik, seseorang harus “belajar ulang” berkali-kali. Guthtrie mengatakan bahwa belajar 2 ditambah 2 di papan tulis tidak menjamin siswa bisa 2 ditambah 2 ketika dibangku. Karena memungkinkan siswa akan belajar meletakkan respons pada setiap stimuli (di dalam atau di luar kelas).
I. Praktik latihan
Dalam praktiknya guthrie memandang bahwa praktik latihan Meningkatkan Performa, dan dalam hal ini Guthrie membedakan antara act (tindakan) dengan movement (gerakan). Gerakan adalah kontraksi otot, tindakan terdiri dari berbagai macam gerakan. Tidakan biasanya didefinisikan dalam term apa-apa yang dicapainya, yakni perubahan apa yang mereka lakukan dalam lingkungan. Sebagai contoh tindakan, Guthrie menyebut misalnya mengetik surat, makan pagi, dll.
Adapun untuk belajar tindakan membutuhkan praktik latihan. Belajar bertindak, yang berbeda dari gerakan, jelas membutuhkan praktik sebab ia mengharuskan gerakan yang tepat telah diasosiasikan dengan petunjuknya. Bahkan menurut Guthrie, tindakan sederhana seperti memegang raket membutuhkan beberapa gerakan berbeda sesuai jarak dan arah posisi subjek itu. Untuk itulah diperlukan sebuah latihan, karena dengan menguasai sebuah tindakan tidak menjamin pada saat waktu, jarak, dan posisi yang berbeda tindakan itu masih dapat dilakukan.
Seperti Guthrie dan Thorndike percaya bahwa pendidikan formal seharusnya menyerupai situasi nyata semirip mungkin. Dengan kata lain guru meminta siswanya untuk melakukan ata mempelajari hal-hal yang kelak akan mereka lakukan saat mereka lulus nanti. Guthrie mendukung program magang atau monitoring dan mendorong progam pertukaran pelajar untuk memperluas pengalaman pelajar.
Teori Pembelajaran Menurut Edwin Ray Guthrie – Yang menggantikan kekuatan dalam teori Guthrie, Pada poin ini Gutrie menggunakan isu yang dibahas Thorndike, ketika satu respons menimbulkan keadaan yang memuaskan, maka selanjutnya terulangnya respons akan meningkat. Guthrie menganggap hukum efek tidak dibutuhkan. Menurut Guthrie, reinformance (penguatan) hanyalah aransemen mekanis, yang dianggap dapat dijelaskan dengan hukum belajaranya.
Gutrie menganggap, penguatan mengubah kondisi yang menstimulasi, dan karenanya mencegah terjadinya nonlearning. Misalnya, dalam kotak teka teki, hal yang dilakukan hewan sebelum menerima satu penguat adalah menggerakkan satu tuas atau menarik cincin, yang membuatanya bisa keluar dari kotak itu, dan seterusnya. Oleh karena itulah, Guthrie dan Horton mengatakan, menurut pendapat mereka tindakan yang dilakukan oleh kucing itu akan selalu sama, karena kucing itu menganggap itulah caranya membebaskan diri dari kotak. Oleh karena itu, tidak memungkinkan adanya respons baru yang dihubungkan dengan kotak tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Gage, N.L., & Berliner, D. 1979. Educational Psychology. Second Edition, Chicago: Rand Mc. Nally] Bell Gredler, E. Margaret. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali Moll, L. C.
Surya, Mohamad Teori-teori konseling, Bandung: CV Pustaka Bani Quraisy, 2003.
Syaodih, Nana Sukmadinata, Landasan psikologi dalam proses pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005.
B.R Hergenhahn dan Mattew H. Olson, Theories of Learning, Jakarta: Prenada Media Group, 2010.
Gredler, Bell. E. Margaret. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali, 1991.
Muchith, M. Saekhan, Pembelajaran Kontekstual. Semarang: Rasail Media Group.
F Brennan, James sejarah dan system psikologi, Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2006.
[1] Gage, N.L., & Berliner, D. 1979. Educational Psychology. Second Edition, Chicago: Rand Mc. Nally] Bell Gredler, E. Margaret. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali Moll, L. C.
[2] Mohamad Surya, Teori-teori konseling, (Bandung: CV Pustaka Bani Quraisy, 2003),hal. 22
[3] Nana Syaodih sukmadinata, Landasan psikologi dalam proses pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005),hal. 168
[4] B.R Hergenhahn dan Mattew H. Olson, Theories of Learning, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hal. 225
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Bell Gredler, E. Margaret. Belajar dan Membelajarkan.( Jakarta: CV. Rajawali, 1991) hal.109
[8] M. Saekhan Muchith, M. Pd, Pembelajaran Kontekstual. (Semarang: RaSAIL Media Group). Hlm, 53-54
[9] Opcit, BR. Hergenhahn, hal. 238
[10] James F Brennan, sejarah dan system psikologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2006),hal. 369
[11] Opcit, BR. Hergenhahn, hal. 241
[12] Ibid
[13] Opcit, Theory Of Learning, hal.65
akhirnya jadi ngerti juga, terima kasih ya mas sudah mau berbagi
terimakasih juga mas. atas kunjungannya