Lompat ke konten
Home » √ Ilmu Pengetahuan dan Berfikir Ilmiah, Kajian Lengkap!

√ Ilmu Pengetahuan dan Berfikir Ilmiah, Kajian Lengkap!

Daftar Isi

Ilmu pengetahuan dan berfikir ilmiah
Ilmu pengetahuan dan berfikir ilmiah

A. Pengertian Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan dan berfikir ilmiah – Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata knowledge. Dalam Encyclopedia of Pholoshopy seperti yang dikutip oleh Amsal Bakhtiar, dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar (Knowledge is justified true belief).[1]

Sedangkan secara terminologi menurut Sumarna, ilmu dihasilkan dari pengetahuan ilmiah, yang berangkat dari perpaduaan proses berpikir deduktif (rasional) dan indukti (empiris). Jadi, proses berpikir inilah yang membedakan antara ilmu dan pengetahuan.

Adapun pengertian pengetahuan itu sendiri, seperti yang dikemukakan Surajiyo adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu objek yang dihadapinya.

Secara khusus, Suparlan mengemukakan tentang perbedaan makna antara ilmu dan pengetahuan. Dengan mengambil rujukan dari Webster’s Dictionary, dia menjelaskan bahwa pengetahuan atau knowledge adalah sesuatu yang menjelaskan tentang adanya sesuatu hal yang diperoleh secara biasa atau sehari-hari melalui pengalaman-pengalaman, kesadaran, informasi. Sedangkan ilmu (science) di dalamnya terkandung adanya pengetahuan yang pasti, lebih praktis, sistematis, ilmiah dan mencakup kebenaran umum mengenai objek studi yang bersifat fisis (natural).[2]

Kata Ilmu itu sendiri berakar dari bahasa Arab alima yang berarti mengerti, memahami benar-benar.[3] Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut science, dari bahasa latin scientia, yang berarti pengetahuan – scire (mengetahui). Dalam bahasa Yunani disebut episteme.[4] Secara umum mengerti dapat diartikan sebagai “setiap kegiatan dengan mana subyek dengan cara tertentu mempersatukan diri dengan suatu obyek”. Apa yang disebut mengerti itu selalu mengandung suatu hubungan antara subyek dan obyek. Subyek yang mengerti dan obyek yang dimengerti. Sedangkan obyek itu dapat berupa satu barang atau apa saja, bahkan bisa berupa subyek itu sendiri (manusia). Dalam proses “menjadi mengerti” itu terjadi penyatuan antara subyek dan obyek. Penyatuan ini berlangsung dengan cara nonfisis (batiniah).

Seperti ketika orang melihat pelangi. Mereka mengetahui melalui panca indra bahwa obyek yang disebut pelangi itu terdiri dari warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Tidak puas hanya dengan itu, maka pikiran mereka mulai menyusun, mengatur, menghubungkan dan mempersatukan bermacam pengalaman, lalu mencoba mencari keterangan sejelas-jelasnya. Sehingga mereka memahami apa sesungguhnya pelangi itu dan bagaimana warna-warna itu bisa muncul seperti demikian adanya.

Endang Saifudin Anshari memaparkan beberapa definisi ilmu menurut para ahli. Menurut Mohammad Hatta, ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu gologan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam. Menurut Ralp Ross dan Ernest Van Den Haag, ilmu adalah gabungan dari berbagaimacam pengetahuan yang tersusun secara empiris, rasional, umum dan sistematik.[5]

B. Ilmu Pengetahuan dan Berpikir Ilmiah

Ilmu pengetahuan dan berfikir ilmiah – Berbekal rasa keingintahuan yang tinggi dan keraguan akan segala sesuatu[6], manusia memiliki bermacam-macam dorongan dan keinginan. Namun, sepanjang sejarah umat manusia hasrat yang paling menyita perhatian hanyalah dorongan untuk mengerti atau memahami segala sesuatu.

Dalam buku Metaphysica, Aristoteles menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki dorongan kodrati untuk memahami segala sesuatu.

Ambilah contoh reaksi anak kecil ketika disodori sebuah benda. Pertama-tama dia akan memperhatikannya, jika cukup menarik bagi indra penglihatannya, maka tergerak tangannya untuk meraba, lalu mengeksplorasi dengan mulut. Semua itu adalah proses paling awal dalam kehidupan manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Seiring dengan berkembangnya kemampuan linguistik manusia, manusia mulai menggunakan bahasa untuk menanyakan segala hal. Hal itu menunjukkan betapa manusia sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari ilmu.

Berpikir adalah kegiatan yang ditunjukkan dengan sasaran atau logika, yaitu aktivitas pikiran atau akal budi manusia. Dengan berpikir dimaksudkan kegiatan akal untuk mengolah pengetahuan yang telah diterima oleh manusia melalui panca indera, ditunjukkan untuk mencapai kebenaran.[7] Dengan demikian istilah berpikir menunjukkan suatu bentuk kegiatan akal yang khas dan terarah. Hampir sama dengan berpikir adalah melamun, namun melamun tidak dapat dikatagorikan berpikir, sebab obyek lamunan adalah hal-hal yang ada diluar jangkauan manusia.

Terkait dengan maksud berpikir tersebut, apa yang disebut benar bagi tiap orang tidaklah sama oleh karenanya kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu pun juga berbeda-beda.[8] Dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran dan kriteria kebenaran ini merupakan landaan nagi penemuan kebenaran tersebut.

Jujun S. Suriasumantri mengatakan bahwa penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran dimana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kebenarannya masing-masing.[9]

Dengan kalimat yang sederhana maka dapat didefinisikan bahwa berpikir adalah bicara dengan dirinya sendiri melalui akal logika yang terkait dengan kehidupan manusia. Kegiatan tersebut berupa mempertimbangkan, merenungkan, menganalisa, membuktikan sesuatu, menunjukkan alasan-alasan, mencari berbagai hal yang berhubungan dengan satu sama lain, menarik kesimpulan membahas suatu realita.

Macam-macam berpikir ilmiah dan Ilmu pengetahuan

  1. Deduktif, adalah mengambil kesimpulan dari dua pernyataan, yang pertama merupakan pernyataan umum dan selanjutnya merupakan pernyataan khusus.[10] Berpikir deduktif adalah berangkat dari konsep-konsep umum dan menarik kesimpulan secara khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola pikir yang disebut silogismus.[11] Silogismus disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Katakanlah umpamanya semua mamalia menyusui anaknya, sapi adalah mamalia, maka sapi menyusui anaknya.
  2. Induktif[12] adalah kebalikan dari konsep pertama, yaitu memulai melakukan pemikiran yang berangkat dari hal-hal yang khusus dan ditarik kesimpulan secara umum.
  3. Analogi dan komparasi adalah suatu usaha untuk mencapai kesimpulan dengan menggatikan apa yang kita coba membuktikannya dengan susuatu yang serupa dengan hal tersebut, namun lebih dikenal, dan kemudian menyimpulkan kembali apa yang menjadi awal pemikiran kita.[13]

Sarana berpikir ilmiah

Jujun mengatakan bahwa untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana yang berupa bahasa, logika, matematika dan statistika.[14]

  1. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain.
  2. Logika. Ditijau dari pola berpikirnya maka ilmu merupakan gabungan antara berpkir deduktif dan induktif. Untuk itu maka penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif.
  3. Matematika merupakan bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin disampaikan.
  4. Statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif.

Demikian ulasan singkat seputar Ilmu pengetahuan dan berfikir ilmiah semoga bermanfaat. situs: www.rangkumanmakalah.com

DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005)

Bakhtiar, Amsal , Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010)

Bird, Alexander, Philosophy of Science, e-book

Kattsoff, Louis O., Elements of Philosophy, Soejono Soemargono (penerjemah), (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996)

Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 200)

Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011)


[1] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), 85. Lihat juga Paul Edwards, Encyclopedia of Pholoshopy

[2] Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 77.

[3] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 12.

[4] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), 307.

[5] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 15,

[6] Seperti ungkapan Rene Descartes, De omnibus dubitandum! (Segala sesuatu harus diragukan). Lihat Jujun, Filsafat Ilmu, 50.

[7] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), 42.

[8] Ibid., 42.

[9] Ibid,. 43.

[10] Alexander Bird, Philosophy of Science, e-book, 8.

[11]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, 48.

[12] Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy, Soejono Soemargono (penerjemah), (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1996), 26-27.

[13] Ibid., 32.

[14] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, 167.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *