Daftar Isi
A. Definisi Filsafat Ilmu
Hubungan Ilmu pengetahuan dan Masyarakat di Indonesia – Filsafat ilmu adalah suatu penyelidikan filosofis mengenai dasar – dasar pengetahuan ilmiah dan cara bagaimana memperolehnya.Jadi untuk penyelidikan yang lebih mendalam. Jika ilmuwan yang berbeda – beda menyelidiki obyek dan problem khusus dari pada ilmunya, maka juga dimungkinkan untuk menyelidiki sendiri lebih dalam kegiatan ilmiah itu.
Ada berbagai definisi tentang filsafat ilmu yang dihimpun oleh The Liang Gie ( 1991 ), dapat dikutipkan sebagai berikut :
Robert Ackermann
Filsafat ilmu adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat – pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap pendapat – pendapat masa lampau yang telah dibuktikan atau dalam kerangka ukuran – ukuran yang dikembangkan dari pendapat – pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu bukan suatu cabang ilmu yang bebas dari praktek ilmiah senyatanya.
Lewis White Beck
Filsafat ilmu mempertanyakan dan menilai metode – metode pemikiran ilmiah serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
A. Cornelius Benyamin
Filsafat ilmu adalah telaah sistematis mengenai sifat dasar ilmu, khususnya metode –metodenya, konsep – konsepnya dan praanggapan – praanggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang – cabang pengetahuan intelektual.
Stephen R. Toulmin
Filsafat ilmu mencoba menjelaskan unsure – unsure yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah, prosedur – prosedur pengamatan, pola – pola perbincangan, metode – metode penggantian dan perhitungan, praanggapan – praanggapan metafisis, dan selanjutnya menilai landasan – landasan bagi kesalahannya dari sudut – sudut logika formal, metodologi praktis, dan metafisika.
May Brodbeck
Filsafat ilmu adalah analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan, dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
Ilmu pengetahuan merupakan upaya menyingkap realitas secara tepat dengan merumuskan objek material dan objek formal. Upaya penyingkapan realitas dengan memakai dua perumusan tersebut adakalanya menggunakan rasio dan empiris atau mensintesikan keduanya sebagai ukuran sebuah kebenaran (kebenaran ilmiah). Penyingkapan ilmu pengetahuan ini telah banyak mengungkap rahasia alam semesta dan mengeksploitasinya untuk kepentingan manusia.
Dewasa ini, ilmu pengetahuan yang bercorak empiristik dengan metode kuantitatif (Matematis) lebih dominan menduduki dialektika kehidupan masyarakat. Hal ini besar kemungkinan karena banyak dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran positivistiknya Auguste Comte yang mengajukan tiga tahapan pembebasan ilmu pengetahuan.[2] Pertama, menurut Auguste Comte ilmu pengetahuan harus terlepas dari lingkungan teologik yang bersifat mistis. Kedua, ilmu pengetahuan harus bebas dari lingkungan metafisik yang bersifat abstrak. Ketiga, ilmu pengetahuan harus menemukan otonominya sendiri dalam lingkungan positifistik.
Positifistik ini membuat masyarakat berkecenderungan menilai segala sesuatunya dengan ukuran pancaindera. Realitas yang tidak sesuai dengan persepsi pancaindera tidak termasuk sebuah kebenaran. Sehingga kebenaran yang bersifat teologis seringkali dikesampingkan dari kehidupan, pembicaraan terhadap sebuah nilai seringkali juga diabaikan. Dengan gaya kehidupan ini, masyarakat lebih banyak tidak peduli dengan hal-hal yang bersifat intuisi dan mengenyampingkan nilai etik kemasyarakatan.
B. Bentuk Hubungan Ilmu Pengetahuan dan masyarakat
Hubungan Ilmu pengetahuan dan Masyarakat – Menurut beberapa pakar, ilmu pengetahuan didefinisikan sebagai rangkaian aktifitas berfikir dan memahami dengan mengikuti prosedur sistematika metode dan memenuhi langkah-langkahnya.[3] Dengan pola tersebut maka akan dihasilkan sebuah pengetahuan yang sistematis mengenai fenomena tertentu, dan mencapai kebenaran, pemahaman serta bisa memberikan penjelasan serta melakukan penerapan.
Secara garis besar, ilmu pengetahuan dibagi menjadi dua bentuk, yakni ilmu eksakta dan ilmu humaniora. Ilmu eksakta adalah spesifikasi keilmuan yang menitikberatkan pada hukum sebab akibat. Penilaian terhadap ilmu-ilmu eksakta cenderung memakai metode observasi yang digunakan sebagai cara penelitiannya dan mengukur tingkat validitasnya. Dengan model tersebut, penelitian terhadap ilmu-ilmu eksakta sering mendapatkan hasil yang objektif. Sedangkan ilmu humaniora merupakan spesifikasi keilmuan yang membahas sisi kemanusian selain yang bersangkutan dengan biologis maupun fisiologisnya. Hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan ini lebih tertitik tekan dalam masalah sosiologis dan psikologisnya.
Menurut Jujun, cabang atau bentuk ilmu pada dasarnya berkembang dari cabang utama, yakni filsafat alam yang kemudian berafiliasi di dalamnya ilmu-ilmu alam (the natural sciences) dan filsafat moral yang kemudian berkembang menjadi menjadi cabang ilmu-ilmu social (the social sciences).[4] Dari kedua cabang tersebut, klasifikasi keilmuan menjadi kian tak terbatas. Diperkirakan sampai sekarang ini, terdapat sekitar 650 cabang keilmuan yang masih belum banyak dikenal.[5] Kepesatan kemajuan perkembangan ilmu ini demikian cepat, hingga tidak menutup kemungkinan sepuluh tahun ke depan, klasifikasi keilmuan bisa mencapai ribuan jumlahnya.
Sekian banyak jumlah cabang keilmuan tersebut, bermula dari ilmu alam yang membagi diri menjadi dua kelompok, yakni ilmu alam (the physical sciences) dan ilmu hidup (hayat/the biological sciences).[6] Ilmu alam ini bertujuan untuk mempelajari zat yang membentuk alam semesta. Ilmu ini kemudian membentuk rumpun keilmuan yang lebih spesifik, misalnya sebagai ilmu fisika yang mempelajari tentang massa dan energi, ilmu kimia yang membahas tentang substansi zat, ilmu astronomi yang berusaha memahami kondisi benda-benda langit dan ilmu-ilmu lainnya. Dari rumpun keilmuan ini kemudian membentuk ranting-ranting baru, seperti kalau dalam fisika ada yang namanya mekanik, hidrodinamika, bunyi dan seterusnya yang masih banyak lagi ranting-ranting kecil.
Demikian juga dalam bidang filsafat moral, walaupun perkembangan cabang keilmuan ini sedikit agak lambat jika dibandingkan dengan cabang keilmuan yang dilahirkan dari filsafat alam, namun ia juga mengerucut ke bidang-bidang yang lebih spesifik.[7] Filsafat moral bermetamorfosis menjadi ilmu-ilmu sosial, misalnya antropologi yang mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan tempat, psikologi yang memperhatikan proses mental dan kelakuan manusia, sosiologi yang membahas struktur organisasi sosial manusia, ekonomi yang memahami manusia dalam memahami kebutuhan kehidupannya, ilmu politik yang mempelajari sistem dan proses dalam kehidupan manusia berpemerintahan dan bernegara.
Disiplin keilmuan tersebut di atas terlahir dari beberapa sumber. Ilmu pengetahuan yang terlahir dari sumber yang berdampak pada perbedaan dari masing-masing jenis keilmuan. Meskipun demikian tidak semua orang mempercayai dan mengakui keilmuan seseorang yang kebetulan muncul dari sumber yang tidak diyakini oleh kebanyakan masyarakat. Misalnya ilmu ladunniy yang diyakini adanya di kawasan Timur namun tidak dipercaya di daerah Barat.
Dalam buku Filsafat Ilmu karya Amsal Bakhtiar dikatakan bahwa ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa sumber ilmu pengetahuan keluar dari empat hal.[8] Pertama adalah Empirisme, menurut aliran ini seseorang bisa memperoleh pengetahuan dengan pengalaman inderawinya. Dengan indera manusia bisa menghubungkan hal-hal yang bersifat fisik ke medan intensional, atau menghubungkan manusia dengan sesuatu yang kongkret-material. Kedua adalah Rasionalisme, aliran ini menyatakan bahwa akal merupakan satu-satunya sumber kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang diakui benar semata-mata hanya diukur dengan rasio.
Ketiga adalah intuisi. Menurut Henry Bergson yang dikutip oleh Bakhtiar, intuisi adalah hasil evolusi dari pemahaman yang tertinggi. Intuisi ini bisa dikatakan hampir sama dengan insting, namun berbeda dalam tingkat kesadaran dan kebebasannya. Untuk menumbuhkan kemampuan ini, diperlukan usaha dan kontinuitas latihan-latihan. Ia juga menambahkan bahwa intuisi mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis yang meliputi harus adanya analisis, menyeluruh, mutlak dan lain sebagainya. Karena itu, intuisi adalah sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Keempat adalah wahyu, sumber ini hanya khusus diperoleh melalui para Nabi yang menerima pengetahuan langsung dari Tuhan semesta alam. Para Nabi memperoleh pengetahuan tanpa upaya dan tanpa memerlukan waktu tertentu. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan.
Tabel Hubungan Ilmu Pengetahuan dan Masyarakat
Jika sumber pengetahuan tersebut dihubungkan dengan struktur realitas (objek) dan struktur keilmuan, maka pengklasifikasiaanya sebagaimana dalam tabel berikut:[9]
Sumber Ilmu | Struktur Realitas (objek) | Struktur Keilmuan |
Intuisi, rasio, indera, wahyu | Transenden | Ilmu Agama (kitab suci) |
Rasio, indera, intuisi | Manusia | Ilmu filsafat |
Rasio, indera, intuisi | Masyarakat | Ilmu sosial, budaya, ekonomi, politik dsb |
Rasio, indera, intuisi | Sebab-akibat, proses | Ilmu fisika, kimia dsb |
Intuisi | Pertahanan hidup | Ilmu kelangsungan hidup |
Indera | Fisiko-kemis | Pengetahuan sederhana |
Jika melihat klasifikasi yang terdapat dalam tabel di atas, maka untuk sementara bisa diambil kesimpulan sementara bahwa kebenaran bisa bersifat multidimensional. Artinya ada beberapa bidang keilmuan bisa lahir dari semua sumber pengetahuan.
C. Paradigma Masyarakat dalam memahami Hubungan ilmu pengetahuan dan masyarakat
Hubungan Ilmu pengetahuan dan Masyarakat – Bagi yang mempercayai keberadaan manusia purba, yang kemudian berkembang menjadi manusia modern sekarang karena berproses melalui beberapa tahapan. Tingkat pengetahuan manusia kuno tentu sangat berbeda sekali dengan pengetahuan manusia masa kini. Perbedaan pengetahuan antara manusia kuno dan masa kini tentu mempengaruhi pola hidup dan peradabannya. Misalnya sebelum manusia mengenal besi, ia memakai batu sebagai alat untuk mendapat serta memotong makanan, atau sebelum mengenal api sebagai alat untuk memasak, manusia kuno langsung menkonsumsi makanan yang mereka dapat tanpa ada proses pematangan.
Pengetahuan yang melingkupi kehidupan sosial cenderung memberikan pengaruh terhadap cara pandang masyarakatnya. Pola sikap dan tatanan kemasyarakatan terbentuk dari ciri-khas metode berfikir yang digunakan. Ketika dalam semua komunitas didonimasi oleh cara berfikir linier, maka apapun yang terjadi akan dinalar secara linier juga.
Seperti di Indonesia yang masyarakatnya melebihkan kecerdasan intelektual (logika), dengan sendirinya mereka akan memakai metode kuantitatif dalam mengukur semua hal, termasuk menilai kondisi sosial. Kebenaran apapun akan dinalar seperti perhitungan ilmu ukur, yang jaminan ketepatannya terletak pada penilaian logika, yaitu hubungan logis yang sesuai aksiomata.[10] Padahal kalau dipakai untuk menilai manusia sebagai makhluk yang dinamis, paradoksal dan multidimensional akan memperoleh hasil yang jauh dari kebenaran yang tepat.
Ilmu ukur sering diperbandingkan dengan permainan catur. Permainan ini harus sesuai dengan hukum-hukum permainan yang telah dirumuskan sebelumnya untuk masing-masing alat permainannya. Aksiomata catur dirumuskan dengan raja, panglima, kuda dan lain sebagainya.[11] Demikian ilmu ukur yang terbatas pada dimensi linier tidak bisa dibuat ukuran pada kehidupan sosial yang dinamis
Lambat laun, cara berfikir kualitatif ini mempengaruhi semua lini aktifitas masyarakat. Segalanya hanya akan diukur dengan penalaran logika. Penilaian terhadap benar dan salah, baik dan buruk semata-mata hanya melalui pertimbangan rasio. Aktifitas atau kejadian yang tidak bisa dijelaskan dengan logika akan ditolak dan dicampakkan, karena kebenaran yang diterima adalah sesuatu yang dirasa bisa dicerna dengan akal atau masuk di akal. Cara pandang ini menghilangkan cara berfikir yang lain, yang bisa jadi lebih mendekati kebenaran yang lebih sempurna.
Jika diperhatikan, cara pandang seperti ini muncul sejak abad ke 17 M, yakni ketika peradaban modern dimulai. Sejak mulainya peradaban modern ini, karakter peradaban dicirikan dengan meluas dan mendalamnya pengaruh paradigma Cartesian-Newtonian[12] terhadap cara pandang, pola pikir, visi, dan sistem nilai modern pada umumnya.[13] Cara pandang kedua tokoh ini telah menyatu dengan kehidupan masyarakat dan berlangsung sedemikian rupa dalam berbagai sistem dan dimensi kehidupan modern.
Paradigma ini menjadi dominan setelah paradigma teologis organismik Aristotelean yang dominan di Abad Pertengahan mulai dipertanyakan orang. Tepatnya, setelah terjadi revolusi Copernicus yang mendobrak kosmologi heliosentris dan menggantikannya dengan pandangan kosmologis yang geosentris.[14] Paradigma Aristotelean yang menitikberatkan sesuatu kepada keyakinan mistis dirubah menjadi paradigma yang menitikberatkan kebenaran pada rasio.
Paradigma Cartesian-Newtonian tidak hanya berbicara pada masalah yang bersifat ilmiah belaka. Namun, paradigma di sini berarti suatu pandangan-dunia (world view), atau cara pandang yang sudah menjadi pervasif dan terkandung di dalamnya asumsi-asumsi ontologis dan epistemologis tertentu, visi realitas, dan sistem nilai.[15] Paradigma ini merupakan pandangan dunia yang menjadi kesadaran kolektif dan dianut bersama oleh suatu komunitas masyarakat modern.
Penyebutan paradigma yang tidak hanya berbicara pada masalah ilmiah dan paradigma yang menjadi pandangan dunia dalam paragraph di atas, akan lebih jelas jika dikatakan bahwa paradigma mengandung dua komponen utama.[16] Pertama mengandung prinsip-prinsip dasar, yaitu asumsi teoritis yang mengacu kepada sistem metafisis, ontologis dan epistemologis tertentu. Kedua mengandung kesadaran intersubjektif, yakni kesadaran terhadap prinsip-prinsip dasar itu dianut secara bersama sehingga dapat melangsungkan komunikasi yang memiliki frame of reference yang sama.
Misalnya, konsep maju (progress) menurut paradigma Cartesian-Newtonian adalah bertambahnya kepemilikan dan penguasaan manusia terhadap alam. Dengan demikian, bangsa yang mampu mengeksploitasi alam melalui industri disepakati untuk digolongkan sebagai bangsa maju atau dunia pertama, meskipun bangsa itu melakukan praktik-praktik dehumanisasi. Sebaliknya, negara yang industrinya terbelakang digolongkan sebagai negara yang tidak maju/negara berkembang/negara ketiga, meskipun negara itu damai dan beradab.
Asumsi-asumsi paradigma Cartesian-Newtonian di antaranya sebagai berikut:[17] (1) Subjektivisme-antroposentrik;[18] (2) Dualisme;[19] (3) Mekanistik-deterministik;[20] (4) Reduksionisme-atomistik;[21] (5) Instrumentalisme;[22] (6) Materialisme-saintisme.[23] Semua asumsi ini dijadikan dasar pandangan untuk semua dimensi dan sistem kehidupan manusia modern. Pandangan masyarakat dunia tidak melepaskan salah satu dari ke enam asumsi tersebut, sehingga dengan asumsi-asumsi tersebut di atas menjadi ciri khas pandangan masyarakat modern. Bahkan dalam permasalahan sosial pun, ke enam asumsi tersebut masih seringkali di pakai sebagai standard kebenaran.
Asumsi-asumsi di atas meyakini akan adanya kebenaran yang betul-betul objektif dan tidak tergantung pada perspektif dan autoritas subjektif. Dengan demikian paradigma Cartesian-Newtonian menjadi juru selamat bagi masyarakat luas karena pendekatan ilmiah dan rasionalitasnya. Paradigma ini menawarkan jalan keluar bagi pengetahuan ilmiah dari kepentingan-kepentingan manusiawi karena mengandung empat asas universal, yakni keyakinan akan adanya kebenaran objektif, keyakinan akan adanya metode-metode untuk mendekati kebenaran, keyakinan akan kemungkinan adanya konsensus mengenai kebenaran itu sendiri dan keyakinan bahwa konsensus itu bisa dicapai tanpa adanya paksaan.[24] Empat asas ini menjadi dasar suatu sistem yang mengatur kehidupan masyarakat. pada Hubungan Ilmu pengetahuan dan masyarakat
Namun demikian, paradigma yang menjadi pandangan umum ini bukan berarti terlepas total dari adanya kelemahan. Meskipun ia bisa melepaskan diri dari unsur otoritas subjektivitas, tetapi bukan berarti ia bisa membuat penilaian dengan segala asumsi dan asas keuniversalannya. Rasionalitas yang menjadi jantung kehidupan modern tidak cukup memberikan kepuasan bagi masyarakat secara lebih mendalam. Kehidupan yang mendasarkan sistemnya hanya kepada rasio, hanya akan menumbuhkan kehampaan mental masyarakatnya. Sehingga tidak jarang ditemui dalam masyarakat modern ini orang-orang yang merasa sepi di tengah keramaian.
Kinerja rasio hanya terbatas pada rasionalitas instrumental saja, ia hanya bisa menetapkan fakta namun tidak sampai pada nilai. Menurut Weber yang dikutip oleh Hardiman mengatakan bahwa rasio tidak mampu berhadapan dengan tujuan atau nilai-nilai, rasio hanya bisa menjawab pertanyaan bagaimana cara terbaik untuk mencapai tujuan, sementara tujuan itu sendiri harus disimpulkan berdasarkan landasan lain yang bukan rasio.[25]
Desisionisme mengatakan bahwa tujuan atau nilai tertinggi hanya bisa diterima berdasarkan pada suatu keputusan non-rasional.[26] Seseorang bisa memilih Nasionalisme yang lain Humanisme, seseorang bisa memilih seni sebagai agama, Islam, Kristen, Yahudi, Ateis dan lain sebagainya tanpa ada landasan rasional untuk bisa mengatakan bahwa keputusan seseorang itu lebih baik dari yang lain.[27] Rasio tidak bisa menentukan nilai-nilai yang lahir dari kepercayaan keagamaan.
Kesimpulan
Demikian jika diberi sedikit kesimpulan bahwa Hubungan ilmu pengetahuan dan masyarakat mempunyai keterkaitan yang sangat erat sekali. Sistem dan metode yang dipakai oleh pengetahuan akan mempengaruhi paradigma masyarakatnya. Seperti yang telah disinggung diatas bahwa peradaban manusia tergantung dengan sistem dan metode pengetahuannya. Paradigma Aristotelian mempengaruhi cara pandang masyarakat pada waktu itu karena lebih condong pada hal-hal yang bersifat teolog dan mistis, paradigma Cartesian-Newtonian mempengaruhi masyarakat modern karena cara fikir yang dominant dengan rasio. Kiranya untuk perjalanan kehidupan ke depan akan muncul paradigma baru yang berhasil mempertanyakan dan menyangsingkan paradigma Cartesian-Newtonian ini.
Demikian ulasan singkat seputar Hubungan Ilmu pengetahuan dan masyarakat di indonesia. semoga bermanfaat.
situs: www.rangkumanmakalah.com
DAFTAR PUSTAKA
_________________. Visi-Visi Postmodern, Yogyakarta: Kanisius, 2005.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Gie, The Liang. Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 2004.
Hardiman, F. Budi. Melampaui Positivisme dan Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Heriyanto, Husain. Paradigma Holistik, Jakarta: TERAJU, 2003.
Snidjer, Adelbert. Manusia & Kebenaran, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.
Zubair, Achmad Charris. Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia, Yogyakarta: LESFI, 2002.
[1]Achmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia (Yogyakarta: LESFI, 2002), 3-4.
[2]Ibid, 39.
[3]The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 2004), 93.
[4]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), 93.
[5]Ibid.
[6]Ibid.
[7]Ibid, 94.
[8]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), 98-110.
[9]Zubair, Dimensi Etik… 17. Pemilahan sumber ilmu dan pemasangannya dengan struktur realitas serta keilmuan dalam tabel di atas tidak mutlak seperti itu adanya.
[10]Adelbert Snidjer, Manusia & Kebenaran (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 7.
[11]Ibid.
[12]Modus pemikiran dua tokoh ini yang dijadikan sebagai tulang punggung dinamika modernisme telah menjadi kesepakatan di antara para cendikiawan. Seperti Alferd North Whitehead, Fritjof Capra, Sayyed Hossein Nasr, Thomas Kuhn, Gregory Bateson, Arne Naess dan Morris Berman merupakan beberapa cendikiawan dan filsuf yang menyebut Rene Descartes (1596-1650 M) dan Isaac Newton (1642- M) sebagai pembangunan fondasi pandangan dunia paradaban modern (Husain Heriyanto, Paradigma Holistik [Jakarta: TERAJU, 2003], 27).
[13]Heriyanto, Paradigma Holistik… 25.
[14]Ibid. xiii.
[15]Ibid, 29.
[16]Ibid.
[17]Ibid, 43.
[18]Di sini dikatakan bahwa manusia merupakan pusat dunia. Kesadaran subjektivisme ini dasarkan pada prinsip pertama Descartes yang menyatakan aku berfikir maka aku ada (cogito ergo sum). Prinsip ini merupakan bentuk kesadaran subjek yang mengarah kepada dirinya sendiri, dan hal ini merupakan basis ontologism terhadap eksistensi realitas eksternal di luar diri sang subjek.
[19]Paradigma ini membagi realitas menjadi subjek dan objek, manusia dan alam, dengan menempatkan superioritas subjek atas objek. Pandangan ini menganggap bahwa manusia (subjek) dapat memahami dan mengupas realitas yang terbebas dari konstruksi mental manusia, subjek dapat mengukur objek tanpa mempengaruhinya, dan sebaliknya tanpa dipengaruhi oleh objek.
[20]Paradigma ini ditegakkan atas dasar asumsi kosmologis bahwa alam raya merupakan sebuah mesin raksasa yang mati dan statis. Bukan alam saja, bahkan semua yang di luar kesadaran subjek dianggap sebagai mesin yang bekerja menurut hukum matematika yang kuantitatif, termasuk tubuh manusia sendiri. Hal ini adalah konsekwensi alamiah dari paham dualisme yang menghidupkan subjek dan mematikan objek. Karena subjek hidup dan sadar sedangkan objek berbeda secara diametral dengan subjek. Maka seharusnylah objek mati dan tidak berkesadaran.
[21]Alam semesta semata-mata dipandang sebagai mesin yang mati tanpa makna simbolik dan kualitatif, tanpa nilai, tanpa cita rasa etis dan estetis. Alam menurutnya betul-betul hampa dan kosong dari nilai spiritualitas.
[22]Kebenaran suatu pengetahuan diukur dari sejauh mana ia dapat digunakan untuk memenuhi kepentingan material dan praktis. Oleh karena itu, sains modern menjadi terkait erat dengan teknologi. Dengan teknologi manusia modern makin dapat mendominasi dan mengeksploitasi alam.
[23]Alam semesta terus bergerak seperti sebuah mesin yang diatus oleh hokum-deterministik, dan Tuhan tidak diperlukan lagi kehadiran-Nya dalam kosmos ini.
[24]F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 174.
[25]F. Budi Hardiman, Visi-Visi Postmodern (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 21.
[26]Ibid.
[27]Kritik terhadap modernitas ini sangat panjang sekali jika ingin untuk diteruskan, terutama jika merujuk pada postmodernisme.