Lompat ke konten
Home » √ Kebenaran Obyektifitas dalam Ilmu Pengetahuan, Lengkap!

√ Kebenaran Obyektifitas dalam Ilmu Pengetahuan, Lengkap!

Daftar Isi

kebenaran obyektifitas dalam Ilmu Pengetahuan
kebenaran obyektifitas

Kebenaran Obyektifitas dalam Ilmu Pengetahuan – Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran. kebenaran obyektifitas sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah hakekat kebenaran itu?[4]

Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum universal.[5]

A. Pengertian Kebenaran objektifitas dalam ilmu pengetahuan

Kebenaran Obyektifitas dalam Ilmu Pengetahuan – Dalam ilmu pengetahuan kebenaran adalah sesuatu yang terus dicari. Pada zaman dahulu manusia mengabaikan mitos-mitos, dongeng-dongeng karena menginginkan kebenaran sejati. Ini menyebabkan ilmu pengetahuan kadang berkonflik dengan agama dan keuasaan, kadang bahkan dengan ilmu yang ada sebelumnya. Ini menyebabkan pertengkaran tidak hanya dalam pihak teori dan pemikiran, namun juga pribadi dan lain sebagainya.

Karena mencari kebenaran yang sejati ini. Ilmu pengetahuan tidak pernah berhenti mencari kebenaran. Penelitiannya tidak pernah usai untuk menemukan kebenaran yang sebenar-benarnya yang tidak diragukan lagi. Mungkin awal dari pemikiran ini ada pada Rene Descartes. Descartes mencoba mencari kebenaran yang tidak diragukan lagi, dengan cara meragukan segala sesuatu yang pernah diketahuinya. Dengan menghancurkan basis sebelumnya mengetahui kebenaran.[6]

Secara bahasa objektivitas dapat dipahami sebagai sebuah sikap yang menggambarkan adanya kejujuran, bebas dari pengaruh pendapat dan pertimbangan pribadi atau golongan dan lain-lain khususnya dalam upaya untuk mengambil sebuah keputusan atau tindakan. Dalam konteks keilmuan kebenaran obyektifitas hanya dapat diakui jika dan hanya jika melalui prosedur yang absah berdasarkan konsep metode ilmiah. Jika sesuai dengan syarat dan prosedur metode ilmiah maka penemuan tersebut bisa disebut objektif dan jika tidak maka disebut sebagai sesuatu yang tidak objektif dan karenanya dianggap nisbi.

Selanjutnya dengan metode ilmiah itu sebuah ilmu benar-benar bisa diakui objektif atau bebas nilai. Meskipun dalam tataran historis sesuatu yang kemudian terbantahkan adalah objektivitas mengapa selalu berubah-ubah seiring dengan bergulirnya waktu, khususnya perkembangan sains dan teknologi. Bukankah semestinya, sesuatu yang kebenaran obyektifitas di masa lalu juga objektif di masa sekarang dan yang akan datang. Oleh karena itu wajar jika kemudian muncul pertanyaan, benarkah yang dianggap nisbi itu betul-betul nihil atau justru eksis dan sebaliknya? Sebelum membahas hal ini ada baiknya kita kaji lebih dulu apa itu ada atau apa itu ontologi.[7]

B. Teori-Teori Kebenaran Menurut Filsafat

1. Teori Corespondency.

Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita oyek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar.

Teori korispodensi (corespondence theory of truth) ® menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut.

Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang serasi dengan sitasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu [8]:

1. Pernyataan (statement)

2. Persesuaian (agreemant)

3. Situasi (situation)

4. Kenyataan (realitas)

5. Putusan (judgements)

kebenaran obyektifitas adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya Plato, Aristotels dan Moore dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad Skolatik, serta oleh Berrand Russel pada abad moderen. Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori kebenaran menurut korespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.[9]

Artinya anak harus mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral itu. Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di dalam kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standard atau asas normatif bagi tingkah laku. Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku harus dicocokkan dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek, nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.

2. Teori Consistency

Teori ini merupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan eksperimen dianggap relible jika kesan-kesanyang berturut-turut dari satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.

Menurut teori consistency untuk menetapkan suatu kebenaran bukanlah didasarkan atas hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek (ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya. Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin sekali berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman subyek lain.[10]

Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering dilakukan di dalam penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang pengukuran pendidikan. Teori konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dankelanjutan yang teliti dan teori korespondensi. Teori korespondensi merupakan pernyataan dari arti kebenaran. Sedah teori konsistensi merupakan usaha pengujian (test) atas arti kebenaran tadi.

Teori koherensi (the coherence theory of trut) menganggap suatu pernyataan benar bila di dalamnya tidak ada perntentangan, bersifat koheren dan konsisten dengna pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya. Rumusan kebenaran obyektifitas adalah turth is a sistematis coherence dan trut is consistency. Jika A = B dan B = C maka A = C Logika matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis.[11]

Teori ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza dan George Hegel. Suatu teori dianggapbenar apabila telah dibuktikan (klasifikasi) benar dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yang benar atau dengan teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya.

3. Teori Pragmatisme

Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra pendidik sebagai metode project atau medoe problem olving dai dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di dalamkeseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan. Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat segala sesutu menjadi lebih jelas dan mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak, teori ini salah. Jika teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah teori itu benar. Yang dapat secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar (kebenaran).[12]

Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil itu memliki kebanran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia. Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility) dapat dikerjakan (workobility) dan akibat yagn memuaskan (satisfaktor consequence). Oleh karena itu tidak ada kebenaran yang mutak/ tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibatnya. Akibat hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah : (1). Sesuai dengan keinginan dan tujuan, ( 2). Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen, (3). Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada).

Teori ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada filsup Amerika tokohnya adalha Charles S. Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey (1852-1859). Wiliam James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada konsikuensi, pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsikasi tidaklah terletak di dalam ide itu sendiri, malainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya setelah dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti obyek secara langsung (teori korepondensi) atau cara tak langsung melalui kesan-kesan dari pada realita (teori konsistensi). Melainkan mengerti segala sesuai melalui praktek di dalam program solving.[13]

4. Kebenaran Religius

Kebenaran adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar. kebenaran obyektifitas tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan individu. Kebenaran bersifat objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.

Nilai kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat superrasional dan superindividual. Bahkan bagi kaum religius kebenarn aillahi ini adalah kebenarna tertinggi, dimnaa semua kebanaran (kebenaran inderan, kebenaran ilmiah, kebenaran filosofis) taraf dan nilainya berada di bawah kebanaran ini :

C. Konsep kebenaran Objektivitas Dalam Ilmu Pengetahuan

Kebenaran Obyektifitas dalam Ilmu Pengetahuan – Secara bahasa objektivitas dapat dipahami sebagai sebuah sikap yang menggambarkan adanya kejujuran, bebas dari pengaruh pendapat dan pertimbangan pribadi atau golongan dan lain-lain khususnya dalam upaya untuk mengambil sebuah keputusan atau tindakan. Dalam konteks keilmuan objektivitas hanya dapat diakui jika dan hanya jika melalui prosedur yang absah berdasarkan konsep metode ilmiah. Jika sesuai dengan syarat dan prosedur metode ilmiah maka penemuan tersebut bisa disebut objektif dan jika tidak maka disebut sebagai sesuatu yang tidak objektif dan karenanya dianggap nisbi.

Selanjutnya dengan metode ilmiah itu sebuah ilmu benar-benar bisa diakui objektif atau bebas nilai. Meskipun dalam tataran historis sesuatu yang kemudian terbantahkan adalah objektivitas mengapa selalu berubah-ubah seiring dengan bergulirnya waktu, khususnya perkembangan sains dan teknologi. Bukankah semestinya, sesuatu yang objektif di masa lalu juga objektif di masa sekarang dan yang akan datang.[14]

Oleh karena itu wajar jika kemudian muncul pertanyaan, benarkah yang dianggap nisbi itu betul-betul nihil atau justru eksis dan sebaliknya? Sebelum membahas hal ini ada baiknya kita kaji lebih dulu apa itu ada atau apa itu ontologi.Karena objektif itu seringkali dipahami identik dengan ada, maka bahasan ontologi menjadi perlu untuk dijadikan bahasan awal dalam pemaparan mengenai objektifitas itu sendiri. Masalah ontologi adalah bagian dari filsafat ilmu yang membahas pandangan terhadap hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah.

Termasuk dalam pandangan terhadap hakikat ilmu ini adalah pandangan terhadap sifat ilmu itu sendiri. Dalam kajian ilmu-ilmu sosial misalkan, khususnya dalam kajian perbandingan antara pandangan ilmiah dan ajaran Islam dapat dilihat dalam beberapa bahasan. Pertama mengenai pandangan terhadap ilmu sosial itu sendiri, kedua tentang sifat pengetahuan ilmiah, dan ketiga, masalah kebenaran obyektifitas dan nilai dalam ilmu-ilmu sosial.

Selain itu, secara historis kajian ontologi merupakan bahasan filsafat yang paling tua. Hal ini dikarenakan rasa ingin tahu manusia terhadap hakikat segala sesuatu yang ada termasuk eksistensinya sebagai manusia. Secara faktual, keberadaan manusia bukanlah sesuatu yang lahir dari kesadaran dirinya, namun disebabkan oleh suatu kehendak di luar dirinya yang mengharuskan manusia itu sendiri secara pribadi menerima dirinya apa adanya. Manusia sama sekali tidak mengerti mengapa dia berjenis kelamin pria atau wanita dan lahir dari wanita bangsawan ataupun wanita biasa. Maka dengan kondisi demikian, kajian ontologi dengan sendirinya akan memberikan dampak positif dalam pemaknaan diri dan kehidupan manusia itu sendiri.[15]

Pengamatan yang mendalam terhadap kehidupan ini secara otomatis akan mengantarkan manusia pada satu kesadaran dimana dia akan mencari sang pencipta yang tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Secara alamiah konsep kebetulan tidaklah dapat diterima logika sehat. Sebab secara faktual, pengalaman kehidupan, tidak ada yang ada secara sendiri, demikian juga halnya, tidak ada yang ada secara kebetulan, karena yang disebut kebetulan itu pada dasarnya ada oleh adanya proses yang ada di luar dirinya yang tidak ia ketahui, sehingga ia mengatakan ada itu, ada secara kebetulan, kesimpulan semacam ini tentu keliru, karena telah menegasikan hakikat fakta yang merealita.[16]

Berbeda dengan Barat, bagi mereka yang ada adalah fakta dan kebenaran. Mengenai hal-hal lain yang diluar fakta itu sendiri dan tidak dapat diverifikasi secara ilmiah maka hal tersebut tidaklah menjadi satu bahasan yang esensial meskipun memiliki peran yang sangat menentukan. Mulyadhi Kartanegara, seorang doktor study Islam dari Chicago AS menjelaskan bahwa apa yang ada atau ontologi yang diakui oleh peradaban Barat hanya sebatas pada realitas yang bersifat observeable. Dengan kata lain segala hal yang tidak observeable dianggap nisbi dan karenanya manusia yang masih meyakini hal-hal yang berada jauh diluar jangkauan indera disebut sebagai ilusi semata. Oleh karena itu, positivisme yang selanjutnya dipopulerkan oleh Auguste Comte menjadi alternatif utama Barat dalam menentukan kriteria ilmiah dan benar dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan.

Afirmasi terhadap ontologi yang bersifat observeable ini bukan tanpa alasan. Jika ditinjau dari sisi historis, hal ini bisa dianggap sebagai kewajaran dan memang sudah selayaknya Barat dalam kondisi tersebut. Dengan kata lain sekularisasi yang kini mewabah dan menjangkiti sebagian sarjana muslim, relevan bagi Barat namun tidak bagi Islam. Sejarah Barat yang sangat traumatik terhadap hegemoni gereja pada abad pertengahan menjadi satu alasan kuat akan keniscayaan sekularisasi dan pada akhirnya liberalisasi.

Dalam fislafat ilmu, Auguste Comte (1789 – 1857) memandang tahap berpikir teologis sebagai tahap paling primitif dalam perkembangan pemikiran masyarakat. Menurutnya, cara berpikir teologis berusaha mencari jawaban absolut dari masalah-masalah yang dihadapi, speerti sebab pertama dan terakhir segala sesuatu. Oleh karena itu Comte pun dalam penjelasan berikutnya menjelaskan bahwa perkembangan terbaik ketika manusia berpikir positivistis dengan menolak yang absolut dan menerima yang relatif. [17]

Sekularisasi tersebut selanjutnya menjadi wajar dalam dunia kristen. Bernard Lewis menjelaskan bahwa sejak awal mula, kaum kristen diajarkan – baik dalam persepsi maupun praktis – untuk memisahkan antara Tuhan dan Kaisar dan dipahamkan tentang adanya kewajiban yang berbeda antaa keduanya. Sekularisasi ternyata masih dianggap kurang dan pada akhirnya sampailah Barat pada diskursus yang sangat mengkhawatirkan yakni Liberalisme.

Pakar sejarah Barat biasanya menunjuk moto Revolusi Prancis 1789 – kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberte, egalite, fraternite) sebagai piagam agung (magna charta) liberalisme modern. Lebih jelas H. Gruber menjabarkan bahwa prinsip liberalisme yang paling mendasar ialah pernyataan bahwa tunduk kepada otoritas – aapapun namanya –a adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia – yakni otoritas yang akarnya, aturannya, ukurannya, dan ketetapannya ada di luar dirinya. [18]

Kebenaran Obyektifitas Sekularisme dan Liberalisme

Kebenaran Obyektifitas dalam Ilmu Pengetahuan – Sekularisme dan Liberalisme ini sejatinya bentuk lain dari pengakuan bahwa kebenaran obyektifitas yang benar (objektif) itu adalah apa yang terkandung dalam kedua konsep tersebut. Dan oleh karena itu, agama pun dinilai nisbi bahkan candu dan membahayakan kehidupan manusia. Pada akhirnya lahirlah satu konsep bahwa objektifitas atau objektif dalam keilmuan berarti upaya-upaya untuk menangkap sifat alamiah (mengindentifikasi) sebuah objek yang sedang diteliti/ dipelajari dengan suatu cara dimana hasilnya tidak tergantung pada fasilitas apapun dari subjek yang menyelidikinya.[19] Keobjektifan, pada dasarnya, tidak berpihak, dimana sesuatu secara ideal dapat diterima oleh semua pihak, karena pernyataan yang diberikan terhadapnya bukan merupakan hasil dari asumsi(kira-kira), prasangka, ataupun nilai-nilai yang dianut oleh subjek tertentu.

Hal ini dikuatkan oleh pernyataan intelektual muslim kontemporer yang menggagas Islamisasi ilmu, Syed Muhammad Naquib Al Attas menegaskan bahwa objektifitas sains merupakan satu-satunya ilmu yang otentik; bahwa ilmu hanya persangkut-paut dengan fenomena; bahwa sains ini, termasuk pernyataan-pernyataan dasar dan kesimpulan-kesimpulan umum sain dan filsafat yang diturunkan darinya. Pengakuan kebenaran yang terbatas pada jangkauan indera menjadikan objektif yang ditempuh dengan metode ilmiah dapat dikatakan absah jika memenuhi syarat prosedural yang meliputi pengamatan percobaan, pengukuran, survei, deduksi, induksi, dan analisis. Selain itu juga kebenaran objektif (bebas nilai) harus memenuhi standar empiris, sistematis, objektif, analitis, dan verifikatif.

Namun berbeda dengan konsep ada, realitas dan kebenaran atau tataran ontologi dalam cara pandang (worldview) Islam. Dalam Islam konsep realitas dan kebenaran tidak sebatas pada dimensi duniawi yang bersifat kedisini-kinian. Tetapi juga meliputi alam akhirat yang bersifat hakiki. Hakiki disini berasal dari kata haqq yang maknanya mencakup dua pengertian sekaligus yakni tentang realitas dan kebenaran itu sendiri. Berbeda dengan cara pandang Barat yang partikular sehingga memisahkan pengertian kata, realitas, kebenaran dan fakta sebagai pendukungnya.

Lawan dari haqq adalah bathil, yang artinya bukan-realitas atau kepalsuan. Haqq berarti suatu kesesuaian dengan syarat-syarat kebijaksanaan, keadilan, kebenaran, ketepatan, realitas dan kepantasan (moral). Ia merupakan suatu keadaan, kualitas, atau sifat yang ditemukan dalam kebijakan, keadlan, ketepatan, kebenaran, realitas, dan kepantasan. Ia merupakan suatu keadaan keniscayaan, sesuatu yang tak terhindarkan, wajib, hak yang mesti diberikan. Ia merupakan keadaan eksistensi dan mencakup segalanya. [20]

Selain kata haqq, umum kita mengenal kata sidhq, yang berarti kebenaran atau kejujuran, yang lawannya adalah kidzb, yang berarti ketidakjujuran atau kepalsuan. Namun, sidhq hanya menunjuk kepada kebenaran yang berkaitan dengan pernyataan atau kata-kata yang diucapkan; sementara kata haqq tidak hanya mengacu kepada pernyataan tetapi juga tindakan, perasaan, kepercayaan, penilaian, serta hal-hal dan kejadian-kejadian dalam eksistensi.

Hal-hal dan kejadian-kejadian yang ditunjuk oleh haqq bukan hanya berkaitan dengan kondisinya sekarang, tetapi juga kondisi yang lalu dan yang akan datang. Dalam hubungannya dengan kondisi yang adkan datang, haqq artinya verifikasi, realisasi, dan aktualisasi. Sebenarnya, haqq di sini dipahami sebagai mencakup realitas maupun kebenaran yang berkaitan dengan keadaan eksistensi, karena ia merupakan satu dari nama-nama Tuhan yang menggambarkan-Nya sebagai eksistensi mutlak yang merupakan realitas, dan bukan konsep, eksistensi. [21]

Dalam salah satu pandangan yang mencoba memahami secara partikular tentang eksistensi, eksistensi dipahami sebagai sesuatu yang sifatnya murni konseptual, sedangkan esensi adalah yang real; Esensi adalah realitas yang terwujud di luar pikiran. Padahal selain konsep eksistensi, ada kenyataan lain, yaitu realitas eksistensi; dan melekatnya eksistensi sebagai suatu konsep murni dalam pikiran merupakan salah satu akibat dari realitas eksistensi ini.Sebab eksistensi sebagai realitas, berbeda dengan sebagai konsep, dan eksistensi bukanlah sesuatu yang bersifat statis.

Ia terus-menerus terlibat dalam suatu gerakan ekspresi-diri ontologis yang dinamis, ang mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan terpendamnya yang tak terhingga, secara bertahap, dari yang kurang pasti hingga yang lebih pasti, sampai ia muncul pada tingkat entuk yang konkret, sedemikian ingga eksistensi-eksistensi partikular yang kita anggap sebagai “sesuatu”, yang banyak dan beragam, yang memiliki “esensi” individual yang terpisah-pisah, tidak lain merupakan modus dan aspek-aspek dari realitas eksistensi itu.

Dari perspektif ini, esensi sesuatu tidak lebih dari kenyataan yang ada dalam konsep saja, sedangkan eksistensisesuatu adalah real. Sesungguhnya, esensi sejati sesuatu adalah eksistensi sebagaimana yang diindividuasi ke dalam suatu bentuk peartikular. Realitas eksistensi inilah yang kita nyatakan sebagai Realitas dan Kebenaran (al-haqq) yang melingkupi semuanya; dengan ini pula Tuhan, yang bersifat mutlak dalam segala bentuk perwujudan, disebut. [22]

situs: www.rangkumanmakalah.com

DAFTAR PUSTAKA

Bakker, Anton dan Achmad Chairis Zubair. (1994). Pustaka Filsafat : Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: Kanisius.

Bertens, K. 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat. Jakarta: Yayasan Krisius

Iman, M. Shohibul. Mencari Jalan Menuju Islamisasi IPTEK, dalam Seminar Islamisasi IPTEK. Bogor: 13 Juli 1996.

Kuhn, Thomas S.(1993). Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sumantri Surya. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Suriasumantri, Jujun S. (1998). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cetakan ke-11. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Syam, Muhammad Noo, 1988. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional

Woodhose, Mark B. (1983). A Preface to Philosopy. 3rd ed. Wadsworth Publishing Company


[1] Anton Bakker, dan Achmad Chairis Zubair. Pustaka Filsafat : Metodologi Penelitian Filsafat. (Jakarta: Kanisius. 1994)., 23

[2] K Bertens,.. Ringkasan Sejarah Filsafat. (Jakarta: Yayasan Krisius, 1976), 57

[3] M. Shohibul Iman, Mencari Jalan Menuju Islamisasi IPTEK, dalam Seminar Islamisasi IPTEK. Bogor: 13 Juli 1996.

[4] Ibid, Kuhn, Thomas S. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. (Bandung: Remaja Rosdakarya. 1993). 76

[5] Sumantri Surya.. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1994), 90

[6] Ibid, Kuhn, Thomas S. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, 76

[7] Ibid, Sumantri Surya.. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. 95

[8] Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cetakan ke-11. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998). 19

[9] Ibid, Sumantri Surya.. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer

[10] Ibid, K Bertens,.. Ringkasan Sejarah Filsafa, 65

[11] Ibid, Sumantri Surya.. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 74

[12] Muhammad Noo Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional, 1988. `197

[13] Woodhose, Mark B. (1983). A Preface to Philosopy. 3rd ed. Wadsworth Publishing Company

[14] Ibid, M. Shohibul Iman, Mencari Jalan Menuju Islamisasi IPTEK, 96.

[15] Ibid, Muhammad Noo Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, 100

[16] Ibid, Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. 189

[17] Ibid, K Bertens,.. Ringkasan Sejarah Filsafa, 65

[18] Ibid, Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 36

[19] Ibid, Muhammad Noo Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, 112

[20] ibid, Bakker, Anton dan Achmad Chairis Zubair. 76

[21] Ibid, Muhammad Noo Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, 112

[22] Ibid, Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *