Daftar Isi
Riwayat singkat hidup Ibnu Khaldun
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang Pendidikan – Sebuah ciri khas yang melatar belakangi kehidupan Ibnu Khaldun adalah ia berasal dari keluarga politis, intelektual dan aristokrat. Suatu latar belakang yang jarang dijumpai orang. Sebelum menyeberang ke Afrika keluarganya adalah para pemimpin politik di Moorish, Spanyol selama berabad-abad. Dalam keluarga elit semacam inilah ia dilahirkan pada bulan Mei 1332 / 732 H di Tunisia.[2] Nama lengkap Ibnu Khaldun yaitu Abdu al-Rahman ibn Muhamad ibn Muhamad ibn Muhamad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhamad ibn Ibrahim ibn Khalid ibn Utsman ibn Hani ibn Khattab ibn Kuraib ibn Ma`dikarib ibn al-Harits ibn Wail ibn Hujar atau lebih dikenal dengan sebutan Abdur Rahman Abu Zayd Muhamad ibnu Khaldun.
Latar belakang keluarga dan situasi saat ia dilahirkan serta pola perjalanan hidup beliau nampaknya merupakan faktor yang menentukan dalam perkembangan pemikirannya. Keluarganya telah mewariskan tradisi intelektual ke dalam dirinya, sedangkan masa ketika ia hidup yang ditandai oleh jatuh bangunnya dinasti-dinasti Islam, terutama dinasti Umayyah dan Abbasiyah memberikan kerangka berfikir dan teori-teori ilmu sosialnya serta filsafatnya.[3]
Pada tahap awal kehidupannya, ibnu Khaldun memperoleh pendidikan dari keluarganya sendiri, gurunya yang pertama adalah ayahanya sendiri.[4] Ia belajar membaca dan sekaligus belajar membaca al-Qur’an dalam usia sekitar tujuh tahun, kemudian belajar bahasa, filsafat, manthiq, ilmu pasti, ilmu syar’i, hadits, sehingga pada usia 20 tahun Ibnu Khaldun merupakan ilmuwan yang dikagumi.
Selanjutnya, Ibnu Khaldun lebih banyak bergumul dalam bidang politik di bandingkan dengan keilmuan. Namun, sangat menakjubkan ia menjadi pemikir yang pakar dalam bidang sejarah umat manusia melibihi bidang kepakarannya dalam bidang politik. Karir tokoh besar ini bermula semenjak ia ditunjuk oleh Ibnu Tafirakin, seorang perdana menteri dari raja Abi Ishak al-Hafshi yang berkuasa di Tunisia, pada pertengahan abad VIII H, sebagai sekertaris yang menyalin berbagai dokumen penting.[5]
Sebagai politisi dan negarawan profesional, Ibnu Khaldun banyak berpindah dari satu tempat ketempat lain. Mulai dari Tunis, Andalusia, Granada, kemudian Fez Maroko, akan tetapi karir politiknya seringkali terganggu sehingga beliau mengalami kejenuhan yang mendorongnya untuk meninggalkan dunia politik dan menekuni dunia keilmuan. Pada tahun 784 H. Ibnu Khaldun pergi ke Cairo Mesir, beliau disana dipercaya mengajar di universitas al-Azhar, mengadakan seminar-seminar berbagai macam keilmuan. Selanjutnya, Ibnu Khaldun menekuni dunia keilmuan dengan mengajar, menulis dan berdiskusi. Ibnu Khaldun wafat pada tahun 808 H / 1406 M, di Cairo sebagai ilmuwan yang meninggalkan pemikiran besar antara lain dalam bidang pendidikan.[6]
Dari riwayat singkat Ibnu Khaldun tersebut, dapat diketahui bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan Ibnu Khaldun memiliki kecemerlangan pikiran sebagai seorang ahli sejarah dan penemu ilmu pengetahuan, yaitu antara lain: (a) dia mendapatkan kecerdasan fitrah yang luar biasa; (b) mempunyai kemampuan dalam mengadakan pengamatan dan mengaitkan antara sebab dengan musababnya; (c) mempunyai pengalaman yang luas dalam kehidupan politiknya yang penuh dengan berbagai goncangan dan revolusi; (d) sering mengembara antara Barat dan Timur dan atau Eropa dengan Asia, kemudian menyebrang ke Afrika Utara dengan berbagai kondisi kehidupannya; (e) memiliki ilmu pengetahuan yang luas, yang disatu sisi diperolehnya dari membaca dan mempelajari kitab-kitab, dan di sisi lain dari pengamatannya yang cermat selama mengembara dan bergaul denganbermacam-macam bangsa dan warga Negara.[7]
Karya-karya Ibnu Khaldun
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang Pendidikan – Ibnu Khaldun terkenal sebagai ilmuwan besar adalah karena karyanya “Muqaddimah”. Rasanya memang aneh ia terkenal justru karena muqaddimahnya bukan karena karyanya yang pokok (al-‘Ibar), namun pengantar al-‘Ibarnyalah yang telah membuat namanya diagung-agungkan dalam sejarah intelektualisme. Karya monumentalnya itu telah membuat para sarjana baik di Barat maupun di Timur begitu mengaguminya.[8]
Sebenarnya Ibnu Khaldun sudah memulai kariernya dalam bidang tulis menulis semenjak masa mudanya, tatkala ia masih menuntut ilmu pengetahuan, dan kemudian dilanjutkan ketika ia aktif dalam dunia politik dan pemerintahan. Adapun hasil karya-karyanya yang terkenal di antaranya adalah:
- Untuk buku pertamanya adalah Lubab al-muhassal, yang telah dia selesaikan di bawah pengawasan guru favoritnya, al-Abili. Ketika Ibnu Khaldun masih berusia 19 tahun dan masih tinggal di Tunis.
- Sebelum menulis kitab al-I’bar, ada satu karyanya yaitu Shifa’al-sa’il yang ia tulis selama ia singgah di fez.
- Kitab Muqaddimah, yang merupakan buku pertama dari kitab al-‘Ibar, yang terdiri dari bagian muqaddimah (pengantar). Buku pengantar yang panjang inilah yang merupakan inti dari seluruh persoalan, dan buku tersebut pulalah yang mengangkat nama Ibnu Khaldun menjadi begitu harum. Adapun tema muqaddimah ini adalah gejala-gejala sosial dan sejarahnya.
- Kitab al-‘Ibar, wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar, fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar, wa man Asharuhum min dzawi as-Sulthani al-‘Akbar. (Kitab Pelajaran dan Arsip Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir yang mencakup Peristiwa Politik Mengenai Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar, serta Raja-raja Besar yang Semasa dengan Mereka), yang kemudian terkenal dengan kitab ‘Ibar, yang terdiri dari tiga buku: Buku pertama, adalah sebagai kitab Muqaddimah, atau jilid pertama yang berisi tentang: Masyarakat dan ciri-cirinya yang hakiki, yaitu pemerintahan, kekuasaan, pencaharian, penghidupan, keahlian-keahlian dan ilmu pengetahuan dengan segala sebab dan alasan-alasannya. Buku kedua terdiri dari empat jilid, yaitu jilid kedua, ketiga, keempat, dan kelima, yang menguraikan tentang sejarah bangsa Arab, generasi-generasi mereka serta dinasti-dinasti mereka. Di samping itu juga mengandung ulasan tentang bangsa-bangsa terkenal dan negara yang sezaman dengan mereka, seperti bangsa Syiria, Persia, Yahudi (Israel), Yunani, Romawi, Turki dan Franka (orang-orang Eropa). Kemudian Buku Ketiga terdiri dari dua jilid yaitu jilid keenam dan ketujuh, yang berisi tentang sejarah bahasa Barbar dan Zanata yang merupakan bagian dari mereka, khususnya kerajaan dan negara-negara Maghribi (Afrika Utara).
Kitab al-Ta’rif bi Ibnu Khaldun wa Rihlatuhu Syarqon wa Ghorban atau disebut al-Ta’rif, dan oleh orang-orang Barat disebut dengan Autobiografi. Merupakan bagian terakhir dari kitab al-‘Ibar yang berisi tentang beberapa bab mengenai kehidupan Ibnu Khaldun. Dia menulis autobiografinya secara sistematis dengan menggunakan metode ilmiah, karena terpisah dalam bab-bab, tapi saling berhubungan antara satu dengan yang lain.[9]
Telaah Pemikiran Ibnu Khaldun tentang Pendidikan
1. Pandangan Tentang manusia
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang Pendidikan – Pada bab ini akan dibahas pandangan-pandangan Ibnu Khaldun mengenai pendidikan. Menurut Ibnu Khaldun dalam awal pembahasannya pada bab VI dari Muqaddimahnya, dia menyatakan bahwa ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semat-mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani. karena alasan itulah, sebelum mendefinisikan tentang ilmu dan pendidikan, alangkah baiknya jika pembahsan awal dimulai dengan pandangan Ibnu Khaldun tentang manusia.
Ibnu Khaldun melihat manusia tidak terlalu menekankan pada segi kepribadiannya. Ia lebih banyak melihat manusia dalam hubungannya dan interaksinya dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Ibnu Khaldun memandang bahwa manusia adalah sebagai makhluk yang berbeda dengan berbagai makhluk lainnya. Manusia, menurut Ibnu Khaldun adalah makhluk berpikir. Oleh karena itu ia mampu melahirkan ilmu (pengetahuan). dan sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki makhluk lainnya.
Menurut Ibnu Khaldun bahwa secara esensial manusia itu bodoh, dan menjadi berilmu melalui pencarian ilmu pengetahuan. Alasan yang dikemukakan bahwa manusia adalah bagian dari jenis binatang, dan Allah SWT telah membedakannya dengan binatang dengan diberi akal pikiran. Lebih lanjut Ibnu Khaldûn mengatakan bahwa, kemampuan manusia untuk berpikir baru diperolehnya setelah sifat kebinatangannya mencapai kesempurnaan di dalam dirinya. Itu dimulai dari kemampuan membedakan (tamyiz).
Sebelum manusia memiliki tamyiz, dia sama sekali tidak memiliki pengetahuan. Sebelum pada tahap ini manusia sama sekali persis seperti binatang. Kemudian Allah memberikan anugerah berupa pendengaran, penglihatan dan akal. Pada waktu itu manusia adalah materi sepenuhnya karena itu dia tidak mempunyai ilmu pengetahuan. Dia mencapai kesempurnaan bentuknya melalui ilmu pengetahuan yang dicari melalui organ tubuhnya sendiri. Setelah manusia mencapai eksistensinya, dia siap menerima apa yang dibawa para Nabi dan mengamalkannya demi akhiratnya. Maka dia selalu berfikir tentang semuanya.[10]
Dari pikiran ini tercipta berbagai ilmu pengetahuan dan keahlian-keahlian. Kemudian manusia ingin mencapai apa yang menjadi tuntutan wataknya; yaitu ingin mengetahui segala sesuatu, lalu dia mencari orang yang lebih dulu memiliki ilmu atau kelebihan. Setelah itu pikiran dan pandangannya dicurahkan pada hakekat kebenaran satu demi satu serta memperhatikan peristiwa-peristiwa yang dialaminya yang berguna bagi esensinya. Akhirnya dia menjadi terlatih sehingga pengajaran terhadap gejala hakekat menjadi suatu kebiasaan (malakah) baginya. Ketika itu ilmunya menjadi suatu ilmu spesial, dan jiwa generasi yang sedang tumbuh pun tertarik untuk memperoleh ilmu tersebut. Merekapun meminta bantuan para ahli ilmu pengetahuan, dan dari sinilah timbul pengajaran. Inilah yang oleh Ibnu Khaldun dikatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan hal yang alami di dalam peradaban manusia.[11] Dari sinilah timbul yang dinamakan dengan proses pendidikan dan pengajaran.
Selanjutnya, sebagai makhluk sosial, pertumbuhan dan perkembangan individu tersebut pemanfaatannya tidak hanya untuk kepentingan pribadi, melainkan juga untuk kepentingan bersama, kepentingan masyarakat (homo socius). Bahkan pertanggungjawaban perilaku dirinya, juga tidak hanya tertuju kepada individu yang bersangkutan, melainkan juga tertuju kepada masyarakat. Dan dalam proses sosial dalam bentuk interaksi sosial, manusia tidak terlepas dari konteks sosial yang disebut “lingkungan sosial”. Lingkungan sosial ini besar sekali pengaruhnya terhadap pembentukan pribadi individu. Sebagaimana Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimahnya mengatakan bahwa:
“Manusia adalah makhluk sosial (al-Insanu madaniyyun bi al-Thab’i). pernyataan ini mengandung bahwa seorang manusia tidak bisa hidup sendirian dan eksistensinya tidaklah terlaksana kecuali dengan kehidup-an bersama. Dia tidak akan mampu menyempurnakan eksistensi dan mengatur kehidupannya dengan sempurna secara sendirian. Benar-benar sudah menjadi wataknya, apabila manusia butuh bantuan dalam memenuhi kebutuhannya.”[12]
Manusia memerlukan pendidikan, karena ia dalam keadaan tidak berdaya, dan ketidakberdayaan itu memerlukan bantuan orang lain. Sebab secara esensial bahwa pendidikan adalah media untuk menolong dan menjadikan manusia menjadi manusia.
2. Pandangan Ibnu Khaldun tentang Ilmu
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang Pendidikan – Selanjutnya Ibnu Khladun berpendapat bahwa pertumbuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan di pengaruhi oleh peradaban, ia menyebutkan bahwa hal ini dapat dilihat dari Negara Qairawan dan Cordova yang merupakan dua pusat kebudayaan Maghribi dan Andalusia. pada masa itu, peradaban disana berkembang pesat dan terdapat pasar-pasar yang hidup dan lautan yang luas bagi beracam ilmu pengetahuan dan keahlian.[13]
Dalam Muqaddimah, Ibnu Khaldun memandang bahwa ilmu dan pendidikan sudah merupakan tabiat di dalam diri manusia. Ia juga menganggap bahwa ilmu dan pendidikan sebagai suatu gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya di dalam tahapan kebudayaan. Selain itu ilmu dan pendidikan merupakan salah satu industri, sedangkan industri, lahir di dalam masyarakat karena urgensinya yang begitu penting bagi kehidupan individu, yang merupakan salah satu jalan untuk mendapatkan rizki.[14]
Ibnu Khaldun juga berpendapat, bahwa dari balik upayanya untuk mencapai ilmu itu, manusia bertujuan dapat mengerti tentang berbagai aspek pengetahuan, yang dipandang sebagai alat yang membantunya untuk bisa hidup dengan baik di dalam masyarakat maju dan berbudaya.[15]
3. Pengertian dan Tujuan Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang Pendidikan – Di dalam kitab Muqaddimahnya Ibnu Khaldun tidak memberikan definisi pendidikan secara jelas, ia hanya memberikan gambaran-gambaran secara umum, seperti dikatakan Ibnu Khaldun bahwa: “Barang siapa tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman”, maksudnya barangsiapa tidak memperoleh tata krama yang dibutuhkan sehubungan pergaulan bersama melalui orang tua mereka yang mencakup guru-guru dan para sesepuh, dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan mengajarkannya.[16]
Dari pendapatnya ini dapat diketahui bahwa pendidikan menurut Ibnu Khaldun mempunyai pengertian yang cukup luas. Pendidikan bukan hanya merupakan proses belajar mengajar yang dibatasi oleh empat dinding, tetapi pendidikan adalah suatu proses, di mana manusia secara sadar menangkap, menyerap, dan menghayati peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman.
Di dalam Muqaddimahnya, Ibnu Khaldun tidak merumuskan tujuan pendidikan secara jelas, akan tetapi dari uraian yang tersirat, secara umum dapat diketahui tujuan yang seharusnya dicapai di dalam pendidikan adalah sebagai berikut:
- Untuk mengembangkan intekektulitas peserta didik. Ia memandang bahwa aktivitas ini sangat penting bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu. Kemudian, kematangan ini akan mendapatkan faedah bagi masyarakat. Ibnu Khaldun mengungkapkan bahwa ”Manusia secara esensial adalah bodoh dan menjadi berilmu melalui pencarian pengetahuan”.[17] Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Nahl: 78: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibu mu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberikan kamu pendengaran, penglihatan dan hati”. Pernyataan Ibnu Khaldun ini didasarkan pada pemikiran bahwa: “Manusia adalah termasuk jenis binatang dan bisa dibedakan dari jenisnya karena kemampuannya untuk berpikir”.[18] Dengan demikian, pencarian ilmu pengetahuan merupakan suatu keniscayaan, karena ilmu pengetahuan dan pengajaran merupakan hal yang alami di dalam peradaban manusia.
- Memperoleh ilmu pengetahuan sebagai alat untuk membantunya hidup dengan baik di dalam masyarakat maju dan berbudaya. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa manusia berbeda dengan makhluk lainnya karena kemampuannya untuk berpikir. Menurut Ibnu Khaldun menegaskan bahwa:
”Dan dengan akal sebagai alat berpikir itu, manusia mendapat petunjuk untuk memperoleh penghidupannya dan saling membantu dengan sejenisnya serta mengadakan kesatuan sosial yang dipersiapkan bagi kerja sama, dengan kemampuan itu pula, manusia siap menerima segala apa yang dibawa oleh para nabi dan Rasul-Nya dari Allah Swt., dan mengamalkan serta mengikuti apa yang berguna bagi akhirat”.[19]
Dari sini dapat diketahui bahwa ada dua aspek penting yang dapat dicapai oleh kemampuan akal, yaitu aspek sosial dan spiritual. Keduanya dapat dimiliki oleh manusia melalui proses aktualisasi dari generasi ke generasi. Dengan kata lain, bahwa manusia tersebut akan mencari orang-orang yang sejak pertama kali sudah memiliki pengetahuan. Dengan harapan bahwa dia akan memberikan pengetahuan (transfer of knowledge) tersebut kepada dirinya. Dalam hal ini Ibnu Khaldun mengatakan: ”Lalu ia pun berpulang pada orang yang telah dahulu memiliki ilmu, atau yang punya kelebihan dalam suatu pengetahuan, …. yang menyampaikan ilmu pengetahuan kepada siapa yang mencarinya. Orang itu kemudian menerimanya dari mereka dan memberikan perhatian penuh guna memperoleh serta mengetahuinya.”[20]
- Memperoleh lapangan pekerjaan yang digunakan untuk memperoleh rizki. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa: “Ketahuilah bahwa menurut wataknya manusia membutuhkan sesuatu untuk dikamakan, dan untuk melengkapi dirinya dalam semua keadaan dan tahapan hidupnya sejak masa pertama pertumbuhan hingga masa tuanya.”[21]
Maka untuk mencukupi kebutuhan itu diperlukan usaha-usaha mencari rizki. Inilah yang disebut dengan penghidupan yang dimaksud oleh Ibnu Khaldûn. Sebab pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat agama atau akhlak, atau spiritual semata-mata, tetapi menaruh perhatian pada segi kemanfaatan tujuan-tujuan, kurikulum, dan aktivitasnya. Kesempurnaan manusia tidak akan tercapai kecuali dengan memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan atau menaruh perhatian pada segi-segi spiritual, akhlak dan segi-segi kemanfaatannya.[22]
4. Pandangan Ibnu Khaldun tentang materi pendidikan. sebuah telaah Pemikiran Ibnu Khaldun tentang Pendidikan
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang Pendidikan – Adapun pandangannya mengenai materi pendidikan, karena materi adalah merupakan salah satu komponen operasional pendidikan, maka dalam hal ini Ibnu Khaldun telah mengklasifikasikan ilmu pengetahuan yang banyak dipelajari manusia pada waktu itu menjadi dua macam yaitu:
- Ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah). Ilmu naqliyah adalah yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadis yang dalam hal ini peran akal hanyalah menghubungkan cabang permasalahan dengan cabang utama, karena informasi ilmu ini berdasarkan kepada otoritas syari’at yang diambil dari al-Qur’an dan Hadis. Adapun yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu naqliyah itu antara lain: ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu tasawuf, dan ilmu ta’bir mimpi.
- Ilmu-ilmu filsafat atau rasional (Aqliyah). Ilmu ini bersifat alami bagi manusia, yang diperolehnya melalui kemampuannya untuk berfikir. Ilmu ini dimiliki semua anggota masyarakat di dunia, dan sudah ada sejak mula kehidupan peradaban umat manusia di dunia. Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu filsafat (aqliyah) ini dibagi menjadi empat macam ilmu yaitu: a. Ilmu logika, b. Ilmu fisika, c. Ilmu metafisika dan d. Ilmu matematika. Walaupun Ibnu Khaldun banyak membicarakan tentang ilmu geografi, sejarah dan sosiologi, namun ia tidak memasukkan ilmu-ilmu tersebut ke dalam klasifikasi ilmunya.[23]
(rangkuman)Setelah mengadakan penelitian, maka Ibnu Khaldun membagi ilmu berdasarkan kepentingannya bagi anak didik menjadi empat macam, yang masing-masing bagian diletakkan berdasarkan kegunaan dan prioritas mempelajarinya. Empat macam pembagian itu adalah:
1) Ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam.
2) Ilmu ‘aqliyah, yang terdiri dari ilmu kalam, (fisika), dan ilmu Ketuhanan
3) Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari ilmu bahasa Arab, ilmu hitung dan ilmu-ilmu lain yang membantu mempelajari agama.
4) Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu filsafat, yaitu logika.
Menurut Ibnu Khaldun, kedua kelompok ilmu yang pertama itu adalah merupakan ilmu pengetahuan yang dipelajari karena faidah dari ilmu itu sendiri. Sedangkan kedua ilmu pengetahuan yang terakhir (ilmu alat) adalah merupakan alat untuk mempelajari ilmu pengetahuan golongan pertama.
Demikian pandangan Ibnu Khaldun tentang materi ilmu pengetahuan yang menunjukkan keseimbangan antara ilmu syari’at (agama) dan ilmu ‘Aqliyah (filsafat). Meskipun dia meletakkan ilmu agama pada tempat yang pertama, hal itu ditinjau dari segi kegunaannya bagi anak didik, karena membantunya untuk hidup dengan seimbang namun dia juga meletakkan ilmu aqliyah (filsafat) di tempat yang mulia sejajar dengan ilmu agama.[24]
5. Pandangan Ibnu Khaldun tentang pembelajaran.
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang Pendidikan – Dalam hubungannya dengan metode pembelajaran, pemikiran Ibnu Khaldun terlihat dari beberapa hal berikut ini, diantaranya:
- Mengajarkan pengetahuan kepada pelajar hanya akan efektif bila di lakukan dengan berangsur-angsur, setapak demi setapak dan sedikit demi sedikit.
- Pada awalnya, guru hendaknya mengajarkan tentang soal-soal mengenai setiap cabang pembahasan yang akan diajarkan, secara umum dan menyeluruh dengan mempertimbangkan kemampuan akal dan memperhatikan kesiapan pelajar memahami apa yang akan diberikan kepadanya
- Kemudian guru hendaknya menyampaikan pengetahuan kepada anak didik secara lebih terperinci dan menyeluruh, dan berusaha membahas semua persoalan bagaimapaun sulitnya agar anak didik memperoleh pemahaman yang sempurna.[25]
- Selanjutnya, guru harus memberikan perbaikan kepada seluruh materi pelajaran yang diberikan, dengan demikian ia tidak meninggalkan pelajaran yang tidak jelas dan samar-samar.
- Seorang guru tidak boleh memperkenalkan permasalahan disiplin ilmu lainnya kepada para siswa sebelum para siswa tersebut memahami suatu disiplin ilmu secara penuh, dan telah pula benar-benar mengenal pelajaran tersebut.[26]
- Disamping itu Ibnu Khaldun juga menyebutkan keutamaan metode diskusi, karena dengan metode ini anak didik telah terlibat dalam mendidik dirinya sendiri dan mengasah otak, melatih untuk berbicara, disamping mereka mempunyai kebebasan berfikir dan percaya diri. Atau dengan kata lain metode ini dapat membuat anak didik berfikir reflektif dan inovatif.[27]
- Ibnu Khaldun tidak menyukai pembelajaran dengan metode “hafalan“, karena dipandangnya metode tersebut tidak efektif dalam menanamkan ilmu kepada peserta didik, dan tidak efisien karena banyak membuang waktu tanpa memberikan hasil yang inginkan.[28]
- Ibnu Khaldun juga tidk suka mengajar dengan kekerasan, ia berpendapat bahwa pengajaran yang dilakukan dengan cara yang keras dan kaku bisa membahayakan bagi keberadaan murid, terutama padamasa-masa kecil, karena itu merupakan kebiasaan yang jelek dan akan berdampak menjadi perilaku buruk dan kenakalan murid dikemudian hari.[29]
6. Pandangan Ibnu Khaldun tentang pendidik
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang Pendidikan – Dalam pandangannya tentang seorang pendidik Ibnu Khaldun memberikan beberapa penjelasan, diantaranya adalah:
- Ibnu Khaldun memberikan petunjuk bahwa seorang guru pertama sekali harus mengetahui dan memahami naluri, bakat dan karakter yang dimiliki para siswa.[30]
- Ibnu Khaldun menganjurkan agar para guru bersikap dan berperilaku penuh kasih sayang kepada peserta didiknya, berperilaku lembut dan tidak menerapkan perilaku keras dan kasar. Sebab, sikap demikin dapat membahayakan peserta didik, bahkan dapat merusak mental mereka. Ibnu Khaldun dapat juga menerima adanya “hukuman” bagi peserta didik apabila sudah tidak ada jalan lain, jadi hukuman tersebut merupakn pilihan terakhir didalam mengatasi masalah, dan itupun harus dilakukan secara adil dan setimpal.
- Keteladanan guru merupakan keniscayaan dalam pendidikan, sebab para peserta didik menurut Ibnu Khaldun lebih mudah dipengaruhi dengan cara peniruan dan peneladanan serta nilai-nilai luhur yang mereka saksikan. Fungsi guru dalam pendidikan Islam memang bukan sebatas sebagai pengajar bidang studi, tetapi berfungsijuga sebagai pemimpin yang membuat perbaruan dan perbaikan melalui keteladanannya.
- Seorang guru harus mngetahui kondisi kejiwaan dan kesiapan peserta didiknya ketika hendak memberikan pelajaran.[31]
Demikian ulasan singkat seputar Pemikiran Ibnu Khaldun tentang Pendidikan, semoga bermanfaat.
Situs: www.rangkumanmakalah.com
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, terjemah: Syamsudin Asyrofi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press. 1996.
Alavi, S. M. Ziauddin, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengahan, terjemah: Abuddin Nata, Bandung: Angkasa. 2003.
Hasan, M. Tholhah, Dinamika Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Lantabora Press. 2006.
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, terjemah: Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus. 2011.
Nasr, Seyyed Hossein dan Oliver Leaman (ed), History of Islamic Philosophy, London: Routledge. 1996.
Nata, Abudin Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos. 1999.
______, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta. 2005.
Nurhamzah, Jurnal Pendidikan Keagamaan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati, Bandung: Vol. XXIV, No. 1, April 2009.
Priatna, Tedi, Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam: Ikhtiar mewujudkan pendidikan bernilai Ilahiah dan Insaniah di Indonesia (Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2004.
Ridla, Muhammad Jawwad, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Perspektif Sosiologis Filosofis, terjemah: Mahmud Arif, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 2002.
Sheikh, M. Seed, Studies in Muslim Philoshophy, Delhi: Adam Publisher. 1994.
Sulaiman, Fathiyyah Hasan, Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Ilmu dan Pendidikan, terjemah: Herry Noer Ali (Bandung: Diponegoro. 1987.
[1] Tedi Priatna, Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam: Ikhtiar mewujudkan pendidikan bernilai Ilahiah dan Insaniah di Indonesia (Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2004), 27.
[2] Abudin nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos. 1999), 171.
[3] Abudin nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta. 2005), 221.
[4] Fathiyyah Hasan Sulaiman, Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Ilmu dan Pendidikan, terjemah: Herry Noer Ali (Bandung: Diponegoro. 1987), 13.
[5] Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Perspektif Sosiologis Filosofis, terjemah: Mahmud Arif (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 2002), 173.
[6] M. Tholhah hasan, Dinamika Pemikiran tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Lantabora Press. 2006), 14.
[7] Fathiyyah Hasan, Pandangan Ibnu Khaldun, 25-26.
[8] M. Seed Sheikh, Studies in Muslim Philoshophy (Delhi: Adam Publisher. 1994), 185.
[9] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed), History of Islamic Philosophy (London: Routledge. 1996), 353.
[10] Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, terjemah: Ahmadie Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus), 532.
[11] Ibid., 532-533.
[12] Ibid, 525-526.
[13]Ibid., 536.
[14] Fathiyyah Hasan, Pandangan Ibnu Khaldun, 33-35.
[15] Ibid., 36.
[16] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, 527.
[17] Ibid., 532.
[18] Ibid.
[19] Ibid., 533-534.
[20] Ibid.
[21] Ibid., 477.
[22] Nurhamzah, Jurnal Pendidikan Keagamaan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati (Bandung: Vol. XXIV, No. 1, April 2009) 15.
[23] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, 543
[24] Ibid., 544.
[25] Ibid., 751-752
[26] S. M. Ziauddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengahan, terjemah: Abuddin Nata (Bandung: Angkasa. 2003), 75-76.
[27] Ibnu Kaldun, Muqaddimah, 537.
[28] Ibid., 537-538
[29] Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, terjemah: Syamsudin Asyrofi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press. 1996), 108.
[30] Ziauddin Alavi, Pemikiran Pendidikani, 75.
[31] M. Tholhah hasan, Dinamika Pemikiran, 146-148. Pemikiran Ibnu Khaldun tentang Pendidikan