Lompat ke konten
Home » √ Pendidikan Islam dalam Perspektif Syed M Nuqib Al-Attas

√ Pendidikan Islam dalam Perspektif Syed M Nuqib Al-Attas

Daftar Isi

Biografi Syed M. Nuqib Al-Attas

Pendidikan Islam dalam Perspektif Syed M Nuqib Al-Attas. Al-Attas merupakan seorang filosof yang mempunyai nama lengkap Syed Muhammad Naquib Ibn Ali Ibn Abdullah Ibn Muhsin al-Attas. beliau dilahirkan di bogor jawa barat bertepatan pada tanggal 05 September 1931[1]. Ayah beliau bernama Syed Ali Al-Attas Ayahnya berasal dari Arab yang silsilahnya merupakan keturunan ulama dan ahli tasawuf yang terkenal dari kalangan Sayid yang menurut sebagian kalangan silsilah beliau sampai pada Nabi, sedangkan ibunya bernama Syarifah Raqu’an Al-Aydarus, berasal dari bogor dan merupakan keturunan Ningrat sunda di sukapura[2].

Pada usia beliau berumur 5 tahun Al-Attas dikirim ke johor malaysia untuk belajar disekolah Dasar Ngee Heng Primary Scool sampai pada usia 10 tahun[3] hail itu teradi pada tahun (1936-1941)[4] namun sebagian orang mengungkapkan bahwa saat beliau berumur 5 tahun itu beliau diajak orang tuanya untuk migrasi kemalaysia kemudian dimasukkan ke sekolah Dasar Ngee Heng Primary Scool sampai pada usia 10 tahun[5].setelah itu beliau melanjutkan kembali pendidikannya di Madrasah Al-Urwatun Al-wutsqo[6] di suka bumi[7]. Setelah perang dunia ke II beliau kembali lagi ke johor Malaysia untuk merampungkan pendidikannya ke bukit zahro school dan kemudian dilanjutkan ke English Collage pada tahun 1946-1951 saat itu ia tinggal bersama salah satu pamannya yang bernama Ungku Abdul Aziz Ibnu Ungku Abdul Majid, keponakan sultan dan kemudian menjadi kepala mentri johor modern yang ke VI.

Pendidikan Islam dalam Perspektif Syed M.Nuqib Al-Attas

Syed Nuqaib Al-Attas merupakan adik kandung dari Prof. DR. Hussein Al-Attas, seorang ilmuwan dan pakar sosiologi di Univeritas Malaya, Kuala Lumpur Malaysia. Dan Kemudian masuk tentara hingga pangkat Letnan[8]. Namun karena kurang berminat akhirnya keluar dari dinas kemeliteran setelah Malaysia merdeka dan melanjutkan kuliah untuk mengembangkan intelektualnya di University Malaya selama dua tahun 1957-1959, lalu melanjutkan di Mc Gill University Kanada, beliau dikirim ke Mc Gill University kanada ini berkat keuletan beliau dalam pengembanan intelektualnya yang kemudian oleh pemerintah Malaysia dikirim ke kanada ini untuk mengembangkan intelektualitasnya[9] nauqib al-attas telah membngkitkan kesadaran baru akan pentingnya peranan islam dalam sejarah nasionalisme dan kebudayaan melayu.

Ia telah berhasil dalam memumbuhkan kesadaran baru tentang peranan islam kepada para mahasiswa dan masyarakat umum, dan selain itu beliau sebagai pengkritis terhadap metodologi berbagai disiplin ilmu seperti filsafat, kebudayaan dan politik yang telah diasumsi oleh barat atau dalam istilah penulis (terbaratkan) dan di Mc Gill University ini beliau mendapat gelar M.A dengan judul desertasinya adalah Raniry and the wujudiyyah of 17th century Acheh dalam tesis beliau ingin mebuktikan bahwa islamisasi yang berkembang di acheh ini bukan dari hasil perkembangan colonial belanda akan tetapi sebagai murni dari hasil upaya umat islam itu sendiri[10]. Setelah itu beliau melanjutkan lagi pada program pasca sarjana di University of London tahun 1963-1964 hingga mendapat gelar Ph. D dengan judul desertasinya adalah The Mysticasm of Hamzah Fansyari[11].

Konsep Pendidikan Islam dalam Perspektif Syed M Nuqib Al-Attas

Pendidikan Islam dalam Perspektif Syed M.Nuqib Al-Attas – Apabila ditelaah dengan cermat, format pemikiran pendidikan yang ditawarkan oleh Al-Attas, tampak jelas bahwa dia berusaha menampilkan wajah pendidikan Islam sebagai suatu sistem pendidikan terpadu.

Hal tersebut dapat dilihat dari tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan pendidikan dalam Islam harus mewujudkan manusia yang baik, yaitu manusia universal (Al-Insan Al-Kamil) adalah manusia yang bercirikan:

Pertama, manusia yang seimbang yang memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian seperti: a) dimensi isoterik vertikal yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah dan

b) dimensi eksoterik, dialektikal, horisontal, membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya.

Kedua, manusia seimbang dalam kualitas pikir, zikir dan amalnya. Maka untuk menghasilkan manusia seimbang bercirikan tersebut merupakan suatu keniscayaan adanya upaya maksimal dalam mengkondisikan lebih dulu paradigma pendidikan yang terpadu.

Paradigma Pendidikan

Indikasi lain yang mempertegas bahwa paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas menghendaki terealisirnya sistem pendidikan terpadu ialah tertuang dalam rumusan sistem pendidikan yang diformulasikannya, dimana tampak sangat jelas upaya Al-Attas untuk mengintegrasikan ilmu dalam sistem pendidikan Islam, artinya Islam harus menghadirkan dan mengajarkan dalam proses pendidikannya tidak hanya ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu rasional, intelek dan filosofis.

Dari deskripsi di atas, dapat dilacak bahwa secara makro orientasi pendidikan Al-Attas adalah mengarah pada pendidikan yang bercorak moral religius yang tetap menjaga prinsip keseimbangan dan keterpaduan sistem. Hal tersebut terlihat dalam konsepsinya tentang Ta’dib (adab) yang menurutnya telah mencakup konsep ilmu dan amal.

Al-Attas lebih cedrung menggunakan istilah ta’dib dalam konsep pendidikan islam sebab jika konsep ta’dib ini diterapkan secara komperhenship dan integral dan sistematis dalam system pendidikan islam maka berbagai macam persoalan akan dapat teratasi. Adapun istilah pegertian ta’dib itu adalah pengenalan, pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu didalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan tuhan didalam tatanan wujud dan keberadaannya. Pengertian ini didasarkan pada pengertian hadits Nabi yang berbunyi:

ادبنىربى فاحسن تاءدبي

Artinya: “Tuhan telah mendidikku[12] maka sangat baiklah mutu pendidikanku (ta’dibi)[13]”.

Al-Attas sangat berhati-hati dalam menerjemahkan kata addabani yang terdapat dalam hadits tersebut dengan telah “mendidikku” kemudian mengartikan perkataan “ta’dib dengan pendidikan” dari sini terjemahan hadits tersebut adalah “tuhan telah mendidikku dan menjadikan pendidikanku sebik-baik pendidikan”[14].

Pengertian hadits diatas menekankan pada sebuah proses pendidikan yang berupa transpormasi ilmu pengetahuan dan nilai kepada peserta didik secara berangsur-angsur, yang daharapkan dapat diaktualisasikan melalui prilaku dalam sehari-hari, yaitu kedudukan dan kondisinya dalam kehidupan, sehubungan dengan diri keluarga, kelompok komoditas masyarakatnya serta posisinya dalam tatanan kemanusiaan dan bertindak sesuai dengan pengetahuan yang positif dan terpuji sebagaimana telah digariskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an[15].

Dengan demikian, menurut Al-Attas, sejak awal kedatangan islam, adab, secara konseptual telah diisi dengan ilmu yang benar (I’lm) dan perbuatan yang tulus dan tepat (Amal) dan terlibat aktif dalam wacana intelektual sunah Nabi Muhammad SAW.

Berdasarkan perkataan adab yang telah di islamisasikan itu dan berangkat dari analisis simantiknya adab menurut Al-Attas adalah pengenalan[16] dan pengakuan[17] terhadap realitas bahwasannya ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hirarki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya masing-masing dalam kaitannya dengan realitas, kapasitas, potensi fisik, intelektual dan spritualnya[18].

Konsep Adab

Konsep adab pada dasarnya berarti “undangan tuhan kepada manusia untuk menghadiri jamuan makan diatas bumi”, tempat kita perlu mengambil bagian didalamnya dengan cara mengetahuinya. Al-Attas menjelaskan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ibn Mas’ud[19]:

ان هذا القران مأدبة الله في الارض فتعلموا من مأدبته (رواه بن مسعود)

Artinya: sesungguhnya al-qur’an suci adalah undangan tuhan kepada suatu perjamuan ruaniyah, dan pencapaian ilmu yang benar tentangnya berarti memakan makanan yang baik didalamnya.

Ketika Al-Qur’an suci itu sendiri digambarkan sebagai undangan Tuhan untuk menghadiri suatu perjamuan diatas bumi, dan kita sangat dianjurkan untuk mengambil bagian didalamnya dengan jalan pengetahuan yang benar tentangnya[20].

Kitab suci Al-Qur’an adalah undangan tuhan kepada manusia untuk menghadiri jamuan keruhanian dan cara memperoleh ilmu pengetahuan yang sebenarnya mengenai al-qur’an adalah dengan menikmati makanan-makanan lezat yang tersedia dalam jamuan keruhanian tersebut artinya, karena kenikmatan makanan yang lezat dalam jamuan yang istimewa itu ditambah kehadiran teman yang agung dan pemurah, dank arena makanan tersebut dinikmati melalui cara-cara, sikap, dan etika yang suci hendaknya ilmu pengetahuan yang dimulyakan sekaligus dinikmati itu didekati dengan perilaku yang sesuai dan sifatnya yang mulia.

Pentingnya makna adab dan keterkaitan dengan pendidikan manusia yang baik akan semakin terasa ketika disadari bahwasanya pengenalan yang tentunya mencakup ilmu dan pengakuan, yang meliputi tindakan, akan tempat sesuatu sebagaimana yang diterangkan dalam bagian diatas sangat berhubungan dengan kata-kata uci lainnya dalam pandangan islam, seperti kebijaksanaan (hikmah) dan keadilan (adl) realitas dan kebenaran (haqq).

Al-attas membagi adab menjadi berbagai macam, serta memberikan contoh tentang bagaimana adab hadir dalam berbagai tingkat pengalaman manusia sebagai berikut[21]:

  1. Adab bagi diri sendiri (pada manusia) bermula ketika sesorang mengakui bahwa dalam dirinya terdiri dari akal dan sifat kbinatangannya. Ketika akal bisa dikuasai dan sifat kebinatangannya dapat dikontrol, pada sat itulah ia sudah meletakkan dirinya pada tempat yang benar.
  2. Adab dalam konteks hubungan antara sesama manusia berarti norma-norma etika yang diterapkan dalam kehidupan sosial sudah berdasarkan kepada ilmu pengetahuan, akal fikiran, dan perbuatan yang mulia denga mnunjukkan sikap rendah hati, kasih sayang, saling menghormati, peduli dan lain sebagainya. Ini merupakan sikap seseorang yang sudah mengetahui tempat hubungan antara sesama manusia dengan sebenarnya.
  3. Adab dalam konteks ilmu akan menghasikan cara yang tepat dan benar dalam belajar dan penerapan sciences yang berbeda, seirama dengan itu rasa hormat terhadap para sarjana dan guru dengan sendirinya merupakan salah satu pengejawantahan langsung dan adab dari adab terhadap ilmu pengetahuan.
  4. Adab dalam kaitannya dengan alam berarti seseorang harus meletakkan tumbuh tumbuan, bebatuan, gunung, sungai, danau dan binatang pada tempatnya.
  5. Adab terhadap bahasa, berarti pengenalan dan pengakuan adanya tempat yang benar dan tepat untuk kata, baik dalam tulisan maupunpercakapan sehingga tidak menimbulkan kerancuan dalam makna bunyi dan konsep.
  6. Adab terhadap spiritual, berarti pengenalan dan pengakuan terhadap tingkatan keluhuran yang menjadi sifat alam spiritual, pengenalan dan pengakuan terhadap berbagai maqom spiritual berdasarkan ibadah.

Tujuan Pendidikan Islam dalam Perspektif Syed M Nuqib Al-Attas

Pendidikan Islam dalam Perspektif Syed M. Nuqib Al-Attas – Adapun tujuan pendidikan islam menurut perspektif al-Attas adalah bukan hanya untuk melatih fikiran, melainkan juga untuk melatih keseluruhan potensi sebagia manusia. Itulah sebabnya ia tidak hanya berimplikasi kepada pengajaran atau pun transmisi ilmu (ta’lim), akan tetapi juga melatih keselurahan pribadi belajar (tarbiyah), guru bukan hanya seorang pengajar (muallim)[22] yang mentransfer ilmu melainkan juga seorang pendidik (murobbi)[23] yang melatih jiwa dan kepribadian.

Sedangkan siswanto menjelaskan bahwa kata tarbiyah dan ta’lim tidak cocok digunakan dalam istilah pendidikan, ia lebih setuju terhadap penggunaan istilah ta’dib karena pengertian ta’lim hanya ditujukkan dalam proses transper ilmu (Proses pengajaran) tanpa adanya pengenalan lebih mendasar pada perubahan tingkah lakusedangkan term Attarbiyah menunjukkan makna pendidikannya yang bersifat umum hal ini berlaku bukan saja kepada proses pendidikan pada manusia akan tetapi juga ditunjukkan kepada proses pendidikanyang dilakukan oleh manusia dalam upaya memiliki kepribadian muslim yang utuh yang sekaligus membedakan dengan mahluk lainnya[24].

Al-Attas menarik kesimpulan bahwa tujuan pendidikan agama islam adalah bukan hanya untuk menghasilkan warga Negara yang sempurna[25] (complete citizen) dan pekerja yang baik melainkan untuk menghasilkan manusia yang paripurna, hal ini dijelaskan lagi secara mendetail dalam bukunya islam sekularisme: tujuan mencari ilmu adalah untuk menanamkan kebaikan ataupun keadilan dalam diri manusiasebagai seorang manusia dan individu, bukan sebagai seorang warga Negara ataupun anggota msyarakat. Yang perlu ditekankan dalam pendidikan adalah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga kota, sebagai warga Negara dalam kerajaannya yang mikro sebagai sesuatu yang bersifat spiritual, dengan demikian yang ditekankan itu bukan nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur dalam konteks prakmatis dan ultilitarian berdasarkan kegunaannya bagi Negara, masyarakat dan dunia.

Al-Attas itu menekankan bahwa penekanan terhadap individu bukan hanya hal yang prinsipil. melainkan juga strategi yang jitu pada masa sekarang. Penekanan terhadap individu mengimplikasikan pada pengetahuan mengenai akal, nilai, jiwa, tujuan dan maksud yang sebenarnya ari kehidupan ini, karena akal, nilai dan jiwa adalah unsur-unsur intern pada setiap individu. Sedangkan penekanan terhadap masyarakat dan Negara membuka pintu menuju sekularisme, termasuk didalamya ideology dan pendidikan sekuler, hal ini terjadi karena dalam peradaban barat ataupun peradaban lain selain islam tidak pernah ada seorang manusia sempurnapun yang bisa menjadi model untuk ditiru dalam hidup dan yang bisa dipakai untuk memproyeksikan pengetahuan dan tindakan yang benar dalam bentuk universal.

Pola kurikulum Pendidikan Islam dalam Perspektif Syed M Nuqib Al-Attas

Pendidikan Islam dalam Perspektif Syed M Nuqib Al-Attas – Pendidikan islam secara fngsional adalah merupakan upaya manusia muslim untuk membentuk al-insan al-kamil[26] melalui penciptaan situasi interaksi edukatif yang kondusif. Dalam posisi yang demikian pendidikan islam adalah model atau bentuk individual dan sosial yang paling efektif untuk menyiapkan dan menciptakan masyarakat yang ideal pada masa depan. Sejalan dengan konsep masa depan umat, maka pendidikan islam harus memiliki seperangkat isi atau bahan yang akan ditranspormasikan kepada peserta didik agar menjadi milik dan kepribadiannya sesuai dengan idealism islam.

Untuk itu perlu dirancang suatu benruk kurikulum pendidikan islam yang sepenuhnya yang mengacu pada nilai-nilai asasi ajaran islam. Dalam kaitan inilah diharapkan filsafat pendidikan isalam mampu memberikan kompas atau arah terhadap pembentukan kurikulum pendidikan yang islami.

Pendapat al-Attas bahwa struktur ilmu pengetahuan dan kurikulum pendidikan islam seharusnya menggambarkan manusia dan hakikatnya yang harus diimplementasikan pertama-tama pada tingkat universitas. Struktur dan kurikulum ini secara bertahap kemudian diaplikasikan pada tingkat pendidikan rendah. Secara alami, kurikulum tersebut diambil dari hakekat manusia yang bersifat ganda (dual nature), aspek fisikalnya lebih berhubungan dengan pengetahuannya mengenai ilmu-ilmu fisikal dan tehnkal atau fardhu kifayah, sedangkan keadaan spritualnya sebagaimana terkandung dalam istilah-istilah ruh, nafs, aql dan qolb lebih tepatnya berhubngan dengan ilmu inti dan fardhu ai’n.

Fardhu A’in (ilmu agama)

Al-attas menyatakan bahwa fardhu ain bukanlah suatu kumpulan ilmu pengetahuan yang kaku dan tertutup, melainkan cakupan fardu ain ini sangat luas sesuai dengan perkembangan dan tanggung jawab spiritual, sosial dan professional seseorang dalam system pendidikan yang memiliki tiga tahap yaitu rendah, menengah dan tinggi[27].

Ilmu fardu ain tidak hanya diajarkan pada tingkat yang rendah melainkan juga diajarkan pada tingkat pendidikan menengah dan tinggi. Yang perlu difahami dalam konsep ini makna dan maksud asalnya yaitu bahwa ilmu seperti itu bebas alirannya tidak tersekat dan bertambah dalam hal ruang lingkup dan kandungannya sebagaimana seseorang bertambah dalam hal kedewasaanya dan tanggung jawab sesuai dengan kapasitas dan potensi seseorang.

Kandungan umum yang terperinci dalam fardu ain tersebut pada tingkat pendidikan tinggi ini adalah kitab suci Al-Qur’an, Sunna, syari’at, tehnologi, metafisika islam dan ilmu bahasa[28].

Fardhu kifayah

Pengetahuan fardhu kifayah itu tidak diwajibkan kepada setiap mauslim untuk mempelajarinya, tetapi seluruh masyarakat mukmin akan bertanggung jawab jika tidak ada seorangpun yang mempelajarinya, karena masyarakat akan merasakan akibatnya.

Katagorisasi ini sangat penting karena memberikan landasan teoritis dan motivasi keagamaan kepada umat islam untuk mempelajari dan mengembangkan segala ilmu ataupun tehnologi yang diperlukan untuk memakmurkan masyarakat.

Al-Attas membagi ilmu fardu kifayah ini menjadi delapan bagian yaitu:

  1. Ilmu kemanusian
  2. Ilmu alam
  3. Ilmu terapan
  4. Ilmu tehnologi
  5. Perbandingan agama dari sudut islam
  6. Kebudayaan barat dan peradaban barat
  7. Ilmu linguistic
  8. Sejarah islam[29].

Al-Attas tidak membatasi pengetahuan fardhu kifayah pada delapan ilmu diatas. Hal ini dapat difahami karena pengetahuan dalam katagori fardu kifayah adalah sebagai sifat tuhan ang tidak terbatas, ilmu fardu kifayah seharusnya menggambarkan keperluan yang selalu berubah pada zaman ini dan keperluan padan masa depan, masyarakat muslim dan dunia seluruhnya.

Hal ini berimplikasi bahwa perencanaan, isi dan metode pendidikan harus mencerminkan penekanan dan pegalaman adab dan benar dan konsisten dalam berbagai tingkat realitas. Untuk merealisasika tujuan ini system pendidikan harus diformulasikan dan dilaksanakan di Negara muslim, yang menurut al-Attas harus dimulai dari tingkat Universitas[30].

Demikian ulasan singkat seputar Pendidikan Islam dalam Perspektif Syed M Nuqib Al-Attas. semoga bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Attas, Aim and Objectives os Islamic Education, Jeddah:King Abdul Aziz University,1979.

Al-Attas, Konsep Pendidikan Agama Islam, Suatu rangka fikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, terj.Haidar Baqir, Bandung:Mizan,1988.

Imam Bawani dan Isa Anshori, Cendikiawan Muslim dan perspektif pendidikan Islam, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991.

Raharjho, Quo Vadis Pendidikan Islam, Pembacaan Relaitas Islam, Sosial dan Keagamaan, Malang: Cendikia Paramulya Malang,2006.

Samsul Nizar, filsafat pendidikan islam, pendekatan historis, teoritis dan praktis, Jakarta,ciputat:Quantum Teaching,2005.

Wan Daud, filsafat dan praktek pendidikan islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas, terj.hamid fahmy, Bandung:Mizan, 2003.

Wan Mohn Nor Wan daut, filsafat dan praktek Pendidikan Islam di Indonesia syed Muhammad Naquib Al-Attas, terj.hamid fahmi,et.al.Bandung:Mizan,2003.

[1]Samsul Nizar, filsafat pendidikan islam, pendekatan historis, teoritis dan praktis (Jakarta,ciputat:Quantum Teaching,2005),hlm.118.

[2]Wan Mohn Nor Wan daut, filsafat dan praktek Pendidikan Islam di Indonesia syed Muhammad Naquib Al-Attas, terj.hamid fahmi,et.al.(Bandung:Mizan,2003).,hlm.132.

[3]Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, teoritis dan praktis,hlm.118.

[4] Suplemen Ensiklopedi islam, (Jakarta: PT Ichtiar baru van Hoeve, 2001).,hlm.78.

[5] Rimayulis dan samsul Nizar, Ensiklopedi tokoh pendidikan,(Ciputat; Quantum Teaching,2005).,hlm.119. dan ini juga dijelaskan dalam bukunya Samsul Nizar, Filsafat pendidikan islam pendekatan historis, teoritis dan praktek, (Jakarta: Ciputat Perss, 2002).,hlm118. Sedangkan dalam bukunya siswanto, Pendidikan Islam dalam persspektif filosofis, (Pamekasan: STAIN Press,2009).,hlm.109 tidak dijelaskan bagaimana asal muasal nauqib ini pergi ke johor Malaysia.

[6]Adalah salah satu madrasah yang bahasa pengantarnya menggunakan bahasa arab. Wan daud,filsafat dan praktek pendidikan Islam.,hlm.46.

[7]Disini menurut beberapa literature dijelaskan bahwa belian mulai belajar tarekat utamanya tarekat Naqsabandhi dan menurut samsul Nizar, Filsafat pendidikan islam pendekatan historis, teoritis dan praktek, hlm.118 dijelaskan kembalinya ke Indonesia karena di Malaysia dianggap kurang menguntungkan dan kemudian kembali keindonesia bersama keluarganya. Sedangkan dalam bukunya siswanto, Pendidikan Islam dalam persspektif filosofis,hlm.119. tidak dijelaskan bersama keluarga atau pulang keindonesia sendirian.

[8] Menurut siswanto, setelah menamatkan pendidikan ditingkatan Urwat Al Wustha di sukabumi kamudian beliau kembali lagi ke Malaysia dan mendaftarkan diri untuk menjadi tentara meliter yang kemudian sempat dikirim ke inggris untuk mengikuti pendidikan meliter disana.

[9] Siswanto, Pendidikan Islam dalam Perspektif filosofis, hlm.111.

[10] Samsul Nizar, Filsafat pendidikan islam pendekatan historis, teoritis dan praktis,I hlm.119.

[11] Ibid., hlm.120.

[12] Addabani yang secara literal dapat berarti telah menanamkan adab pada diriku.

[13]Wan Mohn Nor Wan daut, filsafat dan praktek., hlm.177.

[14]Al-Attas, Konsep Pendidikan Agama Islam, Suatu rangka fikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, terj.Haidar Baqir,(Bandung:Mizan,1988), hlm.60

[15]Imam Bawani dan Isa Anshori, Cendikiawan Muslim dan perspektif pendidikan Islam (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991).,hlm.73.

[16]Yang dimaksud dengan pengenalan dalam definisi diatas adalah mengetahui kembali (recognized) perjanjian pertama (primordial covenant) antara manusia dengan tuhan (QS Al-Baqaraoh (2):31).Hal ini menunjukkan bahwa semua materi sudah berada pada tempatnya masing-masing dalam berbagai hirarki wujud, tetapi disebabkan oleh kebodohan dan kesombongannya. Manusia “mengubah tempat-tempat tersebut sehingga terjadilah ketidak adilan:. Pengenalan tanpa adanya pengakuan adalah kecongkakan, karena haq pengakuanlah untuk diakui kebenarannya. Al-Attas, konsep Pendidikan., hlm.56. Pendidikan Islam dalam Perspektif Syed M.Nuqib Al-Attas

[17] Yang dimaksud dengan “pengakuan” menurut al-Attas adalah melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang telah dikenal diatas. Ini semacam affirmasi dan konfirmasi atau realisasi dan aktualisasi dalam diri seseorang mengenai apa yang sudah dikenalnya itu yang tanpanya, pendidikan menjadi sesuatu yang tidak lebih dari sekedar proses belajar ta’llum pengakuan tanpa pengenalan adalah sebuah kejahilan belaka, karena haqq pengakuanlah untuk mewujudkan pengenalan., Ibid.hlm.56.

[18]Wan Moh Nor Wan daut, filsafat dan praktek., hlm.177.

[19]Al-Attas, Aim and Objectives os Islamic Education,(Jeddah:King Abdul Aziz University,1979), hlm.36

[20] Ibid.,hlm.57.

[21]Wan Mohn Nor Wan daut, filsafat dan praktek., hlm.179

[22]Kata Muallim berasal dari kata ‘ilm yang berarti menangkap hakekat sesuatu. Hal ini terkandung makna bahwa seorang guru dituntuk untuk mampu menjelaskan hakekat ilmu pengetahuan yang diajarkannya serta menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya dan berusaha membangkitkan siswa untuk megamalkannya. Mudjia, Raharjho, Quo Vadis Pendidikan Islam, Pembacaan Relaitas Islam, Sosial dan Keagamaan, (Malang: Cendikia Paramulya Malang,2006).,hlm.102.

[23]Kata murobby berasal dari kata rabb yang juga merupakan salah satu nama tuhan (al-asmaul husna), tuhan sebagai rabbul alamin dan rab an-nas, yakni yang menciptakan mengatur dan memelihara alam seisinya termasuk manusia, Ibid.,hlm.101-102.

[24] Siswanto, Pendidikan dalam pespektif filosofis, hlm.114.

[25]Karena menurut pespektif barat ilmu pendidikan ini adalah semata-mata hanya untuk menghasilkan dan menciptakan warga Negara yang baik dan terlepas dari tuntunan agama.

[26]Adalah seseorang yang sanggup untuk menampakkan sifat-sifat ketuhanan dalam prilakunya dan betul-betul menghayati kesatuan esensialnya dengan wujud ilahiyah tanpa harus kehilangan identitasnya sebagai seorang hamba dan makluknya. Wan Daud, filsafat dan praktek pendidikan islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas, terj.hamid fahmy, (Bandung:Mizan, 2003),hlm.208. Pendidikan Islam dalam Perspektif Syed M.Nuqib Al-Attas

[27] Al-Attas, Tingkat Pendidikan Islam, hlm.88.

[28]Wan daud, Filsafat dan praktek Pendidikan Islam, hlm.274-277.

[29]Al-Attas, Aim and Objectives os Islamic Education,(Jeddah:King Abdul Aziz University,1979), hlm.90-91.

[30]Al-Attas menganggap bahwa universitas sebagai sebuah institusi yang paling kritis, yang darinya akan bermula Revivalisme (kebengkitan dan reformasi) pendidikan dan epistimologi. Lihat wan daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan, hlm.203.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *