Daftar Isi
A. Polarisasi Ahl al Sunnah dan Syiah
Syiah dan sunnah adalah dua kelompok yang sama-sama muslim yang berpegang teguh pada ajaran-ajaran islam, yang lurus. Sama-sama mempercayai apa yang dibawa oleh Rasulullah saw. Tiada perbedaan antara mereka dalam suatu dasar agama yang prisipil dan berakibat merusak kepercayaan mereka pada dasar-dasar agama Islam yang mulia.
Tiada pula perbedaan faham diantara mereka kecuali apa yang biasa terjadi di antara para muja>hidi>n dalam beberapa hukum agama, sebagai akibat dari perbedaan istinba>t yang berasal dari al-qur’an, atau sunnah Nabi atau ijma’ para ulama ataupun dari sumber dalil yang keempat.[1]
Para pengikut Ali percaya bahwa setelah Nabi wafat, kekhalifaan dan kekuasaan agama berada di tangan Ali. Kepaercayaan ini berpangkal pada pandangan tentang kedudukan dan tempat Ali dalam hubungannya dengan Nabi, hubungan dengan kalangan terpilih diantara para sahabat maupun hubungan dengan kaum muslim pada umumnya.[2]
Berlawanan dengan harapan mereka, justru pada saat nabi wafat, dan jasadnya belum dikuburkan, sedangkan para anggota keluarganya dan beberapa orang sahabat sibuk dengan persiapan dan upacara pemakamannya, teman-teman dan pengikut Ali mendengar kabar adanya kelompok lain yang telah pergi ke masjid, tempat umat berkumpul menghadapi hilangnya pemimipin yang secara tiba-tiba. Kelompok inilah yang kemudian menjadi mayoritas, dan bertidak lebih jauh dengan sangat tergesa-gesa memilih pemimpin kaum muslimin dengan maksud menjaga kesejahteraan umat dan memecahkan masalah mereka pada saat itu.
Akan tetapi mereka melakukan hal itu tanpa berunding dengan ahlu al-bait, keluarga, ataupun para sahabat yang sedang sibuk dengan upacara pemakaman, dan sedikit pun tidak memberitahukan mereka. Dengan demikian, Ali dan kawan-kawannya dihadapkan kepada suatu keadaan yang sudah tak dapat berubah lagi.
Baru setelah selesai penguburan jenazah Nabi, Ali dan kawan-kawan seperti Abbas, Zubair, Salman, Abu Dzar, Miqdad dan Ammar mengetahui tentang pelaksanaan pemilihan khalifah tersebut. Kemudian mereka mengajukan protes terhadap cara musyawarah dan pemilihan dalam pengangkatan khalifah, dan juga terhadap mereka yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pemilhan tersebut. Bahkan mereka mengajukan bukti-bukti dan alasan-alasan mereka, namun jawaban yang mereka terima adalah bahwa kesejahteraan kaum muslimin terancam, dan pemecahannya adalah seperti apa yang telah dilakukan.[3] Berdasarkan realitas itulah yang memisahkan kaum minoritas Ali atau Syiah dari kaum mayoritas Sunni.
Jadi pada hakekatnya, perbedaan prinsipial antara syiah dan sunnah terletak pada persoalan tokoh pengganti Nabi Muhammad saw, sebagai pemimpin umat sepeninggal beliau, baik di bidang pemerintahan maupun dalam hal-hal spiritual keagamaan. Kaum syiah berpendapat bahwa pemegang pemegang jabatan itu telah ditetapkan dan diwasiatkan oleh Nabi saw, dalam hal ini yang ditunjuk oleh beliau adalah Ali bin Abi Thalib. Sedangkan kaum sunnah berpendapat bahwa nabi saw wafat tanpa mewariskan jabatan tersebut kepada siapa pun.
B. Ahl al sunnah dan syiah
Ahl al sunnah
Ahl al sunnah dan syiah – As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh atau cara pelaksanaan suatu amalan baik itu dalam perkara kebaikan maupun perkara kejelekan.
Maka As-Sunnah yang dimaksud dalam istilah Ahlus Sunnah ialah jalan yang ditempuh dan dilaksanakan oleh Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam serta para shahabat beliau, dan pengertian Ahlus Sunnah ialah orang-orang yang berupaya memahami dan mengamalkan As-Sunnah An-Naba>wiyyah serta menyebarkan dan membelanya
Ungkapan ahl-Sunnah sering disebut juga dengan sunni, adapun sunni dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok syiah. Dalam pengertian ini, mu’tazilah sebagaimana juga asy’ariyah masuk dalam barisan sunni. Sedangkan sunni dalam pengertian khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan asy’ariyah dan merupakan lawan mu’tazilah.[4]
Sunni berasal dari kata sunnah dan memiliki arti umum “ praktik kebiasaan”. Para muslim sunni menyebut diri mereka sebagai ahl al-sunnah wa al-jama>’ah ( pengikut sunnah dan komunitas. Sunni berbeda dengan kaum syiah karena mereka menolak bahwa Nabi telah menunjuk Ali untuk menggantikannya sebagai pemimpin komunitas islam ( khalifah ), selainitu mereka juga membedakan diri dari sekte-sekte islam lainnya yang pandangan-pandangannya mengandung bid’ah .[5]
Sunni berkembang sebagai hasil perjuangan politik dan agama di tubuh islam sendiri, yang telah dimulai sejak masa-masa paling awal dari sejarahnya.
Salah satu ciri ahlus sunnah adalah kecintaan mereka terhadap para imam sunnah dan ulamanya, para penolong dan para walinya. Dan mereka membenci tokoh-tokoh ahli bid’ah yang mereka itu mengajak kepada jalan menuju neraka dan menggiring pengikutnya menuju kehancuran. Allah telah menghiasi dan menyinari ahlus sunnah dengan kecintaan mereka kepada ulama-ulama ahlus sunnah, sebagai karunia dan keutamaan dari Allah ta’ala.
Term ahl sunnah banyak dipakai setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran mu’tazilah. Menurut harun nasution aliran ahl sunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Hasan Al-Asy’ari sekitar tahun 300 H.[6]
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah abu Hasan Ali bin Isma’il bi Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Bardah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Beliau lahir di Bashrah pada tahun 260 H/ 875 M. ketika berusia lebih dari 40 tahun ia hijrah ke Baghdad dan wafat disana pada tahun 324 H/935 M.[7]
Asy’ari pada mulanya menganut faham mu’tazilah sampai berusia 40 tahun, setelah itu secara tiba-tiba ia mengumumkan dihadapan jamaah masjid bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukan mu’tazilah.
Menurut Ibn Asakir yang melatarbelakangi Al-asy’ari meninggalkan faham mu’tazilah adalah karena ia berrmimpi bertemu dengan Rasullullah sebanyak tiga kali yaitu pada malam ke-10. Ke-20, dan ke-30 bulan ramadhan. Dalam mimpi tersebut rasulullah memperingatkannya agar meninggalkan faham mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau.
Formasi pemikiran Al-asy’ari secara esenssial menampilkan sebuah upaya sintesis antara formula ortodok ekstrim sisatu sissi dan mu’tazilah disisi lainnya. Adapun pemikiran-pemikiran al-asy’ari yang terpenting adalah sebagai berikut :
a) Tuhan dan sifat-sifatnya
Al-Asy’ari berpendapat bahwa allah memang memiliki sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, akan tetapi tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis. Selanjutnya Al-Asy’ari juga berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengansifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.[8]
b) Kebebasan dalam bertindak
Menurut Al-Asy’ari Allah adalah pencipta perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya. Hanya Allah-lah yang mampu menciptakan segal sesuatu ( termasuk keinginan manusia )
c) Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Walupun Al-Asy’ari dan mu’tazilah sama-sama mengakui pentingnya akal dan wahyu, tetapi mereka berbeda dalam menghadapi persoalaan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari lebih mengutamakan wahyu sedangkan mu’tazilah mengutamakan akal. Selain itu menurut Al-Asy’ari baik buruk harus berdasarkan wahyu juga.
d) Qadimnya Al-qur’an
Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun al-Qur’an terdiri dari kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah maka dari itu al-Qur’an tidak Qadim. Nasution mengatkan bahwa Al-qur’an bagi Al-asy’ari tidaklah diciptakan sebab kalau diciptakan akan sesuai dengan ayat.
Sesungguhnya Perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: “kun (jadilah)”, Maka jadilah ia. ( an-Nahl : 40 )
e) Melihat Allah
Al-asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama zahriyah yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di arsy. Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan.[9]
f) Keadilnan
Pada dasarnya Al-asy’ari dan mu’tazilah setuju bahwa allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang makna keadilan. Al-asy’ari tidak setuju dengan pendapat mu’tazilah yang mengharruskan Allah berbuat Adil sehingga Dia menyiksa orang yang salah dan member pahala kepada yang berbuat baik. Menurutnya Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlak.
g) Kedudukan orang berdosa
Al-asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman adalah lawan kafir maka bagi seseorang haruslah berada salah satu diantaranya, jika tidak mukmin berarti dia kafir. Oleh karena itu Al-asy’ari berpendapat bahwa seorang mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa kecuali kufr.
Syiah
ahl al sunnah dan syiah Syiah diliht dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok. Sedangkan secara terminologis syiah berarti sebagaian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW ( ahl al-bait ).[10]
Kemunculan syi’ah dalm sejarah terdapat perbedaan dikalangan para ahli. Menurut Abu Zahra, syiah mulai pada masaa akhir pemerintahan Usman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib.[11]
Sedangkan menurut watt, syiah baru benar-benar muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan perang siffin. Dalam peperangan ini sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan mu’awiyah, pasukan ali pecah menjadi dua kelompok, satu kelompok yang mendukung Ali yang disebut syiah dan yang menolak ali disebut khawarij.[12]
Adapun kalangan syiah sendiri berpendapat bahwa kemunculan syiah berkaitan dengan masalah pengganti ( khalifah ) Nabi SAW, mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thaliblah yang berhak menggantikan Nabi. Kepemimpinan Ali dalam pandangan syiah tersebut sejalan dengan isyarat-isyarat yang telah diberikan oleh Nabi SAW pada masa hidupnya.
Dan bukti tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khumm. Bahwa ketika Nabi kembali dari haji terakhir dalam perjalanan dari mekkah ke madinah, di suatu padang pasir yang bernama ghadir khumm Nabi memilih Ali sebagai penggantinya di hadapan massa yang penuh sesak yang menyertai beliau.
Dalam perkembangannya, selain memperjuangkan hak kekhalifahan ahl-al bait dihadapan dinasti ammawiyah dan abbasiyah, syiah juga mengembangkan doktrin-doktrinnya sendiri yakni tauhid ( kepercayaan kepada keesaan Allah ), nubuwwah ( kepercayaan kepada kenabian ), ma’ad ( kepercayaan akan adanya hidup di akhirat ), ima>mah ( kepercayaan terhadap adanya imamah yang merupakan hak ahl-al bait ) dan adl ( keadilan ilahi ).[13]
Dalam perjalanan sejarah kelompok syiah terpecah menjadi beberapa sekte-sekte yaitu :
Syiah itsna Asyariah
Syiah Itsna asyariyah disebut juga syiah imamiyah karena yang menjadi dasar akidahnya adalah persoalan imam dalam arti pemimpin.[14] Yakni Ali berhak menjadi khalifah bukan hanya karena kecakapannya atau kemuliaan akhlaknya, tetapi juga karena ia telah ditunjuk nas dan pantas menjadi khalifah pewaris kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.
Golongan ini terbentuk setelah lahirnya kedua belas imam yaitu kira-kira pada tahun 260 H/878 M. pengikut sekte ini menganggap bahwa imam kedua belas, Muhammad Al-Mahdi bersembunyi di ruang bawah tanah rumah ayahnya di samarra dan tidak kembali, itulah sebabnya kembalinya imam Al-mahdi ini selalu ditunggu-tunggu pengikut sekte syiah itsna Asyariyah.
Syiah Sab’iyah
Istilah ini memberikan pengertian bahwa sekte Syiah Sab’iyah hanya mengakui tujuh imam yaitu, Ali, Hasan, Husein, Ali Zainal abidin, Muhammmad Al-Baqir, ja’far Ash-Shadiq dan Ismail bin Ja’far.
Syiah Sab’iyah menolak pembatalan imam Ismail bin ja’far sebagai imam ketujuh sebagai mana syiah itsna asyariyah oleh karena itu sepeniggalnya diganti dengan anaknya yakni Muhammad bin Ismail
Syiah zaidiyah
Dinamakan zaidiyah karena sekte ini mengakui zaid bin ali sebagai imam yang kelima, putra Ali zainal abidin imam keempat. Berbeda dengan sekte yang lainnya yang mengakui Muhammad Aal-Baqir sebagai imam kelima. Syiah zaidiyah merupakan sekte syiah yang modern.[15] Menurut Abu Zahra kelompok syiah ini merupakan sekte yang paling mendekati dengan sunni.
Syiah Ghulat
istilah ghulat berasal dari kata ghala-yaghlu-ghuluw yang artinya bertambah dan naik. Jadi syiah ghulat adalah kelompok pendukung Ali yang memiliki sikap berlebih-lebihan atau ekstrim.
Gelar ekstrim ( ghulat ) yang diberikan kepada kelompok ini berkaitan dengan pendapatnya yang janggal yakni ada beberapa orang secara khusus dianggap Tuhan dan ada beberapa orang yang dianggap Rasul setelah Nabi Muhammad.[16] Selain itu mereka mengembangkan doktrin-doktrin ekstrin lainnya seperti tanasukh, hulul, tasbih dan ibaha.
Adapun prinsip dan konsep pemikiran islam mazhab syiah yang telah dirusak oleh raja-raja dan kaum agamawan safawi adalah sebagai berikut :[17]
- ‘itrah ( para pengganti Nabi Suci yang saleh )
- ‘ishmah ( kesucian para imam dari dosa )
- Wishayah ( pengangkatan washi dan wali oleh Nabi Suci )
- Wilayah ( menerima kepemimpinan seorang imam )
- Ima>mah ( kepemimpinan orang-orang saleh )
- ‘Adl ( keadilan dalam semua tindakan Allah )
- Taqiyyah ( menyembunyikan, dan hati-hati dalam masalah-masalah agama disebabkan adanya larangan-larangan oleh enzim penguasa tiranis dan zalim )
- Sunnah ( praktik Nabi Suci )
- Ghaybah ( gaibnya imam mahdi )
- Syafa’ah ( pertolongan dari salah seorang 14 manusia suci bagi orang-orrang beriman pada hari kiamat. )
- Ijtiha>d ( integrasi fatwa-fatwa hukum agama dengan evolusi dan perubahan dalam kondisi-kondisi kehidupan manusia. )
- Du’a ( doa dan permohonan )
- Taqli>d ( mengikuti ulama dalam masalah-masalah teknis keagamaan yang seseorang tak mampu menganalisis atau memahami.)
Dalam perkembangan syiah, selain terdapat tokoh popular seperti Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali dan Husen bin Ali, terdapat pula dua tokoh ahl al-bait yang mempunyai pengaruh dan andil yang sangat besar dalam pengembangan faham syiah yaitu Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin dan Ja’far as Sadiq.[18]
Pemikiran Ja’far as Sadiq dianggap sebagai cikal bakal ilmu fiqih dan usul fiqih karena keempat tokoh ulama fiqih islam yaitu Imam Hanafi, maliki, Syafi’I dan Hambali secara langsung atau tidak langsung pernah menimbah ilmu darinya. Sedangkan terkenal ahli terutama di bidang tafsir dan fiqih.
Paham Syiah dianut oleh sekitar dua puluh persen dari umat Islam pada dewasa ini. Penganut paham syiah tersebar di Iran, Irak, afganistan, Pakistan, India, Libanon, Arab Saudi, Bahrein, Kuwait, bekas Negara Uni Soviet, serta beberapa Negara Amerika dan Eropa.[19]
Baca juga: Gerakan Politik Syiah dalam Revolusi Iran
Demikian ulasan singkat seputar ahl al sunnah dan syiah, semoga bermanfaat.
situs: www.rangkumanmakalah.com
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad, Aliran Politik dan aqidah dalam Islam, ter. Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Jakarta: Logos, 1997
Esposito, John L, Ensiklopedia Oxford Dunia Islam Modern, jilid 5, ed Ahmad Baiquni, et al. Bandung : Mizan, 2002
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 2986
Perpustakan Nasional RI, Ensiklopedia Islam, jilid 6, ed. Nina M Armando et al, ( Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 2005
Qadir, CA, Filsafat dan Ilmu pengetahuan Islam, Jakarta : yayasan Obor, 1991
Rozak, Abdul dan Rosihan anwar, Ilmu Kalam, bandung : Pustaka Setia, 2007
Sayyed, Allamah Muhammad Husayn thabathaba’I, Islam Syiah: Asal usul dan perkembangannya, terj. Djohan effendi, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993
Syarafuddin, A. al-Musawi, Dialog Sunnah Syiah, Bandung : Mizan, 1996
Syari’ati, Ali, Islam mazhab Pemikiran dan Aksi, Bandung : Mizan, 1995
Watt, W Montgomerry, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, terj. Umar Besalim Jakarta : P3M, 1987
[1] A. Syarafuddin al-Musawi, Dialog Sunnah Syiah, ( Bandung : Mizan, 1996 ), 4
[2]Allamah Sayyed Muhammad Husayn thabathaba’I, Islam Syiah: Asal usul dan perkembangannya, terj. Djohan effendi ( Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993 ), 39
[3] Allamah Sayyed Muhammad Husayn thabathaba’I, Islam Syiah: Asal usul…, 40
[4] Abdul Rozak dan Rosihan anwar, Ilmu Kalam, ( bandung : Pustaka Setia, 2007 ), 119
[5] John L Esposito, Ensiklopedia Oxford Dunia Islam Modern, jilid 5, ed Ahmad Baiquni, et al. ( Bandung : Mizan, 2002 ), 260.
[6] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, ( Jakarta: UI Press, 2986 ), 64
[7] Abdul Rozak dan Rosihan anwar, Ilmu Kalam…, 120
[8] CA Qadir, Filsafat dan Ilmu pengetahuan Islam, ( Jakarta : yayasan Obor, 1991 ), 67-68
[9] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran…, 70
[10] Abdul Rozak dan Rosihan anwar, Ilmu Kalam.., 89
[11] Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan aqidah dalam Islam, ter. Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, ( Jakarta: Logos, 1997 ), 34
[12] W Montgomerry watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, terj. Umar Besalim ( Jakarta : P3M, 1987 ), 10
[13] Abdul Rozak dan Rosihan anwar, Ilmu Kalam.., 92
[14] H.M Rasyidi, Apa itu Syiah, ( Jakarta : Pelita, 1984 ), 11
[15] Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik…, 45
[16] Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik…, 39
[17] Ali Syari’ati, Islam mazhab Pemikiran dan Aksi, ( Bandung : Mizan, 1995 ), 60
[18] Perpustakan Nasional RI, Ensiklopedia Islam, jilid 6, ed. Nina M Armando et al, ( Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 2005 ), 320
[19] Ibid.,313ss