Daftar Isi
A. Sejarah Singkat Poligami
Poligami Nabi Muhammad SWT – Poligami sudah berlangsung sejak jauh sebelum datangnya Islam. Orang-orang Eropa yang sekarang kita sebut Rusia, Yugoslavia, Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris semuanya adalah bangsa-bangsa yang berpoligami. Demikian juga bangsa-bangsa Timur seperti bangsa Ibrani dan Arab, mereka juga berpoligami. Karena itu, tidak benar apabila ada tuduhan bahwa Islamlah yang melahirkan aturan tentang poligami, sebab nyatanya aturan poligami yang berlaku sekarang ini juga hidup dan berkembang di negeri-negeri yang tidak menganut Islam, seperti Afrika, India, Cina dan Jepang. Tidaklah benar kalau berpoligami hanya terdapat di negeri-negeri Islam.
Agama Nasrani pada mulanya tidak mengharamkan poligami, karena tidak ada satu ayatpun dalam injil yang secara tegas melarang poligami. Apabila orang-orang Kristen di Eropa melaksanakan monogami tidak lain hanyalah karena kebanyakan bangsa Eropa yang kebanyakan Kristen pada mulanya seperti orang Yunani dan Romawi sudah lebih dulu melarang poligami, kemudian setelah mereka memeluk agama Kristen mereka tetap mengikuti kebiasaan nenek moyang mereka yang melarang poligami.
Dengan demikian, peraturan tentang monogami atau kawin dengan seorang isteri bukanlah peraturan dari agama Kristen yang masuk ke negeri mereka, tetapi monogami adalah peraturan lama yang sudah berlaku sejak mereka menganut agama berhala. Gereja hanya meneruskan larangan poligami dan menganggapnya sebagai peraturan dari agama, padahal lembaran-lembaran dari kitab Injil sendiri tidak menyebutkan adanya larangan poligami.[2]
Keberadaan poligami atau menikah lebih dari seorang istri dalam lintasan sejarah bukan merupakan masalah baru. Poligami telah ada dalam kehidupan manusia sejak dahulu kala di antara berbagai kelompok masyarakat diberbagai kawasan dunia. Orang-orang Arab telah berpoligami jauh sebelum kedatangan Islam, demikian pula masyarakat lain di sebagian besar kawasan dunia selama itu, termasuk Indonesia.[3]
B. Poligami dalam Kehidupan Nabi Muhammad SAW
Poligami Nabi Muhammad SWT – Tradisi poligami bukanlah tradisi yang sengaja direncanakan, tetapi tradisi itu berkembang karena dikehendaki oleh waktu maupun tempat. Tradisi itu berkembang dalam suatu iklim masyarakat yang masih dekat dengan kehidupan desa yang murni; kalangan masyarakat yang diatur oleh sistem kekabilahan; tatkala anak-anak dianggaap sebagai perhiasan hidup, melahirkan anak merupakan suatu kegembiraan bagi seorang wanita. Dan banyaknya anak dan keluarga merupakan kebanggaan bagi seorang pria.
Bagi kita sekarang, mungkin saja poligami dipandang sebagai satu bentuk perbudakan terhadap wanita yang bertujuan untuk menyenangkan dan memuaskan laki-laki. Tetapi sebenarnya, poligami justru merupakan beban berat bagi laki-laki untuk menyelamatkan wanita-wanita Arab dari tradisi yang lebih kejam; tradisi yang membuat seorang suami hanya mengakui seorang istri, tapi dia membiarkan wanita-wanita lain yang juga digaulinya terlantar dan terhina.[4]
Tidak ada seorang pun Istri Nabi saw., ketika mereka memasuki kehidupan rumah tangganya, mendambakan untuk menjadi satu-satunya permaisuri bagi Nabi saw. kehidupan poligami tampak begitu alami sehingga kitapun mudah membayangkannya. Kita bisa melihat bahwa Khaulah binti Hakim adalah wanita yang mengusulkan kepada Nabi saw. agar beliau meminang A’ishah binti Abu Bakar dan Saudah binti Zam’ah dalam waktu yang bersamaan.[5] Sesungguhnya ummul mukminin Maimunah binti al-Harith sendirilah yang merasa rela dinikahi oleh Nabi saw.[6]
Berbicara poligami, tidak lepas dari apa yang dilakukan oleh Nabi saw. Beliau berpoligami untuk memberikan contoh aplikasi ayat-ayat yang bercerita tentang beristri lebih dari satu. Memang dibolehkan, akan tetapi banyak di antara kita yang kurang jernih dalam memahami makna poligami ini, sehingga maksud yang semula mulia menjadi direduksi hanya untuk memuaskan hasrat seksual belaka.[7]
C. Makna yang Terkandung di Balik Praktek Poligami Nabi Muhammad SAW
- Nabi SAW. diutus oleh Allah untuk menebarkan kasih sayang kepada seluruh alam
- Nabi SAW. diutus untuk memberi contoh dan keteladanan akhlak yang mulia kepada seluruh umat manusia
- Nabi SAW. diutus untuk melindungi dan mengangkat martabat kaum wanita, anak-anak yatim, para budak dan kaum tertindas lainnya
- Berbagai ayat yang diwahyukan kepada Nabi perlu dicontohkan dan diteladankan secatra nyata, agar menjadi jelas maknanya. Maka, kita melihat alasan-alasan di balik praktek poligami itu sebenarnya adalah manifestasi aturan Allah di dalam al-Qur’an.[8]
Misalnya QS. Al-Ahzab (33): 37. yang menegaskan bahwa mengawini bekas istri anak angkat itu dihalalkan. Maka, salah satu istri Nabi adalah Zainab binti Jahshi. Beliau mengawininya setelah Zainab bercerai dengan Zaid bin Harithah, salah seorang budak yang diangkat Nabi sebagai anak angkatnya.
D. Istri-istri Nabi
1. Khadijah binti Khuwailid
Poligami Nabi Muhammad SWT – Dikawini Nabi muhammad saw sebelum beliau menjadi rasul saat berusia 25 tahun. Ketika itu Siti Khadijah sudah janda berusia 40 tahun. Dengan istri pertamanya ini Nabi punya 6 orang anak. 2 laki-laki dan 4 perempuan. Yang laki-laki bernama Qasim dan Abdullah. Keduanya meninggal ketika masih kecil. Sedangkan keempat anak perempuannya adalah Zainab, Ruqaiyyah, Ummu Kulthum dan Fatimah. Siti Khadijah meninggal pada usia 68 tahun. Setelah berumah tangga selama 28 tahun. Nabi kawin dengan Khadijah dikarenakan kebaikan dan kemuliaan akhlaknya bukan karena kecantikannya. Selama berumah tangga dengan Khadijah itu, Nabi tidak pernah berpoligami, meskipun bisa dan sangat memenuhi syarat untuk itu.
2. Saudah binti Zam’ah
Poligami Nabi Muhammad SWT – Dikawini Nabi setelah khadijah wafat. Demikian pula Saudah ditinggal mati suaminya Sakran ibn Amr. Sakran dan Saudah adalah sahabat rasul yang ikut hijrah ke Madinah. Beliau kasihan karena Saudah hidup sebatangkara. Dan dikucilkan keluarganya yang kafir, akibat ia masuk Islam.
3. Aishah binti Abu Bakr
Poligami Nabi Muhammad SWT – Adalah anak sahabat Rasul, Abu Bakar. Dialah sahabat Nabi yang paling terpercaya. Dan sangat berjasa sejak awal perjuangan Islam. Mereka bersama-sama melewati saat-saat yang sangat kritis dan berbahaya. Khalifah pertama sesudah Nabi wafat adalah Abu Bakar. Maka, salah satu motif perkawinan dengan Aishah adalah mengikat persaudaraan lebih erat dengan Abu Bakar, agar lebih kukuh dalam perjuangannya.
4. Hafshah binti Umar bin Khattab
Poligami Nabi Muhammad SWT – Sama dengan Aishah, Hafshah adalah anak sahabat dekat Rasul, yaitu Umar. Dialah Khalifah ke dua yang menggantikan Abu Bakar. Rasul mengikat kekeluargaan lebih erat dengan Umar dengan cara mengawini anaknya.
5. Zainab binti Khuzaimah
Ia adalah janda beberapa kali sebelum menikah dengan Rasulullah. Suaminya yang terakhir adalah Ubaidah Ibn Harith yang gugur di perang Badar membela Islam. Rasul merasa kasihan kepadanya, dan menjadikannya sebagai istri. Zaenab dikenal sebagai wanita yang sangat welas asih kepada orang-orang miskin. Rasul sangat menghargai kemuliaan hatinya itu. Delapan bulan setelah dikawini, Zaenab meninggal dunia.
6. Hindun binti Umayah
Ia dikenal juga sebagai Ummu Salamah. Suami sebelumnya adalah Abu Salamah. Wanita ini dikawini Rasulullah setelah ditinggal mati suaminya., yang gugur di medan perang Uhud. Ia memiliki empat orang anak: zaenab, Salam, Umar dan Durrah. Hindun dikenal sebagai pejuang wanita di medan perang Uhud.
7. Juwairiyah binti Harith
Juwariyah adalah tawanan perang. Ia berasal dari bani Musthaliq. Pada jaman itu seorang tawanan perang tidak memiliki harga di hadapan tentara yang menawannya. Maka Rasulullah memberikan pelajaran kepada tentara islam untuk menghargai mereka yang menjadi tawanan perangnya. Terutama para wanita. Rasulullah meminangnya menjadi istri yang dihormati oleh kaum muslimin.
8. Zainab binti Jahshi
Zainab adalah sepupu nabi. Ia dikawinkan oleh Nabi dengan anak angkatnya yang bernama Zaid ibn Harits. Padahal, semula Zaid itu adalah budak. Tapi begitulah Rasulullah mengangkat derajatnya, menjadi anak angkatnya. Bahkan dikawinkan dengan sepupunya. Akan tetapi, mereka tidak cocok. Dan akhirnya, Zainab diceraikan oleh Zaid. Nabi kasihan kepada Zaenab dan kemudian mengawininya. Perkawinan ini sekaligus menjadi penerapan hukum, bahwa mengawini bekas istri anak angkat diperbolehkan dalam Islam.
9. Raihanah binti Zaid
Adalah seorang budak rasulullah. Ada juga yang mengatakan diperoleh dari tawanan perang. Ia berasal dari bani Quraiz}ah. Rasul memerdekakannya dan menikahinya. Dikabarkan pernah dicerai, tetapi kemudian dirujuk kembali. Motifnya adalah mengangkat martabat seorang budak dan menghapus perbudakan.
10. Ramlah binti Abu Sufyan
sebelumnya ia dinikahi oleh Ubaidillah bin Jahsy dan hijrah bersamanya ke Habsyah. Suaminya tersebut murtad dan menjadi nashroni dan meninggal di sana. Ummu Habibbah tetap istiqomah terhadap agamanya. Ketika Rasulullah SAW mengirim Amr bin Umayyah Adh-Dhomari untuk menyampaikan surat kepada raja Najasy pada bulan Muharrom tahun 7 Hijrah. Nabi mengkhitbah Ummu Habibah melalu raja tersebut dan dinikahkan serta dipulangkan kembali ke Madinah bersama Surahbil bin Hasanah.
Sehingga alasan yang paling kuat adalah untuk menghibur beliau dan memberikan sosok pengganti yang lebih baik baginya. Serta penghargaan kepada mereka yang hijrah ke Habasyah karena mereka sebelumnya telah mengalami siksaan dan tekanan yang berat di Mekkah
11. Shafiyah binti Huyay
Ia dari Bani Israel, ia merupakan tawan perang Khoibar lalu Rasulullah SAW memilihnya dan dimeredekakan serta dinikahinya setelah menaklukan Khoibar tahun 7 Hijriyyah.
Pernikahan tersebut bertujuan untuk menjaga kedudukan beliau sebagai anak dari pemuka kabilah.
12. Maimunah binti Harith.
Saudarinya Ummu Al-Fadhl Lubabah binti Al-Harits. Ia adalah seorang janda yang sudah berusia lanjut, dinikahi di bulan Dzul Qa’dah tahun 7 Hijrah pada saat melaksanakan Umroh Qadho.[9]
E. Poligami dalam Islam
1. Perspektif Fikih
Poligami Nabi Muhammad SWT – Hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami yaitu cukup seorang laki-laki mempunyai seorang istri, karena dengan perkawinannya akan mempunyai tujuan yaitu menciptakan suasana yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, yang keadaan tersebut sulit dilaksanakan seandainya seorang laki-laki memiliki istri lebih dari satu.
Allah SWT membolehkan berpoligami sampai empat orang istri saja dengan syarat berlaku adil kepada mereka yaitu adil dalam melayani istri, jika tidak bisa berlaku adil maka cukup satu istri saja (monogami)[10] hal ini berdasarkan firman Allah SWT Surat An-Nisa’ ayat 3:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil. Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya“.[11]
Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni Istri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja. Dalam syariat Islam lebih disukai bila laki-laki hanya memiliki seorang istri, bahkan kalau mungkin ia tetap mempertahankannya sampai akhir hayatnya.
As-Syarakhsi menyatakan kebolehan Poligami dan mensyaratkan pelakunya harus berlaku adil. Al-Kasani juga menyatakan lelaki yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap Istri-istrinya. Begitu juga As-Syafi’i mensyaratkan keadilan di antara para istri.[12]
Berkenaan dengan alasan-alasan darurat yang membolehkan poligami menurut Abdur rahman setelah merangkum pendapat fuqoha,[13] setidaknya ada 6 keadaan:
- Istri mengidap suatu penyakit yang berbahaya dan sulit disembuhkan.
- Istri terbukti mandul dan dipastikan secara medis tak dapat melahirkan.
- Istri sakit ingatan
- Istri lanjut usia sehingga tidak dapat memenuhi sebagai istri
- Istri memiliki sifat buruk
- Istri pergi dari rumah
2. Perspektif Hadith pandangan Poligami Nabi Muhammad
Poligami Nabi Muhammad SWT – Poligami adalah seorang laki-laki beristri dari seorang, tetapi dibatasi paling banyak adalah empat orang, dalam arti kalau melebihi dari empat berarti mengingkari kebaikan yang disyari’atkan oleh Allah bagi kemaslahatan hidup suami istri.[14]
Dalam masalah ini, al-Mudhahhir menjelaskan, Bahwa pernikahannya yang dilakukan oleh orang-orang kafir dihukumi sah, sehingga apabila mereka masuk Islam, maka tidak diperintahkan untuk melangsungkan akad nikah baru, kecuali dalam pernikahannya ada ketentuan yang tidak sesuai dengan hukum islam, misalnya mengumpulkan beberapa wanita dalam satu akad nikah. Dan Islam sendiri menegaskan seorang laki-laki boleh menikahi wanita paling banyak empat. Dengan kata lain tidak lebih dari empat perempuan.dan secara otomatis istri-istri yang selain empat tertalak sendiri. Menurut Ibnu Al-Himam para Ulama Arba’ah dan jumhur muslimin sepakat atas pendapat ini.[15]
Hadits ini juga satu pengertian dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Qais Al-Haris yaitu:
عن قيس بن الحارث قال اسلمت وعندي ثنان نسوة فاتيت النبي صلعم فقلت ذلك له فقال اختر منهن اربعا. رواه ابن ماجه.
Dari Qais bin al-Harith, beliau berkata: Aku masuk Islam dan saya mempunyai Istri delapan. Kemudian aku datang menemui Rasul SAW. lalu aku jelaskan kepada Nabi tentang hal tersebut. Lalu Nabi bersabda: Pilihlah dari mereka empat orang.[16]
Hadits ini menunjukkan terhadap firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 3, dengan potongan ayat mathna wa thulatha wa ruba’. Dalam ayat tersebut menunjukkan taqyid (terbatas), bukan ta’mim (umum) dengan jumlah terakhir empat tidak lebih. Sedangkan pengulangan penyebutan jumlah, dengan meninjau masing-masing kaum laki-laki bukan meninjau pada satu individu. Dan huruf wawu menggunakan makna aw (memilih) atau berfaidah halalnya untuk semua hitungan tersebut bagi satu orang laki-laki. Oleh karena itu, apabila ada haditsh dengan keterangan di atas, maka wajib membawa pengertian ayat kepada hadith, Karena haditsh ini menunjukkan bahwa jumlah lebih dari empat adalah tetapnya hukum haram.[17]
Dalam syari’at Islam, lebih disukai bila seorang laki-laki hanya mempunyai seorang Istri, karena pernikahan yang diajarkan Islam harus menciptakan suasana yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Oleh sebab itu, Islam memperingatkan suami untuk tidak melakukan poligami, kecuali dia bisa berbuat adil. Sebagaiamana firaman Allah yaitu:
….فانْ خِفْتُمْ اَنْ لا تَعْدِلوا فَوَاحِدَةً…(النساء : 3).
Jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja.
Seperti kita banyak ketahui, bahwa perlakuan adil sangat sulit dilakukan suami, bahkan sampai taraf mustahil dilaksanakan, dan biasanya seorang suami melakukan poligami lebih condong kepada seorang istri, sehingga mengakibatkan merananya istri-istri yang lain. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadith:
مَنْ كانَتْ لهُ اِمْرَأتَانِ فَمَالَ اِلىَ اِحْدَاهُمَا دُوْنَ الاُخْرَى جَاءَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ. رواه احمد والاربعة, وسنده صحيح
Barang siapa seorang suami mempunyai dua orang istri, kemudian dia cenderung kepada salah satunya, tetapi tidak kepada yang lainnya, maka ia datang pada hari kiamat separuh badannya menceng.[18]
3. Perspektif Undang-undang No 1/1974
Poligami Nabi Muhammad SWT – Dalam UUP menganut asas monogami seperti yang terdapat di dalam pasal 3 yang menyatakan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang Istri dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami, namun pada bagian yang lain dinyatakan bahwa dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan.[19]
Klausal kebolehan poligami di dalam UUP sebenarnya hanya pengecualian dan untuk itu pasal-pasalnya mencantumkan alasan-alasan yang membolehkan tersebut.[20] Dalam pasal 4 dinyatakan seorang suami yang akan berIstri lebih dari seorang apabila:
- Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
- Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
- Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Dengan adanya bunyi pasal-pasal yang membolehkan untuk berpoligami dengan alasan-alasan tertentu, jelaslah bahwa asas yang dianut oleh UUP sebenarnya bukan menganut asas monogami mutlak, melainkan disebut monogami terbuka. Poligami ditempatkan pada status hukum darurat, atau dalam keadaan yang luar biasa. Disamping itu lembaga poligami tidak semata-mata kewenangan penuh suami, tetapi atas izin dari Hakim (pengadilan).
Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seorang suami yang ingin melakukan Poligami seperti yang tercantum dalam pasal 5 ayat 1 UUP diantaranya:
- Adanya persetujuan dari istri
- Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka(makalah)
- Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap Istri dan anak-anak mereka. [21]
F. Hikmah Poligami
Poligami Nabi Muhammad SWT – Islam adalah agama yang mengatur tentang kemasyarakatan. Islam mempunyai konsep kemanusiaan yang luhur, yang dibebankan kepada manusia untuk menegakkannya dan harus disebarluaskan kepada seluruh umat manusia. Risalah Islamiyah tidak akan tegak melainkan apabila ada kekuatan yang mendukung, adanya pemerintahan yang mengelola segala segi, pertahanan keamanan, pendidikan, industri perdagangan, pertanian, dan sektor-sektor lain yang menunjang tegaknya suatu pemerintahan. Semuanya itu tidak akan sempurna tanpa adanya orang-orang yang hidup pada tiap generasi yang banyak jumlahnya. Karena itu ada pepatah:
الْعِزَّةُ لِلْكَا ثِرِ
Kemegahan itu di pihak terbanyak.
Dan jalan untuk mendapatkan masa yang banyak ini ialah dengan kawin dan memperbanyak keturunan.[22]
Berpoligami ini bukan wajib atau sunnah, tetapi oleh Islam di bolehkan. Karena tuntutan pembangunan dan pentingnya perbaikan tidak patut diabaikan oleh pembuat Undang-Undang dan di kesampingkan.
- Merupakan karunia Allah dan Rahmat-Nya kepada manusia membolehkan adanya poligami dan membataskan sampai empat saja. Bagi laki-laki boleh kawin dalam waktu yang sama, lebih dari seorang istri, dengan syarat sanggup berbuat adil terhadap mereka dalam urusan belanja dan tempat tinggal seperti yang telah diterangkan. Bilamana ia takut berbuat z}alim dan tidak dapat memenuhi kewajiban yang seharusnya dipikul, haramlah baginya kawin lebih dari seorang perempuan. Bahkan jika dia takut berbuat zalim, tidak mampu untuk melayani hak seoarang Istri saja, maka haram baginya kawin sampai nanti ia terbukti mampu untuk kawin.
- Ada pepatah yang mengatakan bahwa kebesaran terletak pada keluarga yang besar pula. Dan jalan untuk mendapatkan jumlah yang besar, hanyalah dengan adanya perkawinan yang relative masih muda dan disegi lain dilakukannya poligami.
Negara-negara dewasa ini benar-benar telah menyadari tentang nilai dari jumlah penduduk yang besar, pengaruhnya terhadap industri dan perang dan perluasan pembangunan. Karena itu untuk dapat menambah besarnya jumlah penduduk digalakkan masalah perkawinan dan kepada penduduk yang memperoleh anak banyak diberikan imbalan. Hal ini dilakukan demi kepentingan kekuatan dan pertahanan. Seorang penyidik bangsa Jerman telah membahas dengan tajam tentang suburnya keturunan dikalangan masyarakat Islam yang menurutnya dipandang sebagai salah satu unsur dari kekuatan masyarakat Islam.
- Negara merupakan pendukung agama, dimana ia seringkali menghadapi bahaya peperangan sehingga banyak dari penduduknya yang meninggal. Oleh karena itu haruslah ada badan yang memperkatikan janda-janda para syuhada’ ini. Dan tak ada jalan yang baik untuk mengurusi janda-janda itu kecuali dengan mengawini mereka, disamping juga untuk menggantikan jiwa yang telah tiada. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan memperbanyak keturunan, dan poligami merupakan salah satu faktor memperbanyak jumlah ini.
- Bahwa kesanggupan laki-laki untuk berketurunan lebih besar dari perempuan, sebab laki-laki telah memiliki persiapan kerja seksual sejak baligh sampai tua, sedangkan perempuan dalam masa haidh tidak memilikinya. Kesanggupan perempuan untuk beranak berakhir sekitar umur empat puluh lima sampai lima puluh tahun, sedangkan di pihak-pihak laki-laki masih subur sampai dengan lebih dari enam puluh tahun.
Keadaan dan kondisi yang seperti ini sudah tentu perlu di beri jalan pemecahan yang sehat. Jika Istri dalam masa seperti ini telah tidak lagi mampu menunaikan tugasnya sebagai Istri maka apakah yang akan dilakukan oleh suami selama berjalannya keadaan ini.
Jadi hikmah poligami disini adil untuk menyalurkan kebutuhan laki-laki yang Istrinya sudah tidak bisa menjalankan tugasnya lagi. Dari pada seorang suami berzina dengan wanita lain, maka alternatif paling baik adalah dengan berpoligami.
- Adakalanya karena istri mandul atau menderita sakit yang tak ada harapan sembuhnya, padahal masih tetap berkeinginan untuk melanjutkan hidup bersuami istri, suami ingin mempunyai anak-anak sehat lagi pintar dan seorang Istri yang dapat mengurus keperluan-keperluan rumah tangganya. Bila sang suami menceraikan Istrinya tersebut maka sama saja sang suami akan menambah beban penderitaan sang Istri. Maka cara yang paling tepat untuk dilakukan adalah dengan berpoligami tentunya dengan kesepakatan antar ke-2 belah pihak (suami-istri tersebut).
- Ada segologan laki-laki yang mempunyai dorongan seksual besar, yang merasa tidak puas dengan seorang istri saja, terutama sekali orang-orang di daerah tropis (berhawa panas). Karena itu dari pada orang-orang ini hidup dengan teman perempuan yang rusak akhlaknya adalah lebih baik diberikan jalan yang halal untuk memuaskan tuntutan nafsunya yakni dengan berpoligami.
- Islam di dalam menginginkan pembangunan umat yang sehat memperbanyak jumlah penduduk baik dimasa perang maupun damai, merupakan tujuan yang sangat penting yang diperhatikan oleh Allah dan Rasulnya.
- Dengan adanya sistem poligami dan melaksanakan ketentuan poligami ini di dunia Islam, merupakan satu karunia besar bagi kelestariannya, jauh dari perbuatan-perbuatan sosial yang kotor dan akhlak yang rendah dalam masyarakat yang mengakui poligami. Dan dengan adanya poligami maka:
- Jumlah kejahatan dan pelacuran akan berkurang, jumlah kaum pelacur lebih sedikit dari perempuan yang bersuami.
- Jumlah anak-anak haram akan semakin berkurang.
- Suami/istri atau laki/perempuan akan terhindar dari berbagai macam penyakit yang membahayakan. [23]
Demikian ulasan singkat seputar Poligami Nabi Muhammad SWT semoga bermanfaat.
situs: www.rangkumanmakalah.com
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet. Fiqh Munakahat. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
Abi Abdillah Muhammad Bin Yazid Al-Qazwimi Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah. Juz-1, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Arabiyah, tt.
Al-Ah}wa>dhi, Ima>m. Tuhfa>tu Al-Ah}wa>dhi bi Syarah Ja>mi’ Al-Turmudhi. Juz 4, Beirut: Dar Al-Kutub, 1990.
Al Hamdani, H.S.A. Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam). Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
Al-Muntaqi. Syarh Al-Muwat}t}a’. Juz-4, Beirut: Dar Al-Kutub, 1990.
Bintush-Shat}i’, Aishah. Istri-istri Nabi, Fenomena Poligami di Mata Seorang Tokoh Wanita. Bandung: Pustaka Hidayah, 2001.
Hisha>m, Ibnu. As-Sirah Ibnu Hisha>m. Juz I.
———–. As-Sirah Ibnu Hisha>m. Juz IV.
Masfuk, Zuhdi. Masail Fikhiyah. Jakarta: PT Midas Surya Grafindo, 1997.
Mustofa, Agus. Benarkah al-Qur’a>n Menyuruh Berpoligami karena Alasan Syahwat?. Surabaya: Padma Press, 2008.
Rahmat, Hakim. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 1999.
———–. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Juz 6, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1990.
Siddiqi, Abdul Hamid. Sirah Nabi Muhammad, Bandung: Marja, 2005.
Tutik, Titik Triwulan. dan Trianto. Poligami Perspektif Perikatan Nikah. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007.
Tarigan, Amiur Nuruddin, Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media, 2004.
Undang-undang Perkawinan di Indonesia. Surabaya: Arkola, tt.
[1]Abdul Hamid Siddiqi, Sirah Nabi Muhammad (Bandung: Marja, 2005), 313.
[2]H.S.A. Al Hamdani, Risalah Nikah (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 39-40.
[3]Titik Triwulan Tutik dan Trianto, Poligami Perspektif Perikatan Nikah (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), 55-56.
[4] Aishah Bintush-Shati’, Istri-istri Nabi, Fenomena Poligami di Mata Seorang Tokoh Wanita (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), 29.
[5]Ibnu Hisham, As-Sirah Ibnu Hisyam, Juz I, 352.
[6]Ibnu Hisham, As-Sirah Ibnu Hisyam, Juz IV, 296.
[7]Agus Mustofa, Benarkah al-Qur’an Menyuruh Berpoligami karena Alasan Syahwat? (Surabaya: Padma Press, 2008), 225.
[8]Ibid,. 226-227.
[9]Aishah Bintush-Shati’, Istri-istri Nabi, 35.
[10] Hakim Rahmat, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), 65.
[11]Al-Qur’an, (an-Nisa’): 3
[12] Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2004), 158.
[13] Ibid., 159.
[14]Slamet Abidin, Fiqh Munakahat (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 131.
[15] Imam Al-Ahwadhi, Tuhfatu Al-Ahwadhi bi Syarah Jami’ Al-Turmudhi, Juz 4 (Beirut: Dar Al-Kutub, 1990), 233.
[16]Abi Abdillah Muhammad Bin Yazid Al-Qazwimi Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz-1 (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Arabiyah, tt), 628.
[17]Al-Muntaqi, Syarh Al-Muwatta’, Juz-4 (Beirut: Dar Al-Kutub, 1990), 231.
[18]Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 117.
[19]Zuhdi Masfuk, Masail Fikhiyah (Jakarta: PT Midas Surya Grafindo, 1997), 12-13.
[20]Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam, 159.
[21] Undang-undang Perkawinan di Indonesia (Surabaya: Arkola, tt), 6-7.
[22] H.S.A. Al Hamdani, Risalah Nikah, 40.
[23]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 6 (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1990), 159-165.