Daftar Isi
Sejarah madrasah sebagai lembaga pendidikan formal, sebenarnya telah terlebih dahulu berkembang lembaga pandidikan non formal. Bahkan lembaga-lembaga tersebut saat ini masih banyak kita jumpai.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam non formal
Masjid
Semenjak berdirinya di zaman nabi Muhammad masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kaum muslimin, baik yang menyangkut pendidikan maupun sosial ekonomi. Sebagai lembaga pendidikan, masjid pada awal perkembangannya dipakai sebagai sarana dan penyampaian doktrin ajaran Islam[3]
Shuffah
Pada masa Rasulullah, shuffah merupakan suatu tempat yang telah dipakai untuk aktifitas pendidikan. Biasanya tempat ini menyediakan pemondokan bagi pendatang baru dan mereka yang tergolong miskin. Di sini para siswa (sahabat) diajarkan membaca dan menghafal al-Qur’an secara benar dan hokum Islamdi bawah bimbingan nabi secara langsung. Pada masa itu setidaknya ada Sembilan shuffah yang tersebar di kota madinah. Rasulullah mengangkat ‘Ubaid ibn al-Samit pada shuffah di madinah.[4]
Kuttab
Kuttab atau maktab berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat menulis. Sebelum Islam datang, Kutta>b ini sudah dikenal meskipun terbatas dari golongan tertentu saja. Di antara penduduk Makkah yang mula-mula belajar baca tulis adalah Sufyan ibnu Umayyah ibnu Abdu Syam dan Abu Qais ibnu Abdi Manaf ibnu Zuhrah ibnu Kilat. Keduanya mempalajarinya di negeri Hirah.[5] Karena masih sedikitnya penduduk Makkah yang menguasai baca tulis, maka menurut Shalabi, yang menjadi pengajar dalam kuttab ini seringkali kaum zimmi.
Di awal sejarah madrasah, kuttab tersebut dilaksanakan di rumah-rumah guru yang bersangkutan. Materi yang diajarkan adalah menulis dan membaca syair yang terkenal pada masanya. Sementara penulisan al-Qur’an tidak diajarkan di sini, sebab kebanyakan pengajar adalah kaum zimmi maupun para tawanan perang Badar. Selain alasan tersebut ada juga yang beranggapan bahwa al-Qur’an tidak boleh dipermainkan oleh anak-anak dengan jalan menulis dan menghapusnya. Sehingga di masa itu al-Qur’an hanya disebarluaskan dengan cara membaca saja.[6]
Kepandaian baca tulis dalam kehidupan sosial dan politik umat Islam ternyata memegang peranan penting, yaitu sejak nama nabi Muhammad digunakan sebagai media komunikasi dakwah kepada dunia di luar Arab serta dalam menuliskan perjanjian-perjanjian. Karena kepentingan inilah maka Kutta>b sebagai tempat belajar menulis dan membaca semakin berkambang pesat.
Perubahan terjadi di akhir abad pertama hijriyah, di mana dalam Kutta>b ini telah diberikan juga materi al-Qur’an dan pokok-pokok ajaran agama, seperti pokok-pokok nahwu dan shorrof. Pada mulanya Kutta>b jenis ini merupakan pemindahan dari pengajaran al-Qur’an yang berlangsung di masjid dan untuk semua kalangan. Namun dengan adanya kekhawatiran bahwa anak-anak tidak dapat menjaga kesucian masjid, maka bagi mereka dibuatkan tempat-tempat khusus di samping masjid yang juga berfungsi untuk belajar baca tulis, al-Qur’an serta pokok-pokok ajaran Islam.[7] Bahkan menurut George Makdisi, dalam Kuttab juga dipelajari pendidikan yang lebih tinggi lagi, ysitu pembelajaran untuk spesialisasi keilmuan seperti belajar Fiqih[8]
Selain itu dikatakan oleh Ibnu Khaldun, bahwa tempat pembelajaran bagi murid perempuan di kuttab tersebut dipisahkan dari laki-laki. Namun kepergian anak-anak perempuan ke kuttab itu sendiri sering tidak disukai oleh sebagian ulama karena dikhawatirkan dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.[9]
Halaqah
Pendidikan masjid berlangsung dalam sistem halaqah (lingkaran). Artinya, tempat duduk para murid dalam proses belajar mengajar adalah berbentuk lingkaran, yaitu mereka melingkari gurunya. Biasanya seorang guru duduk di lantai menerangkan, membacakan karangannya, atau memberikan komentar atas karya pemikiran orang lain. Meskipun tidak ada batasan resmi, namun rata-rata dalam sebuah halaqah terdiri dari 20 murid di mana dalam halaqah tertentu masuknya murid ini melalui sebuah seleksi.[10]
Kegiatan di halaqah ini tidak khusus untuk mengajarkan atau mendiskusikan ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, termasuk filsafat. Oleh karena itu, halaqah ini dikelompokkan ke dalam lembaga pendidikan yang tebuka terhadap ilmu pengetahuan umum. Mengikuti halaqah tidak mengandung suatu implikasi keterkaitan dengan halaqah tersebut atau dengan syaikhnya serta halaqah ini memberikan kebebasan akademis. Dilihat dari segi ini, halaqah dapat dikategorikan ke dalam lembaga pendidikan tingkat lanjutan karena sudah mulai mebedah masalah pemikiran orang lain.[11]
Kegiatan pembelajaran di halaqah dimulai dengan doa singkat yang dibaca oleh syaikh dilanjutkan dengan memberikan komentar umum tentang topik bahasan dengan mengaitkan topik tersebut pada materi yang telah diberikan sebelumnya. Dalam materi tertentu metode imla’[12] juga digunakan. Kegiatan ini dilanjutkan dengan penjelasan pada materi yang telah didiktekan, di mana uraian materi ini didasarkan pada tingkat pemahaman para murid. Akhir dari kegiatan halaqah adalah pemeriksaan catatan yang dilakukan oleh syaikh sehingga dimungkinkan syaikh tersebut dapat memberikan perhatian secara individu.
Selain itu juga diadakan sesi tanya jawab di mana dalam sesi tersebut tidak ada larangan bagi seorang murid untuk berbeda pendapat dengan syaikhnya. Jika seorang syaikh berhalangan, agar pembelajaran tidak terganggu maka dia mengangkat seorang naib untuk menggantikannya. Jika syaikh wafat maka naib ini akan ditugasi untuk mengajar sampai syaikh yang baru diangkat. Dalam mengajar, seorang syaikh dibantu oleh seorang mu’id atau mufid. Mu’id merupakan murid senior yang bertugas untuk mengulas kembali materi yang telah diberikan oleh syaikh di luar pembelajaran beserta temen-temannya. Sedangkan mufid bertugas untuk membantu murid pemula dalam belajar. Secara hierarkis tingkatan pengetahuan mufid masih berada di bawah mu’id.[13]
Pendidikan Rendah di Istana Dalam sejarah madrasah
Adanya pendidikan rendah di istana didasari oleh kesadaran bahwa pendidikan harus diberikan pada anak sejak kecil agar mereka dapat melaksanakan tugasnya setelah dewasa nanti. Atas dasar kesadaran tersebut para khalifah dan keluarganya serta para pembesar istana mendatangkan guru-guru khusus yang ditugasi untuk mengajar anak-anak mereka.[14]
Rencana pelajaran untuk pendidikan di istana pada garis besarnya sama saja dengan rencana pelajaran pada kuttab-kuttab, hanya ditambah atau dikurangi menurut kehendak para pembesar istana, dan selaras dengan keinginan istana yaitu untuk menyiapkan anak tersebut secara khusus untuk tujuan-tujuan dan tanggung jawab yang akan dihadapinya dalam kehidupan kelak.[15]
Toko-Toko Buku dalam sejarah madrasah
Pada permulaan Daulah Bani Abassiyah, di mana ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islamtelah berkembang pesat yang diikuti oleh penulisan kitab-kitab berbagai disiplin ilmu, maka berdirilah toko-toko kitab. Para pemilik toko tersebut umumnya bukan sekedar para pedagang, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang cerdas yang memilih profesi tersebut agar dapat membaca dan menelaah kitab-kitab yang ditulis oleh para ilmuwan. Mereka juga menyalinnya dan menjualnya pada orang yang memerlukan. Dengan demikian toko-toko buku tersebut bukan saja sebagai tempat berjual beli buku, akan tetapi juga berfungsi sebagai tempat bertemunya para ilmuwan untuk berdiskusi, berdebat dan mengkaji masalah-masalah ilmiah.[16]
Majlis dalam sejarah madrasah
Istilah majlis telah dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama Islam. Mulanya ia merujuk kepada arti tempat-tempat pelaksanaan belajar mengajar. Majlis ini bermula sejak zaman Khulafa>’ al-Ra>syidu>n yang digunakan untuk memberikan fatwa, musyawarah serta diskusi dengan para sahabat untuk memecahkan masalah yang dihadapi pada masa itu. Awalnya pertemuan majlis ini diadakan di masjid, namun sejak khalifah Bani Umayyah tempat tersebut dipindahkan ke istana.[17]
Pada masa Khalifah Ha>ru>n al-Rasyi>d (170-193 H), majlis ini mengalami kemajuan yang luar biasa karena Khalifah sendiri sangat mencintai ilmu pengetahuan sehingga ia juga ikut aktif di dalamnya. Selain itu keadaan negara yang kondusif mendukung diadakannya perlombaan antar ahli syair, perdebatan antar fuqaha, diskusi-diskusi ilmiah, serta sayembara di antara ahli kesenian dan pujangga.[18]
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam, majlis digunakan sebagai kegiatan transfer ilmu pengetahuan sehingga majlis banyak ragamnya. Di antaranya ada majlis hadith, majlis tadris, majlis munadzarah, majlis muzakarah, majlis syu’ara>’ majlis adab, dan majlis al-fatwa dan al-nazar.[19]
Badi’ah dalam sejarah madrasah
Merupakan padang pasir di pedalaman yang ditinggali oleh orang-orang Badwi. Sejak berkembang luasnya Islam, bahasa Arab sering digunakan oleh bangsa luar Arab yang beragama Islamsehingga bahasa Arab berkembang luas. Hal ini mengakibatkan keaslian bahasa Arab semakin lama semakin luntur karena bercampur dengan kaidah bahasa lain.
Namun tidak demikian halnya di badi>’ah-badi’a>h, mereka tetap mempertahankan kemurnian dan keaslian bahasa Arab. Oleh karena itu, badi>’ah-badi>’ah ini menjadi pusat untuk pelajaran bahasa Arab yang asli dan murni. Sehingga banyak anak-anak khalifah, ulama-ulama dan para ahli ilmu pengetahuan pergi ke badi>’ah-badi’a>h dalam rangka mempelajari ilmu bahasa Arab. Dengan begitu, badi>’ah-badi’a>h telah berfungsi sebagai lembaga pendidikan.[20]
Selain itu, di badi>’ah-badi’a>h ini juga terdapat ribat-ribat atau zawiyah-zawiyah yang menjadi pusat kegiatan para sufi. Di sanalah mereka mengembangkan metodenya untuk mencapai ma’rifat.
Perpustakaan
Pada zaman berkembangnya ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, buku mempunyai nilai yang sangat tinggi. Buku merupakan sumber informasi. Orang dengan mudah dapat belajar dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah tertulis dalam buku. Para ulama dari berbagai macam keahlian, pada umumnya menulis buku-buku dalam bidangnya masing-masing. Para ulama juga memberikan kesempatan kepada para penuntut ilmu untuk belajar di perpustakaan pribadi mereka.[21]
Dengan didirikannya perpustakaan para pelajar akan merasa sangat terbantu karena mereka bisa mengurangi pengeluaran untuk pembelian buku. Terdapat tiga perpustakaan besar dalam sejarah Islamklasik, yaitu perpustakaan Abbasiyah di Baghdad, perpustakaan Fatimiyah di Kairo dan perpustakaan Umayyah di Cordoba
SEJARAH MADRASAH, PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGANNYA.
Madrasah merupakan isim makan dari kata darasa-yadrusu-dirasatan yang berarti tempat belajar. Madrasah merupakan sebutan bagi sekolah agama Islam, tempat proses belajar mengajar secara formal yang mempunyai kelas dan kurikulum dalam bentuk klasikal. Padanan kata madrasah dalam bahasa Indonesia adalah sekolah.[22]
Madrasah merupakan era baru dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Madrasah merupakan tempat untuk mencerdaskan manusia, menghilangkan ketidak tahuan atau memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan mereka sesuai dengan minat dan kemampuannya.[23]
sejarah madrasah sebagai lembaga pendidikan Islammulai dirintis sekitar abad ke-5 H/11 M. ketika penduduk Naisabur mendirikan lembaga pendidikan Islammodel madrasah tersebut pertama kalinya. Akan tetapi tersiarnya justru melalui menteri dari kerajaan bani Saljuk yang bernama Nizam al-Mulk. Untuk itu madrasah ini lebih dikenal dengan sebutan madrasah Nidzamiyah tahun 1065 M.[24]
Madrasah ini berkembang di berbagai kota di wilayah kekuasaan Islamdan banyak menghasilkan ulama dan sarjana yang tersebar di negeri-negeri Islam. Salah satu gurunya adalah Imam al-Ghazali. Namun demikian, institusi-institusi sebelum madrasah itu tetap dipakai sesuai dengan sifat tradisionalnya, sekalipun jumlah dan peminatnya sedikit.
Lahirnya lembaga pendidikan formal dalam bentuk madrasah merupakan pengembangan dari sistem pengajaran dan pendidikan yang yang pada awalnya berlangsung di masjid-masjid. Madrasah merupakan hasil evolusi dari masjid sebagai lembaga pendidikan dan khan sebagai asramanya.[25] Institusi pendidikan ketika itu perlu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan ilmu dan kebutuhan masyarakat.
Beberapa alasan yang menjadikan penyelenggaraan pendidikan di masjid perlu dipertimbangkan kembali adalah; pertama, kegiatan pendidikan dimasjid dianggap telah mengganggu fungsi utama lembaga itu sebagai tempat ibadah. Kedua, berkembangnya kebutuhan ilmiah sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan. Ketiga, timbulnya orientasi baru dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan proses pendidikan di luar masjid, ulama dapat mengajar sambil menyelesaikan pekerjaan di rumahnya ataupun menjaga dagangannya di toko. Kemapanan baru inilah yang disebut dengan madrasah.
Bangunannya sangat sederhana dan seringkali rumah profesor itu sendiri yang difungsikan sebagai madrasah. Adapun pembelajaran yang dilaksanakan sifatnya independen dan pribadi.[26] pada saat itu madrasah belum mempunyai kurikulum yang seragam, bervariasi antara satu madrasah dan yang lainnya. Hal ini sangat tergantung kepada keahlian guru masing-masing madrasah, pandangan tentang kepentingan suatu ilmu pengetahuan, dan berhubungan pula dengan perhatian dari pembesar pendiri madrasah yang bersangkutan.[27]
Alasan Berdirinya madrasah di luar masjid
Selanjutnya, Zuhairini mengemukakan alasan-alasan berdirinya madrasah di luar masjid yaitu:
- Halaqah-halaqah (kelompok belajar) yang diselenggarakan di masjid sering mengganggu terutama terhadap orang yang akan beribadah.
- Berkembangnya ilmu pengetahuan melahirkan halaqah-halaqah banyak yang tidak tertampung di masjid.
- Usaha mempertahankan dan mengembangkan aliran keagamaan dari pembesar agama.
- Ketakutan akan tidak dapat mewariskan harta kepada anak-anaknya. Dengan demikian, mereka membuat wakaf pribadi yang dikelola oleh keluarga.
- Ketika bangsa Turki mulai berpengaruh dalm pemerintahan bani Abbasyiyah dan dalam rangka mempertahankan status quo, mereka berusaha menarik hati dengan berusaha memperhatikan pendidikan dan pengajaran guru-guru digaji dan diberi fasilitas yang layak.[28]
Dari pernyataan di atas dapat diketahui pendirian madrasah bukan hanya didasari pada kepentingan pengembangan pendidikan, akan tetapi juga didasari oleh kepentingan politik. Sehingga tidak mengherankan jika pemerintah terlibat di dalam pengelolaannya. Implikasi yang ditimbulkan adalah materi pelajaran yang diberikan cenderung mengarah kepada satu aliran saja yaitu yang dianut oleh pemerintahan pada waktu itu. Yang lebih penting lagi, karena pemilihan materi pelajaran memiliki kaitan dengan tujuan-tujuan politis atau tujuan-tujuan sektarian, maka penyampaiannyapun cenderung tertutup dan bersifat indoktrinasi.[29]
Di sisi lain pengaruh yang muncul dari adanya campur tangan pemerintah, sejarah madrasah segera tersebar dengan luas. Banyak saudagar, ulama dan yang lainnya juga mendirikan madrsah dengan standard dan model yang relative sama. Dengan itu, madrasah bukan hanya tersebar pada daerah timur, melainkan idenya juga terawetkan sehingga madrasah tetap eksis pada era modern. Selain faktor tersebut, madrasah dapat diterima luas karena pembelajarannya sesuai dengan kecenderungan masyarakat pada waktu itu.
Madrasah dianggap mewakili harapan masyarakat. Hal itu dapat ditinjau dari sudut pandang sosial keagamaan maupun ekonomi. Secara sosial keagamaan, pertama, materi pokok yang diajarkan madrasah pada waktu itu ialah fiqih yang mana hal ini merupakan kebutuhan pokok dalam melaksanakan ibadah sehari-hari. Kedua, ajaran yang diberikan dalam madrasah ialah ajaran sunni yang merupakan ajaran yang banyak dianut oleh kaum muslimin sepanjang sejarahnya. Ketiga, pengajar di madrasah adalah para ulama.
Ulama sebagai pemegang ilmu syari’ah bertanggung jawab untuk menjadikan syari’ah dapat diterima. Di samping itu, ulama mempunyai kedudukan khusus baik di masyarakat maupun pemerintahan.secara ekonomi, madrasah adalah lembaga yang menjanjikan kerja. Terutama bagi orang yang alim fiqihnya, karena mereka dibutuhkan oleh masyarakat pada waktu itu. Dengan demikian kedudukan faqih menjadi lebih sejahtera.[30]
Madrasah Pertama
Madrasah pertama, dan yang menjadi model bagi madrasah lainnya adalah madrasah Nidzamiyah. Terdapat tiga tujuan pendidikan madrasah Nidzamiyah. Pertama, mengkader calon-calon ulama yang menyebarkan pemikiran Sunni untuk menghadapi tantangan pemikiran Syi’ah; kedua, untuk menyiapkan tenaga pengajar yang akan disebarkan ke tempat-tempat lain; ketiga, membentuk kelompok pekerja untuk berpartisipasi menjalankan pemerintahan, meminpin perkantoran khususnya di bidang peradilan dan manajemen.[31]
Kurikulum Madrasah
Adapun kurikulum yang digunakan dalam madrasah ini adalah ilmu-ilmu syari’at yang beraliran sunni. Tentulah ilmu fiqih mendapat prioritas utama. Pembahasan fiqih yang menyangkut hampir semua masalah kemasyarakatan memang tepat sebagai bekal untuk calon-calon birokrat atau pemimpin masyarakat pada waktu itu. Tenaga pengara atau guru pada madrasah ini dipilih dengan sangat selektif, ulama-ulama terkemuka pada waktu itu dan guru-guru besar yang masyhur dan mempunyai kompetensi di bidangnyalah yang dipilih untuk mengajar.[32] Menurut Philip K.Hitti, madrasah Nidzamiyah inilah yang selanjutnya menjadi model lembaga pendidikan di kemudian hari.[33]
Dari penjelasan di atas dapat dilihat multi motivasi yang mendasari sejarah madrasah, yaitu selain motivasi agama dan ekonomi karena terkait dengan ketenagakerjaan, juga motifasi politik. Dengan berdirinya madrasah maka pendidikan Islammemasuki periode baru, yaitu pendidikan memiliki fungsi bagi negara, dan sekolah-sekolah dilembagakan untuk tujuan pendidikan sektarian dan indoktrinasi politik.
PERAN MADRASAH BAGI DUNIA ISLAM
Lembaga pendidikan Islam khususnya madrasah memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mentransfer ilmu pengetahuan.[34] madrasah berupaya untuk menjadi penyeimbang antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum sehingga ummat Islamtidak menjadi korban orang-orang non muslim dalam upaya mereka melemahkan ummat Islammelalui pengetahuan umum. Para lulusan yang dihasilkan madrasah turut pula membawa ilmu pengetahuan dan menjadikan ilmu itu berkembang. Mereka mengembangkan ilmu-ilmu tersebut dalam karirnya di berbagai lembaga maupun dalam kehidupan bermasyarakat.
PERTUMBUHAN MADRASAH DI INDONESIA
1. Pra Madrasah
Sejarah membuktikan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M, tetapi baru dianut oleh para pedagang timur tengah di pelabuhan. Barulah pada abad ke-13 M Islam menyebar luas yang ditandai dengan berdirinya kerajaan Samudera Pasai. Hal ini terjadi akibat arus balik kehancuran Baghdad ibu kota Abbasyiah oleh Hulagu. Kehancuran Baghdad menyebabkan pedagang muslim mengalihkan aktivitas perdagangan ke arah Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara. Bersamaan dengan itu datang para da’i dan para musafir sufi sehingga antara mereka ada hubungan timbal balik sehingga terbentuklah perkampungan muslim.[35]
Pada awal perkembangan Islam di Indonesia, pendidikan Islam dilaksanakan secara informal. Ajaran Islam pada waktu itu dilaksanakan kapan saja dan di mana saja. Para saudagar muslim, di samping mereka berdagang, mereka juga menyiarkan agama Islam. Setiap ada kesempatan mereka memberikan pendidikan dan pengajaran agama Islam.
Pendidikan Islam pada masa pertumbuhannya setidaknya berpusat pada dua tempat. Pertama, surau atau langgar, hampir di setiap desa yang ditempati kaum muslimin mereka mendirikan masjid untuk mengerjakan shalat jum’at, dan juga pada tiap-tiap kampung mereka dirikan surau atau langgar untuk mengaji al-Qur’an dan tempat mengerjakan shalat lima waktu. pendidikan di surau atau langgar ini berfokus pada pengajaran al-Qur’an dan tata cara beribadah sehari-hari. Anak-anak belajar dengan duduk bersila. Mereka belajar pada guru seorang demi seorang dan belum berkelas-kelas seperti saat ini.
Pelajaran awal ialah belajar huruf hijaiyah, baru setelah pandai mereka membaca al-Qur’an. Mereka juga diajarkan tata cara melaksanakan shalat, masalaha keimanan yang lebih dikenal dengan sifat-sifat yang wajib, muhal, dan jaiz bagi Allah dan bagi Rasul. Di pusat-pusat pendidikan seperti ini berkumpul sejumlah murid, besar kecil, tua muda, duduk di lantai menghadap sang guru. Perkumpulan seperti ini lebih dikenal dengan istilah halaqah.[36]
Kedua, pesantren, dalam bangsa Arab lebih dikenal dengan istilah kuttab. Dalam pesantren terdapat seorang kiai yang bertugas mengajar dan mendidik, terdapat santri yang belajar dan memperdalam ilmu agama, terdapat masjid yang digunakan sebagai sarana dan tempat untuk menyelenggarakan pendidikan, adanya pondok sebagai tempat tinggal para santri. Dengan demikian, ciri pondok pesantren adalah adanya kiai, santri, masjid, dan pondok.[37]
Sebagai lembaga pendidikan yang termasuk tertua, model pembelajaran pesantren bersifat nonklasikal yaitu model sistem pendidikan wetonan (halaqah) dan sorogan. Sebagai karakteristik khusus dalam pondok pesantren adalah isi kurikulum yang dibuat terfokus pada ilmu agama, misalnya al-Qur’an, tafsir, hadith, tasawwuf, dan teologi Islam.[38]
Berdasarkan tujuan pendiriannya, pesantren hadir dilandasi minimal oleh dua alasan. Pertama, pesantren didirikan untuk memberikan respon terhadap situasi dan kondisi sosial suatu masyarakat yang tengah dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral. Kedua, untuk menyebarluaskan informasi ajaran tentang universalitas Islam ke seluruh pelosok nusantara yang berwatak pluralis, baik dalam dimensi kepercayaan, budaya maupun kondisi sosial masyarakat.[39]
Pada kurun tersebut dapat dipahami bahwa lembaga pendidikan sebelum madrasah hanya berfokus pada masalah agama. Sehingga pada masa selanjutnya, seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan masuknya orang-orang eropa dengan membawa ilmu pengetahuan “umum” berdampak terhadap kurikulum pesantren itu sendiri, yaitu harus mampu mengimbangi pengetahuan barat dengan cara mengajarkan ilmu-ilmu umum juga.
2. Pertumbuhan dan Perkembangan Madrasah
Lembaga pendidikan Islam ini mulai tumbuh pada awal abad ke-20. Kelahiran madrasah tidak terlepas dari ketidak puasan terhadap sistem pesantren yang semata-mata menitikberatkan agama, di pihak lain sistem pendidikan umum pada waktu itu justru tidak menghiraukan agama. Madrasah mencoba untuk menjembatani antara ilmu pengetahuan agama dengan ilmu pengetahuan umum.[40]
sejarah madrasah pertama kali yang berdiri di Indonesia adalah madrasah Adabiyah di padang yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Pada mulanya madrasah adabiyah ini bercorak agama semata-mata, baru kemudian pada tahun 1915 berubah menjadi HIS (Holand Inland School) Adabiyah. HIS Adabiyah merupakan sekolah pertama yang memasukkan pelajaran umum ke dalamnya.[41]
Bahkan pada perkembangannya mata pelajaran agama dalam kurikulum madrasah ini hanya diberikan dua kali seminggu, selebihnya untuk mata pelajaran umum dan keterampilan membaca, menulis dan berhitung. Karena kualitas pendidikan dan kurikulum pengajarannya, madrasah ini memperoleh pengakuan dari pemerintah Belanda pada tahun 1915. Madrasah Adabiyah terbuka bagi umum sejauh dapat membayar uang pendidikan yang tidak begitu mahal. Oleh karena itu, kalangan pedagang sangat suka dengan madrasah ini sehingga mereka mengirimkan anak anak mereka untuk bersekolah.[42]
Pada masa pemerintahan kolonial belanda, madrasah memulai proses pertumbuhannya atas dasar semangat pembaharuan di kalangan ummat Islam. Latar belakang itu bertumpu pada dua factor. Pertama, pendidikan Islamtradisional kurang sistematis dan kurang memberikan kemampuan pragmatis yang memadai. Kedua, laju perkembangan sekolah-sekolah ala Belanda di kalangan masyarakat cenderung meluas dan membawakan watak sekularisme sehingga harus diimbangi dengan system pendidikan Islamyang memiliki model dan organisasi yang lebih teratur dan terencana. Dengan berbagai variasi, sesuai dengan basis pendukungnya, madrasah tumbuh di berbagai lokasi dalam jumlah yang semakin banyak dari waktu ke waktu.[43]
Pada awal perjalanannya, sejarah madrasah memang menghadapi berbagai rintangan, selain menyangkut pengintegrasian pelajaran agama dengan pelajaran umum, juga menyangkut persoalan kelembagaan dan peningkatan kualitas. Menyadari hal ini, sebagai lembaga pendidikan yang otoritatif, departemen agama (Depag) membuat terobosan-terobosan baru. Pada tahun 1973 Depag mengambil kebijakan-kebijakan penting, di antaranya membenahi kurikulum dan struktur kelembagaan madrasah. Signifikansi kebijakan ini yang pertama adalah madrasah memiliki standar pendidikan berjenjang yang berlaku di setiap madrasah. Kedua, madrasah mempunyai acuan yang detail soal mata pelajaran yang menjadi pedoman dalam proses pembelajaran di madrasah. Ketiga, mata pelajaran umum dan kejuruan di madrasah mendapat landasan formal.[44]
Kemudian dengan lahirnya UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah Indonesia mengintegrasikan madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional, konsekuensinya madrasah dituntut mengadopsi dan menerapkan kurikulum pendidikan umum yang dikeluarkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) yang sekarang menjadi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Konsekuensi berikutnya madrasah pada ketiga jenjangnya, mulai MI, MTs, dan MA, secara substansi berubah wajah yaitu menjadi sekolah umum berciri khas Islam. Bahkan pada tingkat MA madrasah tidak hanya membuka jurusan umum, madrasah secara perlahan dituntut mengadopsi sebagian ciri kurikulum dan mata pelajaran modern, seperti matematika, sejarah, ilmu pengetahuan alam, dan geografi.[45]
*situs: www.rangkumanmakalah.com
DAFTAR PUSTAKA
– Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
– Hasan, Asma, Fahmi, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bulan Bintang,1990.
– Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996.
– Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1999.
– K. hitti, Philiph, History of Arabs, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2013.
– Makdisi, George, The Rise of Colleges: Institution of Learning in Islamic and The West, Edinburg: Edinburg University Press, 1991.
– Maksum, Madrasah Sejarah dan perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
– Maunah, Binti, Tradisi Intelektual Santri, Yogyakarta: Teras, 2009.
– Munjiah, Ma’rifatul, Imla’ Teori & Terapan, Malang: UIN-Malang Press, 2009.
– Nata, Abudin, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
– Shalabi, A, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1973.
– Sunanto, Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, Jakarta : Prenada Media, 2003.
– Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban IslamIndonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005.
– Syafi’i, Muhammad, Antonio, Ensiklopedia Leadership & Manajemen Muhammad Saw “The Super Leadership Manager”, Jakarta Selatan: Tazkia Publishing, 2012.
– Yasin, Fatah, Dimensi Dimensi Pendidikan Islam, Malang: UIN-Malang Press, 2008.
– Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumu Aksara, 1997.
[1] Musyrifah Sunanto, Sejarah IslamKlasik, (Jakarta : Prenada Media, 2003), 14.
[2] Dinamakan Darul Arqam berasal dari nama rumah sahabat Nabi saw Al-Arqam bin Abi Al-Arqam bin Asad Al-Makhzumi ra. Dulu Darul Arqam merupakan pusat da’wah Nabi saw secara tersembunyi. Di tempat ini sahabat Nabi saw berkumpul mempelajari agama dan salat bersama secara sembunyi-sembunyi. Bilangan orang yang masuk Islampada saat itu ada 40 orang. Di tempat tersebut Umar bin Khathab ra masuk Islam.
[3] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan IslamPada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 37.
[4] Ibid., 32.
[5] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumu Aksara, 1997), 89.
[6] A. Shalabi, Sejarah Pendidikan Islam, terj. Muhtar Yahya, (Jakarta : Bulan Bintang, 1973), 45.
[7] Muhammad Syafi’i Antonio, Ensiklopedia Leadership & Manajemen Muhammad Saw “The Super Leadership Manager”, (Jakarta Selatan: Tazkia Publishing, 2012), 42.
[8] George Makdisi, The Rise of Colleges: Institution of Learning in Islamic and The West, (Edinburg: Edinburg University Press, 1991), 19.
[9] Asma Hasan Fahmi, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang,1990), 32.
[10] George Makdisi, The Rise of Colleges, 184.
[11] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, 35.
[12] Imla’ yaitu menyalin huruf hijaiyah dan tanda baca dengan benar sehingga menjadi tulisan yang baik dan benar. (Lihat buku Imla’ Teori dan Terapan hal 21).
[13] George Makdisi, The Rise of Colleges, 195.
[14] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, 92.
[15] Ibid., 93.
[16] Ibid., 79.
[17]Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, 35.
[18]Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, 96.
[19] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, 37.
[20] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, 42.
[21] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, 98.
[22]Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), 105.
[23] Fatah Yasin, Dimensi Dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 257.
[24] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islamdi Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 1999), 160.
[25] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, 53.
[26] A. Shalabi, Sejarah Pendidikan Islam, 144.
[27] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, 102.
[28] Ibid., 101.
[29] Maksum, Madrasah Sejarah dan perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 74.
[30] Ibid., 78.
[31] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, 65.
[32] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, 70.
[33] Philiph K. hitti, History of Arabs, terj. Cecep Lukman Yasin & Dedi Slamet Yasin (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2013), 518.
[34] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, 111.
[35] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban IslamIndonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), 9.
[36] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islamdi Indonesia, 21.
[37] Ibid., 24.
[38]Ibid., 27.
[39] Binti Maunah, Tradisi Intelektual Santri, (Yogyakarta: Teras, 2009), 26.
[40] Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), 66.
[41] Ibid., 69.
[42] Maksum, Madrasah Sejarah dan perkembangannya,102.
[43] Ibid., 114.
[44] Fatah Yasin, Dimensi Dimensi Pendidikan Islam, 261.
[45] Ibid., 262