Lompat ke konten
Home » √ Al – Mutazilah (Abu Huzail, Al-Jubba’i dan Pemikirannya)

√ Al – Mutazilah (Abu Huzail, Al-Jubba’i dan Pemikirannya)

Daftar Isi

Al - Mu’tazilah (Abu Huzail, Al-Jubba'i dan Pemikirannya)
Al-Mu’tazilah (Abu Huzail, Al-Jubba’i dan Pemikirannya)

Tokoh Al Mu’tazilah Paling Berpengaruh

A. Abu Huzail al-‘Allaf

1. Biografi

Al-Mu’tazilah (Abu Huzail, Al-Jubba’i dan Pemikirannya) – Nama lengkapnya Abu Huzail Hamdan ibn Huzzail al-Allaf,ia dilahirkan pada tahun 135 H[1] di Bashrah yang kemudian menjadi pusat pengembangan Mu’tazilah dan meninggal pada tahun 235.Ia banyak membaca buku-buku filsafat Yunani yang memberi pengaruh baginya dalam menyusun dasar-dasar pemikirannya. Ia belajar dengan seorang yang bernama Utsman ibn Khalid ibn Thawil sedang Utsman ibn kholid ibn thowil pernah belajar dengan Washil ibn ‘Atha’ yang menerima ajaran itu dari Abu Hasyim Abdullah ibn Muhammad ibn Hanafiyah.Dikatakan orang ajaran itu diambilnya dari Hasan Bashri[2].Abu Huzail dikenal sebagai anak yang cerdas dan aktif mengikuti acara diskusi-diskusi.Pada umur 15 tahun dia telah sanggup mengalahkan seorang yahudi dalam suatu perdebatan sengit dimana yahudi tersebut telah banyak mengalahkan ulama-ulama Bashrah[3].

Al-‘Allaf menulis dan mengarang banyak buku,sayangnya karya-karya itu tidak terselamatkan dan musnah dimakan zaman.Tetapi Ibn Khalkan menyebutkan satu kitab yang dinisbatkan kepada Abu Huzail yaitu kitab “Milasy”[4].

2. Pemikiran Abu Huzail al-‘Allaf

Al-Mu’tazilah (Abu Huzail, Al-Jubba’i dan Pemikirannya) – Dalam pemikirannya Abu Huzail menjelaskan pendapatnya tentang peniadaan sifat-sifat Tuhan (nafyu al-sifat).Menurutnya ,Tuhan tidak mungkin diberi sifat yang mempunyai wujud sendiri dan melekat pada zat tuhan,karena zat Tuhan bersifat qodim maka apa yang melekat pada zat itu harus bersifat qodim pula.Hal seperti ini akan membawa kepada dua tuhan[5].Abu Huzail dalam menyelaraskan pendapatnya tentang nafyu al-sifat dengan ayat-ayat al-Qura>n yang menyatakan bahwa Allah mempunyai sifat-sifat maka dia berpendapat,apabila dikatakan Allah mengetahui,berkuasa,dan Maha Hidup memang demikian halnya,tetapi dia mengetahui bukan dengan sifat-Nya tetapi Dia mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya adalah zat-Nya,Tuhan Maha Kuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan-Nya adalah zat-Nya[6].

Selanjutnya Abu huzail berpendapat bahwa manusia dengan akalnya dapat dan wajib mengetahui Tuhan,apabila lalai maka wajib diberi ganjaran.Manusia dengan akalnya juga mengetahui yang baik dan yang buruk oleh karena itu ia wajib mengerjakan perbuatan yang baik seperti berbuat adil dan berkata benar,dan wajib menjauhi perbuatan yang buruk seperti berdusta dan berbuat zalim[7].Jadi tanpa wahyu manusia mampu mengetahui adanya Tuhan dan mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.Tetapi bukan berarti tidak membutuhkan wahyu,karena dalam hal tertentu akal manusia ada batasnya.Tuhan menciptakan manusia bukan karena Ia berhajat pada mereka tetapi karena hikmah yang lain.Dan Tuhan tidak menghendaki kecuali hal-hal yang bermanfaat bagi manusia[8].Tuhan wajib mewujudkan yang baik bahkan yang terbaik untuk kemaslahatan manusia.Tuhan sebenarnya dapat berbuat zalim terhadap manusia,tetapi mustahil Tuhan berbuat demikian karena itu akan membawa kepada kurang sempurnanya Tuhan.

Pendapat Abu Huzail tentang tawallud,ia mengatakan bahwa perbuatan yang keluar (tawallud) yang kita ketahui prosesnya,baik itu di dalam maupun di luar diri kita merupakan perbuatan kita,seperti rasa sakit yang diakibatkan oleh pukulan.Sedangkan perbuatan yang prosesnya tidak diketahui seperti rasa,warna,panas dan dingin merupakan perbuatan-perbuatan Allah[9].

Shahrastani dalam kitabnya milal wa nihal menyebutkan beberapa pendapat Abu Huzail yang berbeda dengan rekan-rekannya satu madzhab[10],di antaranya :

  1. Bahwa Allah Maha mengetahui dengan ilmu-Nya,dan ilmu Allah itu adalah Zat-Nya.Qudroh Allah adalah zat-Nya,Hayat Allah adalah zat-Nya.Pendapat ini diambilnya dari filusuf yang mengakui zat Allah Maha Esa yang tak terbilang.Sifat bukan sifat yang berdiri pada zat bahkan sifat adalah zat itu sendiri.Ada perbedaan antara orang yang mengatakan ilmu Allah dengan zat-nya bukan dengan sifat ilmu-Nya,dan antara pendapat yang mengatakan sifat ialah zat-Nya.Yang pertama menolak adanya sifat sementara.kedua menetapkan adanya zat dan zat adalah sifat atau menetapkan sifat itu juga zat.menurut Abu Huzail kalau mengakui sifat itu ada pada zat sama saja mengakui ada oknum2 ketuhanan dalam ajaran nasrani atau mengakui sifat itu adalah hal(yang tidak dapat dikatakan ada dan tidak ada).
  2. Irodah Allah tidak ada tempatnya,Allah hanya menghendakinya.Dia adalah yang pertama mengemukakan masalah ini.
  3. Ada sebagian kalam Allah yang tidak mempunyai tempat seperti “kun”,dan ada sebagian kalam Allah yang mempunyai tempat seperti amr,nahi,berita dansebagainya.menurutnya perintah(amar) menciptakan bukan amar taklifi(pembebanan).
  4. Menurutnya orang yang kekal di dalam neraka adalah berdasarkan taqdir Allah dan tidak ada seorangpun yang dapat mengelaknya.Karena semuanya adalah ciptaan Allah bukan dari akibat perbuatan manusia,karena itu kalau termasuk usaha manusia dapat menghindarinya[11].
  5. Orang yang kekal di dalam neraka tidak menerima perubahan ,kumpulan kebaikan bagi ahli surga,dan kesengsaraan bagi ahli neraka.Pendapat ini mirip dengan pendapat Jahm ibn Safwan yang menurutnya surga dan neraka akan fana juga[12].Bahwa alam seluruhnya baharu,alam atau segala yang bahara ada yang berawal dan ada yang berakhir karena itu keduanya tidak kekal.Setiap yang baharu menerima perubahan tidak statis.
  6. Pendapatnya tentang istitho’ah,bahwa itu adalah aksidensia yang ada pada manusia ia bukan kesehatan dan keselamatan,yang diciptakan Allah pada manusia langsung pada setiap perbuatan yang dikerjakannya.Ia mendahului perbuatan.Abu Huzail membedakan antara keinginan dan perbuatan.Tidak mungkin ada keinginan tanpa diiringi dengan kemampuan pada saat melahirkan perbuatan. dan berikutnya barulah akibat perbuatan itu juga termasuk perbuatan manusia kecuali warna,rasa,bau dan hal-hal yang tidak diketahui hakikatnya.
  7. Orang yang ada sebelum diturunkan wahyu wajib mengenal Allah,dan kalau ia mengabaikannya maka ia akan dikenakan dosa dan siksa.Dan juga orsang yang ada sebelum diangkatnya rasul sudah mengenal baik dan buruk.Maka wajib baginya berbuat baik seperti berlaku benar dan adil dan menjauhi berbuat buruk seperti dusta dan zalim.
  8. Pendapatnya tentang ajal dan rezeki.Ajal manusia tidak bertambah dan berkurang karena itu kalau ia mati terbunuh berarti ajalnya putus dan kalau tidak terbunuh ia akan hidup sampai akhir ajalnya.Rezeki menurutnya ada dua macam.pertama,setiap yang diciptakan Allah yang bermanfaat bagi manusia dapat dikatakan rezeki.Sesuai dengan pendapat ini maka orang yang mengambil manfaat atau memakan sesuatu yang bukan menjadi rezeki manusia maka ia keliru karena telah mengambil sesuatu yang bukan dijadiakan Allah sebagai rezeki baginya.Kedua,barang yang diciptakan Allah tidak semuanya termasuk rezekibagi manusia karena barang yang halal itulah yang menjadi rezeki bagi manusia dan yang haram tidak termasuk rezeki bagi manusia karena Allah melarang untuk mengambilnya.
  9. Ka’bi meriwayatkan dari Huzail yang mengatakan bahwa iradat Allah bukan yang diinginkan Allah,Iradat Allah hanya terjadi pada saat menciptakan.Allah menciptakan sesuatu menurutnya bukan sesuatu itu.katanya Allah selamanya mendengar dan melihat dengan pengertian selagi akan mendengar dan melihat.Demikian juga selamanya Allah mengampuni dosa,kasih sayang,memberikan kebaikan,pencipta,memberi rezeki,memberikan pahala,membalas perbuatan jahat,memerintah,melarang,dan semua ini diartikan selagi akan terjadi.
  10. Juga Ka’bi meriwayatkan dari Huzail yang mengatakan pembuktian terhadap yang hilang tidak akan diterima terkecuali dari dua puluh orang dan dalam kelompok itu ada satu atau dua orang termasuk penghuni surga.Bumi ini tidak pernah kosong dari orang yang seperti itu dan mereka itu adalah wali Allah yang terpelihara dari segala kesalahan(ma’shum),tidak pernah berdusta,tidak melakukan dosa besar,persaksian merka itu menjadi bukti bukan karena banyaknya saksi.Karena mungkin saja dalam satu kelompok berdusta,sedang mereka bukan orang yang dipelihara dari kesalahan tanpa melihat kedapa jumlahnya.Karena kalau tidak ada wali Allah dalam kelompok itu persaksian mereka tidak diterima.

Pendukung Abu Huzail ini diantaranya Abu Ya’kub as-Syaham (267 H) dan al-Adami yang kedua orang ini sependapat dengan Abu Huzail.Usia Abu Huzail mencapai seratus tahun dan ia meninggal pada awal pemerintahan khalifah al-Mutawakkil yang memerintah pada tahun 235 H.

B. Abu ‘Ali al-Jubba’i dan Abu Hasyim al-Jubba’i

1. Biografi

Al – Mu’tazilah (Abu Huzail, Al-Jubba’i dan Pemikirannya) – Nama lengkapnya adalah Abu ‘Ali Muhammad ibn ‘abd al-Wahhab al-Jubbai,ia dilahirkan pada tahun 235 dan wafat pada tahun 303 H.Sebutan al-Jubba’i diambil dari nama satu tempat yaitu Jubba di propinsi Khuzestan (Iran) tempat kelahirannya.

Al-Jubba’i adalah salah satu tokoh besar Mu’tazilah yang juga guru dari Abu Hasan al-‘Asy’ari tokoh utama ahlu al-sunnah.Ia belajar kepada Abu ya’qub al-Syahhab dan mutakallimin lain sezamannya.Ia banyak menulis tentang tantangannya kepada orang-orang yang menolak pendapat Mu’tazilah dan juga tentang tafsir al-Quran.Di antara kitab-kitabnya adalah kitab al-ushul,kitab asma’ wa al-sifat,dan dia juga menulis kitab yang berisikan sanggahan-sanggahan terhadap rekan-rekannya satu madzhab seperti kitab al-makhluk,sanggahan terhadap Abu Huzail[13].

Sedangkan Abu Hasyim al-Jubba’i adalah anak dari Abu ‘Ali al-Jubbai,ia dilahirkan dan dibesarkan di Bashrah.Ia adalah tokoh besar terakhir dari kalangan Mu’tazilah,belajar kepada ayahnya al-Jubba’i kemudian ia pindah ke Bagdad.Di kota ini dia mengenal gerakan filsafat. Ia hidup sezaman dengan al-Farabi.

2. Pemikiran-pemikirannya

Al-Mu’tazilah (Abu Huzail, Al-Jubba’i dan Pemikirannya) – Pendapat Abu ‘Ali tentang sifat Tuhan tidak berbeda dengan pendapat tokoh-tokoh lain yaitu sama-sama tidak mengakui adanya sifat qodim yang melekat pada zat Tuhan yang qodim.Allah mengetahui dengan esensi-Nya,Allah Maha Hidup dan Berkuasa dengan esensi-Nya[14].Dengan demikian,Tuhan untuk mengetahui tidak perlu pada sifat mengetahui dan tidak pula pada keadaan mengetahui.Sedangkan menurut Abu Hasyim,Tuhan mengetahui melalui keadaan mengetahui.Mengetahui bagi Tuhan bukanlah sifat tetapi “hal”[15].Dia berpendapat bahwa ilmu Allah (sifat Maha Mengetahui) dan qudrat (Maha Kuasa) adalah kondisi-kondisi (al-ahwal).Sedangkan kondisi (al-hal) adalah tidak ada dan tidak diketahui tetapi sebenarnya berhubungan dengan Zat[16].

Tuhan samii’ dan bashiir,tokoh-tokoh Mu’tazilah Bagdad berpendapat bahwa Tuhan senantiasa punya pendengaran,penglihatan,mendengar,melihat.Dia mendengar suara dan pembicaraan dan semuanya itu tidak luput dari Tuhan.Dalam hal ini al-Jubba’i berpendapat bahwa Tuhan senantiasa punya pendengaran dan penglihatan,dia menolak pendapat yang mengatakan bahwa Tuhan senantiasa mendengar dan melihat,karena mendengar dan melihat menuntut adanya yang didengar dan yang dilihat.Apabila yang didengar dan yang dilihat itu tidak mesti selalu ada,maka Tuhan juga tidak mesti selalu mendengar dan melihat.Adanya pendengaran dan penglihatan tidak menuntut adanya yang didengar dan yang dilihat,karenanya terhadap orang yang sedang tidur dapat dikatakan bahwa dia punya pendengaran dan penglihatan dan tidak dapat dikatakan senantiasa mendengar dan melihat[17].Dia juga berpendapat bahwa Tuhan tak akan dapat dilihat manusia dengan mata kepalanya di akhirat[18].

Syahrastani dalam kitabnya al-milal wa al-nihal menjelaskan beberapa masalah yang diperselisihkan antara Abu ‘Ali al-Jubba’i dan anaknya dengan rekan-rekannya semadzhab,dan juga beberapa masalah yang diperselisihkan antara Abu ‘Ali dengan anaknya.Beberapa masalah yang diperselisihkan mereka berdua dengan rekan-rekan semadzhabnya antara lain[19] :

  1. Mereka berdua berpendapat bahwa iradat Allah tidak mempunyai tempat(mahal).karena itu dikatakan Allah Maha Berkehendak untuk mengagungkan-Nya namun kehendak-Nya demi mengagungkan zat-Nya maka kehendaknya tidak mempunyai tempat.Dan setiap kehendak yang tidak mempunyai tempat akan fana apabila ia menginginkannya.Karena apabila iradat Allah mempunyai tempat maka tempat itu sudah ada dengan iradat sebelumnya.
  2. Keduanya mengakui bahwa Allah Maha Berkata-kata dan perkataan(kalam) Allah adalah ciptannya yang ditempatkan pada suara dan huruf.Karena itu hakikat kalam menurut mereka adalah terdiri dari suara yang terputus-putus dan terdiri dari huruf-huruf.Karena itu dikatakan mutakallim.Menurutnya Allah menciptakan kalam pada saat orang sedang membaca kalam yang dilahirkan dalam bentuk suara dan huruf.Karena itu apa yang dibaca oleh pembaca bukan kalam Allah karena kalau dikatakan kalam Allah berarti Allah itu sama dengan makhluk dan ini bertentangan dengan ajaran pokok Mu’tazilah.Keduanya sepakat manusia tidak melihat zat Allah di Akhirat dan semua perbuatan yang lahir dari manusia dan maksiat semuanya disandarkan kepada manusia.
  3. Istitho’ah ada sebelum perbuatan karena istitho’ah termasuk kekuatan tambahan karena tubuh sehat dan lengkapnya anggota tubuh.Tubuh sebagai syarat adanya kehidupan.Keduanya sepakat bahwa ma’rifah dan wajib mensyukuri nikmat,mengenal yang baik dan buruk ditetapkan oleh akal.Keduanya menganggap itu apa yang ditetapkan akal dan menolak syariat para nabi.Wahyu hanya menetapkan dari sisi waktunya dan kekalnya.Pendapatnya tentang al-sholah wa al-ashlah adalah bahwa Tuhan wajib berbuat yang baik-baik bagi manusia,Tuhan tidak akan berbuat sesuatu yang merugikan manusia.
  4. Iman menurut mereka adalah nama bagi pujian yang merupakan sifat yang dianggap baik,yang ada pada diri seseorang sehingga ia berhak dinamakan mukmin dan setiap orang yang melakukan dosa besar dinamakan fasik yang bukan termasuk orang mukmin dan bukan pula kafir,dan kalau ia meninggal sebelum bertobat maka ia kekal di dalam neraka.

Tokoh-Tokoh Mu’tazilah dan Pemikirannya dalam kitabnya al-milal wa al-nihal

Al-Syahrastani dalam kitabnya al-milal wa al-nihal menuliskan tokoh-tokoh Mu’tazilah dan juga pemikirannya[20],yaitu :

Al-Nazzam Tokoh Mu’tazilah tahun 235 H

Al-Nazzam adalah salah satu tokoh besar aliran Mu’tazilah yang mendalam pemikirannya,paling berani,paling banyak berpikir merdeka. Dia adalah anak saudara perempuan al-‘Allaf dan juga muridnya sekaligus.Al-Nazzam dilahirkan dan dibesarkan di Bashrah kemudian mengembara di pusat-pusat peradaban Islam dan akhirnya ia menetap di Bagdad.Ia meninggal pada usia antara 60-70 tahun.Di antara pemikirannya :

1) Dia menambahkan pendapat Mu’tazilah yang mengatakan bahwa ketentuan(qadar) baik dan buruk berasal dari manusia.Menurutnya,Allah tidak kuasa untuk menciptakan keburukan dan ma’siat karena hal itu tidak termasuk dalam kehendak Allah.Hal ini berbeda dengan pendapat rekan-rekan sealirannya yang mengatakan bahwa Allah kuasa untuk menciptakannya tetapi Allah tidak melakukanya.Menurutnya,keburukan adalah sifat yang melekat pada sesuatu yang bukan dengan perbuatan Allah dan kemungkinanya terjadi keburukan disandarkan kepada Allah tentunya Allah menjadi buruk,Karena itu keburukan bukanlah ciptaan Allah.

2) Pendapatnya tentang iradat Allah,pada dasarnya Allah tidak mempunyai sifat iradat.Kalaulah dicantumkan dalam al-Quran bahwa Allah mempunyai sifat iradat namun yang dimaksud bahwa Allah adalah Pencipta dan pengatur sesuai dengan ilmu Allah.Kalau Allah mempunyai sifat Maha berkehendak yang dimaksud adalah bahwa Allah yang memerintah untuk berbuat dan dia juga melarang memperbuatnya

3) Mu’jizat al-Quran hanya dari segi berita-berita tentang yang terjadi di masa lampau dan yang akan terjadi di masa yang akan datang.

4) Imamah atau kepemimpinan ditetapkan melalui nash,yakni ditetapkan melalui hadits atau al-Quran atau melalui penunjukan imam yang terdahulu baik secara terus ternag ataupun secara diam-diam.

5) Apabila seseorang mampu berfikir sebelum turunnya wahyu maka ia wajib mengenal Tuhan,karena mengenal tuhan melalui akal dan dalil.Ia juga berpendapat bahwa ukuran baik dan buruk melalui akal.

6) Pendapatnya tentang waad dan waid,siapa yang mencuri dalam jumlah 199 dirham maka ia tidak terhitung orang yang fasik karena jumlah itu kurang dari jumlah nisab zakat sedang nisab zakat adalah 200 dirham ke atas.

Ahmad ibn Khabith (232 H) dan Al-Fadhal al-haditsi (257 H)

Kedua tokoh ini termasuk murid an-Nazham yang banyak mempelajari buku-buku filsafat karena itu pendapatnya mirip dengan pendapat an-Nazham. Namun ada tiga hal tambahan dari pendapat an-Nazham,yaitu :

a) Keduanya mengakui bahwa Isa al-Masih memang Tuhan sebagaimana pendapat orang Nasrani.menurutnya pada hari kiamat nanti dia menghitung segala amal perbuatan manusia.

b) Mereka berdua menganut teori inkarnasi (tanasukh).

c) Mereka menakwilkan nash-nash yang mengandung makna melihat Tuhan di akhirat dengan arti melihat-Nya dengan akal

Bisyar ibn Mu’tamar Tokoh Mu’tazilah tahun 226 H

Dia termasuk tokoh Mu’tazilah yang menganut ajaran tawallud dan sangat fanatik.Ada beberapa pendapatnya yang berbeda dengan rekan-rekannya sealiran,di antaranya :

a) Dia berpendapat bahwa warna,rasa,bau,dan apa saja yang dapat dicapai melalui panca indera ,termasuk penglihatan,pendengaran dan apa saja yang terjadi dari akibat gerak tak langsung disandarkan kepada manusia karena terjadinya dari perbuatan manusia.

b) Istitho’ah atau kemampuan menurutnya bukan hanya fisik tetapi juga termasuk mental.

c) Allah Maha Kuasa,karena itu Allah kuasa menimpakan penderitaan kepada anak kecil.

d) Iradat Allah termasuk perbuatan Allah yang mempunyai dua sisi,sisi sifat dan sisi fi’il.Pertama sisi sifat zat,Allah selamanya dalam keadaan maha berkehendak terhadap apa yang dikehendakinya termasuk perbuatan manusia.Kedua dari sisi sifat fi’il,Apabila Allah berkehendak menciptakan sesuatu dia sendiri yang menciptakannya pada saat terjadinya ciptaan itu bukan sebelum diciptakan.

e) Allah mempunyai sifat kasih sayang (luthf),kalau Allah melahirkan sifat ini niscaya seluruh penghuni bumi beriman.Tetapi tidak wajib bagi Allah untuk melakukannya.Juga tidak wajib bagi-Nya untuk menciptakan kebaikan dan juga memperbuat yang lebih baik.

f) Siapa yang bertobat dari dosa besar kemudian dia mengerjakannya lagi,ia akan disiksa dari perbuatan yang pertama karena yang menjadi syarat tobat yang diterima adalah tidak mengulang kembali.

Mu’ammar ibn ‘Ubbad as-Salma 220 H dan ‘Isa ibn shabih Tokoh Mu’tazilah tahun

226 H

Dia adalah salah seorang murid Bisyar ibn Mu’tamar,karenanya ia banyak belajar kepadanya.Mardar dikenal dengan kehidupan zuhudnya sehingga ia digelari “pendeta Mu’tazilah”.Kendatipun Mardar termasuk tokoh Mu’tazilah namun dalam beberapa masalah ia berbeda pendapat dengan tokoh-tokoh lainnya,di antaranya :

a) Menurutnya Allah kuasa untuk berdusta dan berbuat zalim,namun kalau Allah berdusta atau berbuat zalim maka Dia dapat dikatakan sebagai Tuhan Pendusta dan Tuhan Zalim.

b) Dia sependapat dengan gurunya tentang tawallud dan menambahkan adanya kemungkinan terjadi satu perbuatan dari dua pelaku melalui tawallud.

c) Menurutnya manusia mampu membuat kalimat sefasih al-Quran.Dia juga berpendapat bahwa al-Quran adalah makhluk dan mengkafirkan orang-orang yang berpendapat selainnya.

Tsumamah ibn Asyras an-Namiri Tokoh Mu’tazilah tahun 213 H

Di antara ajarannya adalah bahwa orang fasik yang tetap dalam kefasikannya tanpa bertobat sampai akhir hayatnya akan kekal di dalam neraka.Ia juga berpendapat bahwa orang kafir,musyrik,Nasrani,Yahudi,Zindiq,dan atheis kelak pada hari kiamat akan menjadi tanah seperti juga binatang dan anak orang yang tidak beriman.

Hisyam ibn ‘Amr al-Fuwathi 226 H

Di antara pendapatnya adalah :

a) Allah tidak mempersatukan kaum muslimin tetapi kaum muslimin sendiri yang mempersatukan hati mereka

b) Allah tidak menjadikan orang yang beriman mencintai iman dan tidak pula menghiasi keindahan iman ke dalam hatinya.

c) Allah tidak kuasa menutup hati manusia sehingga tidak dapat menerima kebenaran.

d) Dia mengatakan bahwa surga dan neraka sekarang ini belum ada karena kalau diadakan tidak ada gunanya.

Amr ibn Bahr Abi Utsman al Jahiz

Beberapa pendapat al-Jahizh di antaranya :

a) Menurutnya penghuni neraka tidak akan kekal disiksa di dalam neraka karena penghuni neraka akan berubah menjadi bagian dari neraka itu sendiri.Dia menolak adanya sifat bagi Allah dan mengakui taqdir baik dan buruk berasal dari manusia.

b) Semua ilmu pengetahuan adalah dhoruri yang tidak termasuk usaha manusia.

Husain ibn Abi ‘Amr al-Khayyat dan Abu Qosim ibn Muhammad al Ka’bi

Dia berpendapat bahwa iradat Allah bukanlah sifat yang terdapat pada zat Allah. Yang dimaksud dengan Allah Maha mendengar adalah Allah Maha Tahu atas segala sesuatu yang didengar-Nya.Allah maha Melihat maksudnya Allah Maha Tahu atas segala sesuatu yang dilihat-Nya.Mengenai pendapatnya tentang ru’yat atau melihat Allah itu tidak mungkin atau mustahil.

Terimakasih atas kunjungannya di Al – Mu’tazilah (Abu Huzail, Al-Jubba’i dan Pemikirannya), semoga bermanfaat. Baca juga: Filsafat Ilmu dan Tujuannya

DAFTAR PUSTAKA

Al-‘Asy’ari,Abu Hasan,Maqolat al-islamiyyin wa Ikhtilafu al- Mushallin, (Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyah,1990)

Al-Baghdadi,Abu Mansur,Al-Farqu Baina al-Firoq, (Kairo: Maktabah Ibn Sina)

Al-Syahrastani,Abu al-Fath, Al-Milal wa Al-Nihal, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah,1992)

Badawi,’Abd al-Rahman, Madzahib al-Islamiyyin, (beirut: Dar al-‘Ilmi li al-Malayin,1998)

Subhi,Ahmad Mahmud, Fi ‘Ilmi al-Kalam, (Beirut: Dar al-Nahdhah al-‘Arabiah,1985)

Nasution,Harun, Islam Rasionalis, (Bandung: Mizan,1995)

Nasution,Harun, Teologi islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press,1986)

Al-Fayumi,Muhammad Ibrahim, Al-Mu’tazilah Takwin al-‘Aqli al-‘Arabi, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi,2002)

Madkour,Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1995)

[1] Muhammad Ibrahim al-Fayumi al-Mu’tazilah Takwin al-‘Aqli al-‘Arabi, (Kairo: Dar al-Fikri al-‘Arabi,2002) 190

[2] Abu al-Fath Muhammad ibn ‘Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal,(Beirut: Dar al Fikri al-‘Ilmiah,1992) 44

[3] ‘Abd al-Rahman Badawi,Madzahib al-Islamiyyin, (Beirut: Dar al-‘Ilmi li al-Malayin,1998) 122

[4] Al-Fayumi,al-Mu’tazilah Takwin al-‘Aqli 191

[5] Al-Syahrastani,al-Milal wa al-Nihal 46

[6] Al-‘Asy’ari, Maqolat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, (Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyah,1990) I/245

[7] Al-Syahrastani,al-Milal 52

[8]Al-‘Asy’ari,Maqolat 2/249

[9] Harun Nasution,Islam Rasionalis, (Bandung: Mizan,1995) 169

[10] Al-Syahrastani al-Milal 44

[11] Abu Mansur ‘Abd al-Qohir ibn Thahir ibn Muhammad Al-Baghdadi,al-Farqu Baina al-Firoq,(Kairo: Maktabah Ibn Sina) 113

[12] Al-Baghdadi,al-Farqu 111

[13]Ahmad Mahmud Subhi, Fi ‘Ilmi al-Kalam,(Dar al-Nahdhah al-‘Arabiah,1985) 291

[14]Ibid., 292

[15] Al-Baghdadi Al-,Farqu 182

[16] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Fisafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1995) 58

[17] Badawi,Madzahibul Islamiyyin 291

[18] Harun Nasution,Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press,1986) 49

[19] Al-Syahrastani, al-Milal 67

[20] Ibid.,47


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *