Daftar Isi
A. Sejarah Munculnya Aliran Teologi Ahl Al-Ra’yi
Aliran Teologi Ahl Al-Ra’yi – Secara etimologi ra’yi berarti keyakinan (I’tiqa>d) analogi (qiya>s) dan ijtihad. Dalam kamus The Concise Encyclopedia of Isl{a>m disebutkan:
“Ra’y a legal principle, that of the personal opinion of the jurist, which is the last resort after the Koran, Sunnah and precendents have been exhausted in resolving a legal issue.”[1]
Ra’y berarti sebuah prinsip hukum Isl{a>m yang merupakan pendapat pribadi seorang faqih (ahli hukum Isl{a>m). Ra’y merupakan prinsip hukum yang di bawah al- Qur’an al- Sunnah dan Ijma’ dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul.[2]
Dalam fiqih istilah ra’y diterjemahkan dengan pendapat atau opini. Sebagaimana yang dikutip dari bukunya Harun Nasution yang mengutip dari al- Misbah al- Munir yang mengutip dari Tamhid :
الرَّأْيُ فِى اللَّغَةِ الْعَقْلُ وَ التَّدْبِيْرُ
“Ra’yu pada asalnya berarti akal dan pikiran.”[3]
Menurut Musthofa Abd al-Razaq ra’yu itu bersandar dan bergantung semata pada pendapat akal dalam penentuan hukum Isl{a>m. Jadi ahli ra’yi adalah golongan yang dalam menetapkan hukum atau menjelaskan hukum atas dasar pendapat akal namun masih tetap menggunakan pedoman al-Qur’an dan al-Sunnah.
Menurut penulis, ahl al-Ra’y adalah golongan yang menggunakan akal dalam mengeluarkan ide atau gagasannya yang tidak lepas dari pedoman al-Qur’an dan al-Sunnah dengan melihat konteks situasi dan kondisi yang berlaku saat ini dalam menetapkan sebuah hukum Isl{a>m.
Ahl al-Ra’y adalah sebutan para pakar hukum Isl{a>m yang ditujukan kepada Imam Abu H}ani>fah (Imam H}anafi>) dan para pengikutnya. Seperti, Muhammad bin H}asan, Abu> Yusuf, Zufar bin Hudail dan H}asan bin Ziyad. Penamaan ahl al-Ra’y ini disebabkan karena sikap mereka dalam penggunaan akal dalam berijtihad melebihi sikap yang dianut oleh para ahl al-Hadis.[4]
Dalam berijtihad mereka sering mendahulukan pendapat akal daripada hadis- hadis ah}ad. Mereka sangat selektif dalam menerima hadis- hadis, khususnya bila hadis tersebut termasuk kategori ah}ad. Selain itu, ahl al-Ra’y juga memiliki metode lain dalam ber- istimbat yang dikenal dengan metode istih}sa>n. Penggunaan metode istih}sa>n ini mereka lakukan tatkala metode Qiya>s dipandang tidak mencapai tujuan hukum. Salah satu bentuk metode istih}sa>n yang dilakukan oleh ahl al-Ra’y adalah dengan cara mendahulukan ‘illah (sebab) yang khafi> (samar/ kurang jelas) daripada illah yang jali> (jelas).
Ahl al-Hadis menilai metode istih}sa>n yang dilakukan ahl al-Ra’y berdasarkan hawa nafsu belaka. Dalam hal ini sangat terkenal dengan ucapan Imam Syafi’I yang mengatakan “Man istah}}sana qad sharra’a bi al-Hawa>” (siapapun yang menggunakan istihsa>n, sesungguhnya telah membuat hukum dengan hawa nafsunya).
Mazhab ini muncul diawali oleh Ibnu Mas’ud tatkala menetap di Irak. Di Irak karena sedikitnya hadis yang diketahui maka ketentuan- ketentuan hukumnya banyak diambil dengan menggunakan al-Ra’y. Sehingga muncullah istilah ahl al-Ra’y أَهْلُ الرَّأْيِ)). Selain itu penggunaan akal dalam berijtihad yang dilakukan oleh khalifah ‘Umar bin Khat}t}a>b sangatlah dikagumi oleh Ibnu Mas’ud baik dalam menerapkan hukum yang ketentuannya tidak ada dalam nash maupun yang telah jelas.
Seperti halnya dapat kita lihat dalam sikap Umar dalam fatwa hukumnya tentang orang muallaf (orang yang baru masuk Isl{a>m) yang meminta pembagian zakat kepadanya. Umar melihat bahwa orang tersebut tidak layak untuk mendapat zakat karena orang tersebut tidak dapat dikelompokkan dalam tuntunan ayat. Artinya ‘illah hukum yang ada pada ayat tidak sesuai dengan keadaan orang muallaf yang datang meminta zakat tersebut. Oleh karenanya orang tersebut tidak diberi bagian zakat.
Dari sikap Umar itulah Ibnu Mas’ud mengembangkan pemikirannya di Irak. Kemudian cara berpikir melalui ijtihad inilah yang dikembangkan oleh Ibnu Mas’ud yang kemudian diikuti oleh muridnya Iqlimah bin Qais yang selanjutnya dikembangkan lagi oleh Ibrahim al-Nakha’i dan Himad bin Sulaiman yang merupakan guru dari Imam Abu H}ani>fah. Untuk selanjutnya Irak dikatakan sebagai sekolah al- Ra’yi.
Oleh karenanya ada tiga hal yang menyebabkan kelompok ini dinamakan ahl al-Ra’yi yaitu:
- Pengaruh yang ditinggalkan Ibnu Mas’ud di Irak yang mempunyai kecenderungan penyelesaian masalah dengan ra’yi (hasil pikir) yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi Irak pada masa itu.
- Hadis- hadis Nabi yang sangat sedikit tersebar di Irak, dikarenakan hadis Nabi lebih banyak tersebar di Hijaz.
- Irak adalah daerah yang telah memiliki peradaban yang serba kompleks yang dipengaruhi oleh peradaban dan kebudayaan Persia dan Yunani.
Mengutip dari bukunya Harun Nasution tentang akal dan wahyu dijelaskan bahwa ahl al-Ra’yi berpendapat bahwa Nabi memakai al-Ra’yu tanpa wahyu dalam menentukan hukum shari’at demikian juga sahabat ketika tidak menemukan hukum dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam hadis Mu’adh disebutkan:
اقْضِ بِالْكِتَابِ وَ السُّنَّةِ إِذَا وَجَدْتُهُمَا فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِيْهِمَا اجْتِهِدْ رَأْيَكَ.
“Tentukanlah hukum dengan al-Qur’an dan al-Sunnah jika ada di dalamnya dan jika tidak ada pakailah pendapatmu.” [5]
B. Imam Abu Hanifah
Aliran Teologi Ahl Al-Ra’yi – Imam Hanifah memiliki nama Abu Hanafi al-Nu’man ibn Sabit[6] ibn Zuta[7]. Ia dilahirkan di Kufah, Iraq 80 H/ 699 M, dan meninggal di Baghdad pada tahun 150 H/ 767 M. Dia adalah seorang mujtahid dalam bidang fikih di Irak dan salah seorang dari keempat imam mazhab yang terkenal dalam Islam (Maliki, Syafi’I dan Hambali). Ayah dari Abu Hanifah adalah Sabit yang berasal dari keturunan Persia, beliau pernah diajak berziarah kepada ‘Ali bin Abi T}alib lalu ia didoakan agar dari keturunan Sabit ada yang ahli agama.
Gelar Hanif diberikan kepada beliau karena kesungguhan dalam beribadahnya. Kata Hanif yang berarti suci atau lurus dalam bahasa Arab. Setelah ia menjadi ulama mujtahid maka ia dipanggil dengan Imam Abu Hanifah dan mazhabnya dinamakan mazhab Hanafi. Ia dikenal memiliki akhlaq yang baik, dermawan, rajin dan teliti dalam bekerja. Meski ia putra saudagar kaya namun ia tidak hidup dalam kemewahannya, ia selalu mendermakan hartanya kepada yang membutuhkan.
Imam Abu Hanifah pada masa mudanya memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan terutama dalam hal hukum Islam. Guru- gurunya banyak berasal dari tabi’in. Imam H}ammad bin Abi Sulaiman adalah guru yang terakhir imam Abu Hanifah yang berguru selama + 18 tahun, ia juga berguru kepada ulama Mekkah dan Madinah. Dia memiliki keahlian dalam bidang fikih, hadis, tafsir, sastra Arab dan ilmu hikmah. Menurut imam Syafi’I belaiau adalah bapak dan pemuka seluruh ulama fikih. Beliau juga pernah menjadi mufti di kota Kufah dikarenakan ia lebih menguasai hukum- hukum Islam. Dia dikenal tegas dan keras dalam masalah bid’ah dan digelari ahl al-Ra’yi.
Dalam menetapkan sebuah hukum ia mempunyai landasan yang digunakan, yaitu:
a) Al-Qur’an
b) Sunnah Rasulullah SAW
c) Fatwa- fatwa sahabat
d) Qiya>s
e) Istihs>an
f) Ijma’
g) ‘Urf, yaitu adat yang berlaku di masyarakat Isl{a>m.
Ketujuh landasan di atas dijadikan sebagai “Dasar Mazhab Hanafi>”. Beliau banyak melahirkan sebuah ide dan gagasan baru yang kemudian ditulis oleh murid- muridnya untuk dihimpun dalam sebuah kitab dan Ulama mazhab Hanafi> membaginya menjadi dua yaitiu tingkat Masa>il al-‘Usu>l (masalah- masalah pokok) dan Masa>’il al-Nawa>zi>r (masalah- masalah tentang sesuatu yang diberikan sebagai nadhar).
C. Aliran Mu’tazilah yang dianggap sebagai Aliran Teologi Ahl Al-Ra’yi
Dalam kaitannya dengan teologi, ada dua aliran teologi yang menggunakan ra’yinya yaitu aliran Mu’tazilah dan Maturidiah Samarkand. Menurut pandangan ahl al-Ra’yi ilmu kalam sangatlah penting untuk dipelajarinya karena hal ini dapat memperkuat aqidah dan tauhid kita. Selain itu ra’yi atau akal juga dibutuhkan dalam menakwilkan ayat yang mengandung majaz. Mereka memberikan daya kuat kepada akal manusia. Aliran Mu’tazilah adalah salah satu dari aliran teologi yang dikenal bersifat liberal dan rasional. Ciri khas dari aliran ini adalah lebih mengedepankan dalil- dalil ‘aqliyah dalam pandangan- pandangan teologisnya dan bersifat filosofis, sehingga sering disebut sebagai aliran rasionalis Isl{a>m.[8]
Teologi Ahl Al-Ra’yi Mu’tazilah
Mu’tazilah berasal dari kata I’tazala yang mempunyai makna (naha>’an) yang berarti menjauhkan atau memisahkan diri dari sesuatu. Namun pemberian nama Mu’tazilah ini menurut analisis berawal dari peristiwa yang terjadi antara Was}il bin ‘At}a’ serta temannya yang bernama ‘Amr Ibn ‘Ubaid dan H<}asan al-Bashri> di Bas}rah. Hal ini berawal dari dalam sebuah majelis pengajian, ada orang yang bertanya terkait dengan pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Sebagai reaksi kontroversial antara Khawarij dan aliran Murji’ah.
Khaewarij memandang mereka kafir sedangkan pendapat dari Murji’ah mengatakan kalau orang tersebut mukmin. Ketika itu H<}asan al-Bashri> masih berpikir, kemudian Was}il bin ‘At}a’ mengeluarkan pendapatnya bahwa orang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan juga bukan kafir, tetapi berada di antara dua posisi yaitu tidak mukmin dan tidak kafir yang istilahnya “al-Manzilat bayn al-Manzilatayn”. Kemudian beliau beranjak dari majelis menjauhkan diri dari H<}asan al-Bashri> menuju ke masjid lain. Sesampainya di masjid yang lain beliau mengulangi lagi perkataannya. Kemudian Was}il bin ‘At}a’ membentuk kelompok sendiri yang merupakan cikal bakal dari Mu’tazilah. Dari beberapa ungkapan di atas maka pemimpin tertua aliran Mu’tazilah adalah Was}il bin ‘At}a’
Banyak pendapat yang menjelaskan tentang munculnya nama Mu’tazilah yang ditinjau dari corak politik saja dengan corak politik yang juga menambahkan persoalan- persoalan teologi dan falsafat ke dalam ajaran- ajaran dan pemikirannya. Namun dengan banyaknya asal- usul nama Mu’tazilah tersebut belum ada kata sepakat dari mereka. Diantaranya, al-Mas’udi yang memeberikan keterangan tambahan bahwa tidak mengaitkan pemberian nama itu dengan peristiwa Was}il bin ‘At}a’ dan ‘Amr dari satu pihak dan H<}asan al-Bashri> di pihak yang lain. Akan tetapi mereka dinamakan Mu’tazilah karena munculnya istilah “al-Manzilat bayn al-Manzilatayn”.
Aliran teologi Mu’tazilah lebih mengutamakan kerasionalannya dalam memahami ayat- ayat al-Qur’an dengan menggunakan penafsiran majazi atau metaforis daripada penafsiran lafdzi atau letterlek. Sebagaimana penafsiran ayat- ayat tentang tajsim atau antropomorfis yang terdapat dalam al-Qur’an. Wajah Tuhan ditafsirkan sebagai esensi Tuhan dan tangan tuhan menjadi kekuasaan Tuhan. Begitu juga tentang kekuasaan, kehendak, keadilan Tuhan, perbuatan- perbuatan dan sifat- sifat Tuhan.
Salah satu dari tokoh Mu’tazilah yang cukup terkenal adalah Abu> al-Hudhail al-‘Alla>f.[9] Ia memahami filsafat Yunani dengan baik sehingga ia mudah menerapkan ajaran Mu’tazilah secara filosofis. Kelebihan yang dimilikinya adalah dalam berdialog ia mampu mempertahankan pemikirannya dari serangan kritik orang Nasrani terutama mengenai perbuatan Allah dan perbuatan manusia. Selain itu ada tokoh yang lain yaitu al-Naz}z}a>m, Abu> ‘Ali Muhammad Ibn Abd al- Wahha>b al-Jubba>’i.
Pada awal perkembangannya aliran ini tidak mendapat simpati dari Umat Isl{a>m, khususnya di kalangan masyarakat awam karena mereka sulit memahami ajaran- ajaran Mu’tazilah yang lebih mengedepankan rasio dan filosofisnya. Dari hal inilah kaum Mu’tazilah dipandang tidak teguh terhadap Sunnah Rasulullah SAW dan para sahabat. Namun pada masa Khalifah al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M) salah satu khalifah Abbasiyah, aliran Mu’tazilah mengalami masa kejayaannya. Dan ditetapkan sebagai mazhab resmi Negara. Namun di masa al-Mutawakkil aliran ini mengalami penurunan dikarenakan masyarakat sudah tidak simpatik lagi dan keadaan ini semakin memburuk yang akhirnya mazhab resmi negara digantikan oleh Ash’ariyah.
D. Doktrin Teologi Mu’tazilah tentang Aliran Teologi Ahl Al-Ra’yi
Doktrin dari Mu’tazilah yang sangat terkenal adalah tentang us}u>l al-Khamsah. Kelima ajaran itu adalah al-Tauhid, al-‘Adl, al-Wa’d al-Wa’i>d, al-Manzilat bayn al-Manzilatain dan al-‘Amr bi al-Ma’ru>f wa al-Nahy an al-Munkar. Seputar Aliran Teologi Ahl Al-Ra’yi:
Pertama, mengenai tauhid
Aliran Mu’tazilah meyakini dengan sepenuhnya bahwa Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Esa. Golongan Mu’tazilah menafikan segala sifat yang melekat pada Allah SWT sehingga mereka sering disebut dengan golongan Nafy al-S}ifat. Ini bertentangan dengan sifat- sifat Allah yang disebutkan dalam al-Qur’an. Namun Abu> al-Hudhail -salah seorang tokoh Mu’tazilah- berpendapat Tuhan benar Mengetahui tetapi bukan dengan sifat-Nya namun mengetahui dengan Pengetahuan-Nya dan Pengatahuan-Nya adalah Zat-Nya.
Allah itu Zat yang bisa bersifat qadi>m. Tuhan bagi mereka tetap Maha Tahu, Maha Kuasa, Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat dan sebagainya. Namun kesemuanya itu bukan sifat yang melekat pada Tuhan melainkan Zat-Nya saja. Kaum Mu’tazilah juga membagi sifat Tuhan dalam dua bagian:[10]
1) Sifat- sifat yang merupakan esensi Tuhan dan disebut dengan sifat dhatiah. Seperti halnya sifat al-Wuju>d, al-Qida>m, al-H}aya>t, al-Qudrat.
2) Sifat- sifat yang merupakan perbuatan- perbuatan Tuhan, yang disebut dengan sifat fi’liyah. Sifat- sifat yang mengandung arti fi’liyah Tuhan yakni hubungan antara Tuhan dengan makhluk-Nya seperti al-Ira>dat (kehendak), kala>m (sabda), al-‘Adl (keadilan), dan sebagainya.
Maka dari itu aliran Mu’tazilah sangat berhati- hati dalam menjaga ke-Maha Esaaan Tuhan yang disebut dengan tanzih dalam istilah Arab. Ada sebagian dari golongan Mu’tazilah yang menyatakan bahwa pemberian sifat- sifat kepada Tuhan itu hanyalah sebagai metode dalam meyakinkan manusia kepada Tuhan bukan benar- benar adanya kepada Tuhan.
Kedua, al-‘Adl (paham keadilan)
Ada hubungannya dengan al-Tauhid. Islam telah menegaskan bahwa Allah adalah Maha Adil. Orang Muslim-pun meyakini tentang keadilan Allah ini. Namun dengan al-Tauh}i>d Mu’tazilah ingin mensucikan Allah dari persamaan dengan makhluk sedangkan dalam al-‘Adl mereka ingin mensucikan perbuatan Allah dari persamaannya dengan makhluk. Hanya Allah-lah yang berbuat adil, Dia tidak bisa berbuat z}alim. Sebagaimana dikutip dari Afrizal. M dalam kitab sharh} us}u>l al-Khomsat[11]
إِنَّ اللهَ تَعاَلى عَادِلٌ فَاْلمُرَادُ بِالْعَدْلِ اَنَّهُ لاَ يَفْعَلُ الْقَبِيْحَ اَوْ لاَ يَخْتَارُهُ وَ أَنْ أَفْعَالَه كُلَّهَا حَسَنَةٌ وَلاَ يَخِلُّ بِمَا هُوَ وَاجِبٌ عَلَيْهِ.
Artinya:
“Allah Maha Adil lagi Bijaksana. Yang dimaksud dengan keadilan itu ialah bahwa Tuhan tidak melakukan atau memilih yang jahat, semua perbuatannya adalah baik, dan Dia tidak akan mengabaikan kewajiban-Nya.”
Sehingga muncullah istilah al-S}alah} wa al-As}lah}. Maksudnya, Tuhan wajib berbuat baik bahkan yang terbaik bagi manusia.[12] Faham al-S}alah} wa al-As}lah ini ialah faham lut}f atau rahmat Tuhan. Lut}f yang dimaksud adalah semua hal yang akan membawa manusia kepada ketaatan dan yang akan menjauhkan manusia dari maksiat. Keadilan Tuhan dalam faham Mu’tazilah menggunakan Qadariah artinya bahwa perbuatan manusia diwujudkan oleh Tuhan. Ringkasnya Tuhan wajib memberikan daya pada manusia agar ia dapat mewujudkan perbuatan- perbuatannya.
Ketiga, al-Wa’d al-Wa’id atau janji dan ancaman
Merupakan kelanjutan dari ajaran yang kedua tentang keadilan Tuhan. Tuhan tidak disebut adil jika Ia tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Ringkasnya keadilan Tuhan menghendaki bahwa seorang Mu’min bila telah keluar dari dunia ini dalam keadaan taat dan taubat maka ia berhak mendapatkan pahala dan ‘iwad} namun sebaliknya maka ditempatkan dalam neraka selama- lamanya tapi tetap mendapat siksa yang lebih ringan dari orang kafir yang lainnya. Hal ini senada dengan pendapat seorang tokoh pembaharu Isl{a>m yaitu Muhammad Abduh tentang teologinya keadilan Tuhan. Argumen- argumen yang diberikannya berdasarkan pada pemikiran akal.
Keempat, ajarannya tentang al-Manzilat bayn al-Manzilatain (posisi diantara dua posisi)
Maksudnya, jika seseorang melakukan perbuatan dosa besar maka dia bukan mukmin dan juga bukan kafir melainkan fasik (antara mukmin dan kafir). Karena manusia tidaklah luput dari sutu kesalahan bila dia melakukan kesalahan yang berupa dosa besar maka dia bukan mukmin lagi karena telah menyimpang dari ajaran Isl{a>m dan juga bukan pula kafir karena dia masih mempercayai Allah dan Rasul-Nya. Iman menurut versi Mu’tazilah tidak cukup dengan tas}di>q tetapi harus juga disertai dengan ma’rifah dan ‘amal. Faham ini adalah faham yang pertama kali lahir dikalangan Mu’tazilah yang menjelaskan tentang pelaku dosa besar.
Kelima, al-‘Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar (perintah berbuat baik dan menjauhi yang dilarang).
Menurut mereka akallah yang dapat membedakan baik dan buruknya perbuatan. Dan manusialah yang wajib untuk memilah dan meilihnya. Aliran- aliran yang lain juga berpendapat sama tentang hal ini namun aliran Mu’tazilah memilki perbedaaan dalam pelaksanaannya. Dalam melakukan perintah dan larangan yang harus dijauhi kaum Mu’tazilah berpendapat bila dapat cukup dengan seruan tetapi kalam perlu dengan kekerasan. Dalam sejarah disebutkan bahwa kaum Mu’tazilah pernah melakukan pemaksaan ajaran kepada golongan lain yang dikenal dengan peristiwa mih}nah, yaitu memaksaan pendapat bahwa al-Qur’an adalah makhluk dan diciptakan Tuhan. Oleh karenanya, al-Qur’an tidak qadim. Mereka yang menentang pendapat ini mendapat siksaan.
Di antara ayat- ayat yang dijadikan Mu’tazilah sebagai pegangan terhadap keadilan Tuhan adalah:
Artinya:
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang Telah diusahakannya. Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna. (QS. Al-Najm: 39-41)
Aliran Maturidi sebagai pengikut Abu> H}ani>fah juga banyak menggunakan akal dalam berteologi mereka memiliki pemikiran yang sejalan dengan Mu’tazilah dalam al-Wa’d al-Wa’i>d, persoalan antropomorfisme dan keadilan. Bagi Mu’tazilah akallah yang memiliki peranan penting dan yang mampu mengetahui nikmat Tuhan. Oleh karenanya, akal yang sehat akan mengatakan bahwa nikmat itu semuanya dari Pencipta yaitu Tuhan.manusia juga mengetahui bahwa di dalam dirinya tersusun anggota badan dengan baik dan rapi dan mereka mengetahui siapa yang menyusunnya. Oleh karenanya, akal dapat mendeteksi Penciptaan Yang Maha Kuasa untuk membuat diri manusia itu sempurna.
Demikian ulasan singkat seputar Aliran Teologi Ahl Al-Ra’yi, semoga bermanfaat.
situs: www.rangkumanmakalah.com
DAFTAR PUSTAKA
Dewan Redaksi Ensiklopedi Isl{a>m. 1994. Ensiklopedi Isl{a>m. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Glasse, Cyril. 1989. The Concise Ensyclopedia of Isl{a>m. London: Stacey International
Glasse, Cyril. 1999. Ensiklopedia Isl{a>m Ringkas Terj. Ghufron A. Mas’adi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
M, Afrizal. 2006. Ibn Rushd Tujuh Perdebatan Utama Dalam Teologi Isl{a>m. Jakarta: Erlangga.
Nasution, Harun. 1986. Akal dan Wahyu Dalam Isl{a>m. Jakarta: UI Press.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Isl{a>m. Jakarta: Universitas Indonesia.
Nasution, Harun. 1987. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta: Universitas Indonesia.
Shahrastani Al, Muhammad bin Abd al-Kari>m. 2003. al-Milal wa al-Nih}al Terj.Asywadi Syukur, LC. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Syalabi, A. 2003. Sejarah dan Kebudayaan Isl{a>m Jilid II terj. M. Sanusi Latief. Jakarta: PT. Pustaka al-Husna Baru.
[1] Cyril Glasse, The Concise Ensyclopedia of Isl{a>m (London: Stacey International, 1989), 331.
[2] Cyril Glasse, Ensiklopedia Isl{a>m Ringkas Terj. Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), 341.
[3] Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Isl{a>m (Jakarta: UI Press, 1986), 136.
[4] Dewan Redaksi Ensiklopedi Isl{a>m, Ensiklopedi Isl{a>m Vol. I (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), 78.
[5] Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Isl{a>m…………………, 74.
[6] Dewan Redaksi Ensiklopedi Isl{a>m, Ensiklopedi Isl{a>m Vol.3………., 79
[7] Cyril Glasse, Ensiklopedia Isl{a>m Ringkas………………………., 8.
[8] Dewan Redaksi Ensiklopedi Isl{a>m, Ensiklopedi Isl{a>m Vol.I…………………., 290.
[9] Afrizal. M, Ibn Rusyd Tujuh Perdebatan Utama Dalam Teologi Isl{a>m (Jakarta: Erlangga, 2006), 31.
[10] Harun Nasution, Teologi Isl{a>m (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986), 53.
[11] Afrizal. M, Ibn Rusyd Tujuh Perdebatan Utama Dalam…………………….., 54.
[12] Dewan Redaksi Ensiklopedi Isl{a>m, Ensiklopedi Isl{a>m …………………….., 292.