Daftar Isi
Pengertian Filsafat dan Agama
Pengertian Filsafat
Hubungan Filsafat dengan Agama – Salah satu kebiasaan dunia penelitian dan keilmuan, berfungsi bahwa penemuan konsep tentang sesuatu berawal dari pengetahuan tentang satuan-satuan. Setiap satuan yang ditemukan itu dipilah-pilah, dikelompokkan berdasarkan persamaan, perbedaan, ciri-ciri tertentu dan sebagainya. Berdasarkan penemuan yang telah diverifikasi itulah orang merumuskan definisi tentang sesuatu itu.
Dalam sejarah perkembangan pemikirian manusia, filsafat juga bukan diawali dari definisi, tetapi diawali dengan kegiatan berfikir tentang segala sesuatu secara mendalam.[1] Orang yang berfikir tentang segala sesuatu itu tidak semuanya merumuskan definisi dari sesuatu yang dia teliti, termasuk juga pengkajian tentang filsafat.
Jadi ada benarnya Muhammad Hatta dan Langeveld mengatakan “lebih baik pengertian filsafat itu tidak dibica-rakan lebih dahulu. Jika orang telah banyak membaca filsafat ia akan mengerti sendiri apa filsafat itu.[2] Namun demikian definisi filsafat bukan berarti tidak diperlukan. Bagi orang yang belajar filsafat definisi itu juga diperlukan, terutama untuk memahami pemikiran orang lain.
Dengan demikian, timbul pertanyaan siapa yang pertama sekali memakai istilah filsafat dan siapa yang merumuskan definisinya. Yang merumuskan definisinya adalah orang yang datang belakangan. Penggunaan kata filsafat pertama sekali adalah Pytagoras sebagai reaksi terhadap para cendekiawan pada masa itu yang menamakan dirinya orang bijaksana, orang arif atau orang yang ahli ilmu pengetahuan. Dalam membantah pendapat orang-orang tersebut Pytagoras mengatakan pengetahuan yang lengkap tidak akan tercapai oleh manusia.[3]
Semenjak semula telah terjadi perbedaan pendapat tentang asal kata filsafat. Ahmad Tafsir umpamanya mengatakan filsafat adalah gabungan dari kata philein dan sophia. Menurut Harun Nasution kedua kata tersebut setelah digabungkan menjadi philosophia dan diterjemah-kan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti cinta hikmah atau kebijaksanaan.
Orang Arab memindahkan kata Yunani philosophia ke dalam bahasa mereka dan menyesuaikannya dengan susunan kata bahasa Arab, yaitu falsafa dengan pola fa`lala. Dengan demikian kata benda dari falsafa itu adalah falsafah atau filsaf.[4]
Dalam al-Quran kata filsafat tidak ada, yang ada hanya adalah kata hikmah. Pada umumnya orang memahami antara hikmah dan kebijaksanaan itu sama, pada hal sesungguhnya maksudnya berbeda. Harun Hadiwijono mengartikan kata philosophia dengan mencintai kebijaksa-naan,[5] sedangkan Harun Nasution mengartikan dengan hikmah.[6] Kebijaksanaan biasanya diartikan dengan pengambilan keputusan berdasarkan suatu pertimbangan tertentu yang kadang-kadang berbeda dengan peraturan yang telah ditentukan. Adapun hikmah sebenarnya diungkapkan pada sesuatu yang agung atau suatu peristiwa yang dahsyat atau berat.[7] Namun dalam konteks filsafat kata philosophia itu merupakan terjemahan dari love of wisdom.[8]
Dari pengertian kebahasaan itu dapat dipahami bah-wa filsafat berarti cinta kepada kebijaksanaan. Tetapi pengertian itu belum memberikan pemahaman yang cukup, karena maksudnya belum dipahami dengan baik. Pemahaman yang mendasar tentang filsafat diperoleh melalui pengertian. Karena berbagai pandangan dalam melihat sesuatu menyebabkan pandangan pemikir tentang filsafat juga berbeda. Oleh sebab itu, banyak orang memberikan pengertian yang berbeda pula tentang filsafat.
Herodotus mengatakan filsafat adalah perasaan cinta kepada ilmu kebijaksanaan dengan memperoleh keahlian tentang kebijaksanaan itu.[9] Plato mengatakan filsafat adalah kegemaran dan kemauan untuk mendapatkan penge-tahuan yang luhur. Aristoteles (384-322 sm) mengatakan filsafat adalah ilmu tentang kebenaran.[10] Cicero (106-3 sm.) mengatakan filsafat adalah pengetahuan terluhur dan keinginan untuk mendapatkannya.[11]
Thomas Hobes (1588-1679 M) salah seorang filosof Inggris mengemukakan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menerangkan hubungan hasil dan sebab, atau sebab dan hasilnya dan oleh karena itu terjadi perubahan.[12] R. Berling mengatakan filsafat adalah pemikiran-pemikiran yang bebas diilhami oleh rasio mengenai segala sesuatu yang timbul dari pengalaman-pengalaman.[13]
Alfred Ayer mengatakan filsafat adalah pencarian akan jawaban atas sejumlah pertanyaan yang sudah semenjak zaman Yunani dalam hal-hal pokok. Pertanyaan-pertanyaan mengenai apa yang dapat diketahui dan bagaimana mengetahuinya, hal-hal apa yang ada dan bagaimana hubungannya satu sama lain. Selanjutnya mempermasalahkan apa-apa yang dapat diterima, mencari ukuran-ukuran dan menguji nilai-nilainya apakah asumsi dari pemikiran itu dan selanjutnya memeriksa apakah hal itu berlaku.[14]
Immanuel Kant (1724-1804 M) salah seorang filosof Jerman mengatakan filsafat adalah pengetahuan yang menjadi pokok pangkal pengetahuan yang tercakup di dalamnya empat persoalan : yaitu Apa yang dapat diketahui, Jawabnya : Metafisika. Apa yang seharusnya diketahui ? Jawabnya : etika. Sampai di mana harapan kita ? Jawabnya :Agama. Apa manusia itu ? Jawabnya Antropologi.[15] Jujun S Suriasumantri mengatakan bahwa filsafat menelaah segala persoalan yang mungkin dapat dipikirkan manusia.[16] Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir, filsafat mempermasalahkan hal-hal pokok, terjawab suatu persoalan, filsafat mulai merambah pertanyaan lain.[17]
Ir. Poedjawijatna mengatakan filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka.[18] Titus memberikan definisi bahwa filsafat itu adalah sikap kritis, terbuka, toleran, mau melihat persoalan tanpa prasangka.[19] Selanjutnya dia mengatakan bahwa dalam mendefinisikan filsafat sekurang-kurangnya bertolak dari empat sudut pandang yang saling melengkapi.
Pertama filsafat adalah suatu sikap terhadap hidup dan alam semesta. Dari sudut ini dapat dijelaskan bahwa suatu sikap filosofis adalah sikap berfikir yang melibatkan usaha untuk memikirkan masalah hidup dan alam semesta dari semua sisi yang meliputi kesiapan menerima hidup dalam alam semesta sebagaimana adanya dan mencoba melihat dalam keseluruhan hubungan. Sikap filosofik dapat ditandai misalnya dengan sikap kritis, berfikir terbuka, toleran dan mau melihat dari sisi lain.
Kedua adalah suatu metode berfikir reflektif dan metode pencarian yang beralasan. Ini bukanlah metode filsafat yang eksklusif, tetapi merupakan metode berfikir yang akurat dan sangat berhati-hati terhadap seluruh pengalaman.
Ketiga filsafat adalah kumpulan masalah. Semenjak dahulu sampai sekarang banyak masalah yang sangat men-dasar yang masih tetap tidak terpecahkan, meskipun para filosof telah benyak mencoba memberikan jawabannya. Contohnya apakah kebenaran itu ? apakah keindahan itu, apakah perbedaan antara benar dan salah. ?
Keempat filsafat merupakan kumpulan teori atau sistem-sistem pemikiran. Dalam hal ini filsafat berarti teori-teori filosofis yang beraneka ragam atau sistem-sistem pemikiran yang telah muncul dalam sejarah yang biasanya dikaitkan dengan nama-nama filosof ; seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Agustinus. Mereka sangat berpengaruh bagi pemikiran di masa sekarang. Dari mereka lahir istilah-istilah seperti idealisme, realisme, pragmatisme dan sebagainya.[20]
Kattsoff mengemukakan filsafat, ialah ilmu pengetahuan yang dengan cahaya kodrati akal budi mencari sebab-sebab yang pertama atau azas-azas yang tertinggi segala sesuatu. Filsafat dengan kata lain merupakan ilmu pengetahuan tentang hal-hal pada sebab-sebabnya yang pertama termasuk dalam ketertiban alam.[21] Selain itu filsafat merupakan ukuran pertama tentang nilai filsafat itu dan berakhir dengan kesimpulan yang jika dihubungkan kembali dengan pengalaman hidup sehari-hari, serta peristiwa-peristiwanya menjadikan pengalaman-pengalaman serta peristiwa itu lebih bermakna yang menyebabkan kita lebih berhasil menanganinya.[22]
Selain itu Liang Gie mengemukakan metode yang berbeda dalam pembahasan ini. Ia meninjau filsafat dan segi pelaku filsafat sendiri. Menurutnya pelaku filsafat itu terdiri atas beberapa kelompok, antara lain :
Pertama pengejek filsafat, yaitu orang-orang yang mencemoohkan atau memperolok-olokan filsafat maupun filosof karena ketidaktahuannya.
Kedua peminat filsafat, yaitu seseorang yang sekedar mempunyai arah hidup, pandangan dunia, ukuran moral atau telah membaca karya filsafat sehingga tertarik kepada filsafat.
Ketiga penghafal filsafat, pada umumnya mereka ialah mahasiswa yang kerjanya sehari-hari menghafal buku atau diktat filsafat untuk menghadapi ujian yang diberikan oleh dosennya.
Keempat sarjana filsafat, yaitu mahasiswa yang lulus di perguruan tinggi filsafat dengan memperoleh gelar sarjana atau lainnya.
Kelima pengajar filsafat, yaitu sarjana yang memberikan kuliah dalam mata kuliah filsafat atau salah satu cabangnya di perguruan tinggi.
Keenam pemikir filsafat, yaitu seorang pemikir dalam bidang filsafat, dan itulah yang sebenarnya disebut filosof. Filosof ialah seorang yang senantiasa memahami persoalan-persoalan filsafat dan terus menerus melakukan pemikiran terhadap jawaban-jawaban dari persoalan-persoalan itu dari waktu ke waktu dan diungkapkan dalam bentuk lisan maupun tulisan.[23]
Itulah di antara definisi yang dikemukakan oleh filosof. Perbedaan definisi tentang filsafat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti latar belakang sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Jika disadari, perbedaan pendapat itu adalah wajar karena perkembangan ilmu pengetahuan menimbulkan berbagai spesialisasi ilmu yang sesungguhnya terpecah dari filsafat pada umumnya dan selanjutnya muncullah filsafat khusus, seperti filsafat politik, filsafat akhlak, filsafat agama dan sebagainya.
Dengan demikian diketahui betapa luasnya lapangan filsafat. Tetapi walaupun telah terjadi berbagai pemikiran dalam filsafat yang berbentuk umum menjadi berbagai bidang filsafat tertentu, ternyata ciri khas filsafat itu tidak hilang, yaitu pembahasan bersikap radikal, sistematis, universal dan bebas.
Pengertian Agama
Hubungan Filsafat dengan Agama – Pengertian agama yang paling umum dipahami adalah bahwa kata agama berasal dari bahasa Sansekerta berasal dari kata a dan gama. A berarti “tidak” dan gama “kacau”. Jadi, kata agama diartikan tidak kacau, tidak semraut, hidup menjadi lurus dan benar.[24]
Dick Hartoko menyebut agama itu dengan religi, yaitu ilmu yang meneliti hubungan antara manusia dengan “Yang Kudus” dan hubungan itu direalisasikan dalam ibadat-ibadat.[25] Kata religi berasal dari bahasa Latin rele-gere yang berarti mengumpulkan, membaca. Agama memang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan dan semua cara itu terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Di sisi lain kata religi berasal dari religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaan agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia.[26]Seorang yang beragama tetap terikat dengan hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh agama.
Sidi Gazalba mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata relegere asal kata religi mengandung makna berhati-hati. Sikap berhati-hati ini disebabkan dalam religi terdapat norma-norma dan aturan yang ketat. Dalam religi ini orang Roma mempunyai anggapan bahwa manusia harus hati-hati terhadap Yang kudus dan Yang suci tetapi juga sekalian tabu.[27] Yang kudus dipercayai mempunyai sifat baik dan sekaligus mempunyai sifat jahat.
Religi juga merupakan kecenderungan asli rohani manusia yang berhubungan dengan alam semeseta, nilai yang meliputi segalanya, makna yang terakhir hakikat dari semua itu. Religi mencari makna dan nilai yang berbeda-beda sama sekali dari segala sesuatu yang dikenal. Karena itulah religi tidak berhubungan dengan yang kudus. Yang kudus itu belum tentu Tuhan atau dewa-dewa. Dengan demikian banyak sekali kepercayaan yang biasanya disebut religi, pada hal sebenarnya belum pantas disebut religi karena hubungan antara manusia dan yang kudus itu belum jelas. Religi-religi yang bersahaja dan Budhisme dalam bentuk awalnya misalnya menganggap Yang kudus itu bukan Tuhan atau dewa-dewa. Dalam religi betapa pun bentuk dan sifatnya selalu ada penghayatan yang berhubungan dengan Yang Kudus.[28]
Manusia mengakui adanya ketergantungan kepada Yang Mutlak atau Yang Kudus yang dihayati sebagai kontrol bagi manusia. Untuk mendapatkan pertolongan dari Yang Mutlak itu manusia secara bersama-sama menjalankan ajaran tertentu.
Jadi religi adalah hubungan antara manusia dengan Yang Kudus. Dalam hal ini yang kudus itu terdiri atas berbagai kemungkinan, yaitu bisa berbentuk benda, tenaga, dan bisa pula berbentuk pribadi manusia.
Selain itu dalam al-Quran terdapat kata din yang menunjukkan pengertian agama. Kata din dengan akar katanya dal, ya dan nun diungkapkan dalam dua bentuk yaitu din dan dain. Al-Quran menyebut kata din ada menunjukkan arti agama dan ada menunjukkan hari kiamat, sedangkan kata dain diartikan dengan utang.
Dalam tiga makna tersebut terdapat dua sisi yang berlainan dalam tingkatan, martabat atau kedudukan. Yang pertama mempunyai kedudukan, lebih tinggi, ditakuti dan disegani oleh yang kedua. Dalam agama, Tuhan adalah pihak pertama yang mempunyai kekuasaan, kekuatan yang lebih tinggi, ditakuti, juga diharapkan untuk memberikan bantuan dan bagi manusia. Kata din dengan arti hari kiamat juga milik Tuhan dan manusia tunduk kepada ketentuan Tuhan.
Manusia merasa takut terhadap hari kiamat sebagai milik Tuhan karena pada waktu itu dijanjikan azab yang pedih bagi orang yang berdosa. Adapun orang beriman merasa segan dan juga menaruh harapan mendapat rahmat dan ampunan Allah pada hari kiamat itu. Kata dain yang berarti utang juga terdapat pihak pertama sebagai yang berpiutang yang jelas lebih kaya dan yang kedua sebagai yang berutang, bertaraf rendah, dan merasa segan terhadap yang berpiutang.[29] Dalam diri orang yang berutang pada dasarnya terdapat harapan supaya utangnya dimaafkan dengan arti tidak perlu dibayar, walaupun harapan itu jarang sekali terjadi. Dalam Islam manusia berutang kepada Tuhan berupa kewajiban melaksanakan ajaran agama.
Dalam bahasa Semit istilah di atas berarti undang-undang atau hukum. Kata itu juga berarti menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan[30] dan semua itu memang terdapat dalam agama. Di balik semua aktifitas dalam agama itu terdapat balasan yang akan diterimanya nanti. Balasan itu diperoleh setelah manusia berada di akhirat.
Semua ungkapan di atas menunjuk kepada pengertian agama secara etimologi. Namun banyak pula di antara pemikir yang mencoba memberikan definisi agama. Dengan demikian agama juga diberi definisi oleh berbagai pemikir dalam bentuk yang berbagai macam. Dengan kata lain agama itu mempunyai berbagai pengertian. Dengan istilah yang sangat umum ada orang yang mengatakan bahwa agama adalah peraturan tentang cara hidup di dunia ini. [31]
Sidi Gazalba memberikan definisi bahwa agama ialah kepercayaan kepada Yang Kudus, menyatakan diri berhubungan dengan Dia dalam bentuk ritus, kultus dan permohonan dan membentuk sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu.[32] Karena dalam definisi yang dikemukakan di atas terlihat kepercayaan yang diungkapkan dalam agama itu masih bersifat umum, Gazalba mengemukakan definisi agama Islam, yaitu: kepercayaan kepada Allah yang direalisasikan dalam bentuk peribadatan, sehingga membentuk taqwa berdasarkan al-Quran dan Sunnah.[33]
Muhammad Abdul Qadir Ahmad mengatakan agama yang diambil dari pengertian din al-haq ialah sistem hidup yang diterima dan diridoi Allah ialah sistem yang hanya diciptakan Allah sendiri dan atas dasar itu manusia tunduk dan patuh kepada-Nya. Sistem hidup itu mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk akidah, akhlak, ibadah dan amal perbuatan yang disyari`atkan Allah untuk manusia.[34]
Selanjutnya dijelaskan bahwa agama itu dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk, yaitu agama yang menekankan kepada iman dan kepercayaan dan yang ke dua menekankan kepada aturan tentang cara hidup. Namun demikian kombinasi antara keduanya akan menjadi defi-nisi agama yang lebih memadai, yaitu sistem kepercayaan dan praktek yang sesuai dengan kepercayaan tersebut, atau cara hidup lahir dan batin.[35]
Bila dilihat dengan seksama istilah-istilah itu bermuara kepada satu fokus yang disebut ikatan. Dalam agama terkandung ikatan-ikatan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap manusia, dan ikatan itu mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan sehari-hari. Ikatan itu bukan muncul dari sesuatu yang umum, tetapi berasal dari kekuatan yang lebih tinggi dari manusia.
Hubungan Filsafat dengan Agama
Hubungan Filsafat dengan Agama – Terdapat beberapa asumsi berkaitan dengan hubungan filsafat dengan agama. Asumsi tersebut didasarkan pada anggapan manusia sebagai makhluk budaya. Asumsi pertama, manusia sebagai makhluk budaya mampu berspekulasi dan berteori filsafat yang akan menentukan kebudayaannya, bahkan sampai sadar dan jujur mengakui kenyataan Tuhan dan ajaran agama.
Asumsi kedua kita ini diciptakan oleh Tuhan sebagai suatu yang potensial dapat diperbaiki, diperindah, dan diperkaya, sehingga hidup dan penghidupan ini lebih dapat meningkat harganya untuk dihidupi dan dinikmati. Hubungan agama dengan filsafat dapat dinyatakan sebagai berikut:
- Agama adalah unsur mutlak dan sumber kebudayaan, sedangkan filsafat adalah salah satu unsur kebudayaan
- Agama adalah ciptanya Tuhan, sedangkan filsafat hasil spekulasi manusia
- Agama adalah sumber-sumber asumsi dari filsafat dan ilmu pengetahuan (science) filsafat menguji asumsi-asumsi science
- Agama mempercayai akan adanya kebenaran dan kenyataan dogma-dogma agama, sedangkat filsafat tidak mengakui dogma-dogma sebagai kenyataan tentang kebenaran.[36]
Tabel hubungan Filsafat dengan agama
Agama | Filsafat |
|
|
Dengan memperhatikan spesifikasi dan sifat-sifat di atas, terlihat jelas bahwa peran agama terhadap filsafat ialah meluruskan filsafat yang spekulatif kepada kebenaran mutlak yang ada pada agama. Sedangkan peran filsafat terhadap agama ialah membantu keyakinan manusia terhadap kebenaran mutlak itu dengan pemikiran yang kritis dan logis. Hal ini didukung pernyataan yang menyatakan bahwa filsafat yang sejati itu adalah terkandung dalam agama[37]
Demikian ulasan singkat seputar hubungan filsafat dengan agama. Semoga bermanfaat.
situs: www.rangkumanmakalah.com
DAFTAR PUSTAKA
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis Jakarta: Bumi Aksara,2001
Ahmad Muhammad Abdul Qadir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, terjemahan dari Turuq al-Ta`lim al-Tarbiyah al-Islamiyyah, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1984-1985
Beekman Gerard, Filsafat para Foloosf Berfilsafat, diterjemahkan oleh R. A. Rifai dari Filosofie, Filosofen, dan Filosoferen, Jakarta : Erlangga, 1984
Dardiri H.A., Humaniora, Filsafat dan Logika Jakarta : Rajawali Press, 1986
Gazalba Sidi, Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1978
H.M Rasjidi, Persoalan-Persoalan filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Hadiwijono Harun, Sari-Seri Sejarah Filsafat Barat I, Yogyakarta: Kanisius, 1991
Louis O Kattsoff, Pengantar Filsafat, terjemahan dari Element of Philosophy, oleh Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992
Nasution Harun, Filsafat Agama, Jakarta:Bulan Bintang, 1983
Nasution Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979
S Suriasumantri Jujun, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan, 1995
Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis, Jakarta: Bumi Aksara, 2001
Tafsir Ahmad, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai James, Bandung : Rosdakarya, 1994
Ya`qub Hamzah, Filsafat Agama, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991
[1] Kegiatan berfikir radikal dan mendalam telah dimulai oleh Thales. Filosof alam pertama ini telah berfikir tentang segala sesuatu secara mendalam dengan melihat asal kejadian sesuatu. Kegiatan ini diiringi oleh filosof lain sampai kepada filosof di zaman moderen, yang menggunakan prinsip sama yaitu pembahasan radikal
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai James (Bandung : Rosdakarya, 1994), 8
[3] H.A. Dardiri, Humaniora, Filsafat dan Logika (Jakarta : Rajawali Press, 1986), 9.
[4] Ibid,.8
[5] Harun Hadiwijono, Sari-Seri Sejarah Filsafat Barat I (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 7
[6] Harun Nasution, Filsafat Agama (Jakarta:Bulan Bintang, 1983),9
[7] Lihat al-Quran Surat al-Baqarah, 123, 151, 231, 251.
[8] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai James (Bandung : Rosdakarya, 1994), 8
[9] Hamzah Ya`qub, Filsafat Agama (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1991), 3
[10] Ibid,.3
[11] Ibid,.3
[12] Ibid,.3
[13] Gerard Beekman, Filsafat para Foloosf Berfilsafat, diterjemahkan oleh R. A. Rifai dari Filosofie, Filosofen, dan Filosoferen (Jakarta : Erlangga, 1984), 14
[14] Ibid,. 14
[15] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai James (Bandung : Rosdakarya, 1994), 8
[16] Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta : Sinar Harapan, 1995), 25
[17] Ibid,. 25
[18] Ibid,. 25
[19] Harold Titus H, Persoalan-Persoalan filsafat, terjemahan dari Living Issues in Philosophy, oleh H.M Rasjidi , (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 7
[20] H.A. Dardiri, Humaniora, Filsafat dan Logika (Jakarta : Rajawali Press, 1986), 10-11.
[21] Kattsoff, Louis O, Pengantar Filsafat, terjemahan dari Element of Philosophy, oleh Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), 67
[22] Ibid,. 68
[23] H.A. Dardiri, Humaniora, Filsafat dan Logika (Jakarta : Rajawali Press, 1986), 12
[24] A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis (Jakarta: Bumi Aksara,2001), 125
[25] Dick Hartoko, op. cit. ,hlm. 90.
[26] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979), 10.
[27] Sidi Gazalba, Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), 100
[28] Ibid,. 100
[29] Amsal Bachtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 11
[30] Ibid,. 11
[31] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai James (Bandung : Rosdakarya, 1994), 7.
[32] Sidi Gazalba, Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), 103
[33] Ibid,. 103
[34] Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam, terjemahan dari Turuq al-Ta`lim al-Tarbiyah al-Islamiyyah (Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1984-1985), 8
[35] Sidi Gazalba, Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), 103.
[36] A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis (Jakarta: Bumi Aksara,2001), 127
[37] Ibid,. 126