Lompat ke konten
Home » √ Karakteristik Pendidikan Persaudaraan Sufi, Lengkap!

√ Karakteristik Pendidikan Persaudaraan Sufi, Lengkap!

Daftar Isi

Karakteristik Pendidikan Persaudaraan Sufi. Institusi pendidikan para sufi sebenarnya telah ditemukan di masa-masa awal abad Islam dalam bentuk semacam madrasah. Hal ini terbukti dengan ditemukannya madrasah Hasan al-Bashri di Bashrah, di bawah asuhan Hasan al-Bashri yang lahir pada tahun 21 H/632 M. Kemudian muncul pula madrasah Tasawwuf di Madinah di bawah asuhan Sa’id bin Musayyab (13-94 H). Lalu di Kufah muncul madrasah Sufyan al-Thaury (97-161 H). Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya institusi pendidikan sufi telah ada sejak masa sesudah sahabat dan pertengahan masa tabi’in. Pada masa-masa berikutnya muncul pula tokoh-tokoh sufi ternama misalnya, Sirr al-Saqathy (w. 253 H), Ma’ruf al-Kurkhi (w. 201 H), Harits al-Muhasibi (w. 243 H), Dzu al-Nun al-Mishry (w. 240 H), Abu Yazid al-Basthami (w. 261 H).

Pusat kegiatan sufi pada masa itu biasa disebut dengan khanaqah atau zawiyah (Turki= tekke). Di Afrika Utara, pusat kegiatan sufi disebut ribath sedangkan di India disebut dengan jama’ah khana. menyebutkan Ribath adalah pusat latihan yang berasal dari daerah Arab. Sedangkan di Khurasan disebut khanaqah. Tempat ini merupakan pusat kegiatan kaum sufi maupun tempat pembinaan dan penggemblengan para calon sufi yang diisi dengan kegiatan pendidikan, pelatihan, kajian keagamaan, dan ibadah mahdhah kepada Allah SWT.[1]

Karakteristik Pendidikan Persaudaraan Sufi

Karakteristik Pendidikan Persaudaraan Sufi stik

Karakteristik Pendidikan Persaudaraan Sufi, Lembaga yang dimiliki oleh para kaum sufi di atas, antara lain:

1. Zawiyah

Zawiyah secara literal berarti pojok atau sudut. Istilah ini pada awalnya berkonotasi pada masjid (suatu sudut dalam masjid) di mana orang-orang fakir miskin berkumpul untuk mendengarkan pelajaran dari seorang syaikh. Zawiyah seperti ini terdapat pada masjid ‘Amr ibn ‘Ash di Kairo, namun kemudian lembaga Zawiyah ini tidak hanya terfokus pada pojok masjid, melainkan merupakan suatu bangunan yang berdiri sendiri, di mana seorang syaikh menyebar luaskan ajaran tarekat. Bangunan tersebut lengkap dengan fasilitas dapur dan ruang untuk menyambut para pengunjung. Terkadang Zawiyah ini bermula dari rumah para ulama’ tempat ia mengumpulkan murid-muridnya untuk belajar.

2. Khanaqah

khanaqah merupakan lembaga pendidikan bagi mereka yang ingin menyelami kehidupan sufi. Bila Zawiyah bisa jadi hanya terdiri dari satu gedung kalau memang besar, ataupun merupakan suatu bagian tertentu dari suatu bangunan, sedangkan khanaqah sering berbentuk suatu kompleks yang di dalamnya terdapat kuburan khusus para sufi. Lembaga ini pertama kali muncul pada abad ke-4 H di daerah Khurasan. khanaqah mengalami perkembangan yang pesat pada abad ke-5 H. Orang-orang Saljuklah yang pertama kali memperkenalkan lembaga ini kepada khalayak luas. Dari daerah Khurrasan, khanaqah berkembang ke Baghdad kemudian ke daerah Syiria dan Yerussalem pada abad ke-6 H, dan pada Mamluk khanaqah berkembang di Mesir.

3. Ribath

Berbeda dengan Zawiyah dan khanaqah, ribath dibangun bukan untuk syaikh atau kegiatan tarekat tertentu, melainkan untuk masyarakat umum. Siapa saja boleh untuk beribadah di ribath. Istilah ribath ini pada mulanya dipahami sebagai barak-barak militer didaerah perbatasan. Pada perkembangan berikutnya, ribath dikaitkan dengan tempat orang mengasingkan diri dalam rangka melawan nafsu dalam dirinya dengan jalan beribadah, sehingga al-Makrizi mendefinisikan ribath sebagai rumah para sufi. [2]

Pada mulanya ribath digunakan sebagai benteng pertahanan kaum muslimin terhadap serangan musuh. Ribath banyak dibangun di perbatasan dan dilengkapi dengan menara pengawas. Di dalam ribath tentara muslim melakukan latihan-latihan militer di samping ibadah keagamaan, sehingga ribath mempunyai dua fungsi yaitu sebagai tempat ibadah dan markas tentara (Schacht, 1995: 495). Oleh karena itu, istilah ribath dihubungkan dengan jihad di jalan Allah SWT atau perang suci, yang dalam prakteknya untuk mempertahankan wilayah Islam dari serangan musuh serta memperluas wilayah kekuasaan Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah ribath lebih banyak digunakan sama dengan pengertian zawiyah atau khanaqah. Ribath tidak banyak digunakan untuk latihan militer, tetapi lebih banyak diarahkan kepada latihan spiritual dari aliran tarekat. Kalau pada mulanya ribath berfungsi sebagai tempat ibadah, latihan militer dan markas tentara Islam dalam perkembangan berikutnya ribath lebih merupakan tempat pendidikan calon sufi.

Sebuah ribath yang sangat kuno ditemukan di Teluk Persia, yang cikal bakalnya adalah seorang sufi bernama Abdul Wahid ibn Zayd (w. 177 H/793 M). Ribath ini masih tetap ada sepeninggalnya, bahkan menjadi terkenal. Ribath-ribath lain di bangun selama penyerangan ke Byzantium dan juga Afrika Utara. Sentra-sentra peribadatan juga disebut-sebut orang di Damaskus sekitar 150 H/767 M. Di Ramlah, ibukota Palestina, yang dibangun oleh seorang pangeran Kristen sebelum tahun 800 M.[3]

Konstruksi bangunan ribath biasanya dilengkapi dengan mihrab untuk mengerjakan salat berjamaah dan tempat untuk membaca al-Quran serta mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Namun kontruksi bangunan seperti ini terkadang terpisah walaupun lebih sering memiliki hubungan dengan masjid, dapur luas yang digunakan bersama-sama oleh para murid dan juga tamu dan terkadang juga sekolahan. Kuburan pendiri biasanya berada di tempat yang sama. Syaikh itu sendiri akan tinggal bersama keluarganya di seperempat bagian kompleks dan menemui murid-muridnya pada jam-jam tertentu untuk membimbing kemajuan rohaninya dan mengimami salat lima waktu para jamaahnya. Misalnya yang terjadi di khanaqah Mevlana Muzesi di Konya. Ada juga beberapa khanaqah yang hanya memiliki satu ruangan besar tempat darwisnya tinggal, belajar dan bekerja.[4]

Anggota dari sebuah ribath ini tersusun atas dua kelompok, murid dan pengikut yang tinggal dalam ribath dan memusatkan perhatian pada ibadat, serta pengikut awam yang tinggal di luar serta tetap bekerja dalam pekerjaan mereka sehari-hari, tetapi pada waktu-waktu tertentu berkumpul di ribath untuk mengadakan latihan spiritual.

Para murid diberi tugas yang berbeda-beda di dalam khanaqah sesuai dengan kemajuan rohaninya. Murid yang paling tulus hatinya dapat mencapai jajaran khalifah. Dia dapat tinggal di dalam pesantren untuk menggantikan syaikh kalau beliau meninggal atau dikirim ke luar negeri untuk memperluas dan mengajarkan tarekat. Tentu hal ini dilakukan setelah ia dilantik oleh sang guru dan dipakaikan khirqa atau jubah sufi dengan disertai pemberian ijazah kepadanya dan tidak semua materi bisa diajarkan olehnya tanpa perintah sang pembimbing.

Menurut Maqdisi bahwa pada masanya telah ada kelompok-kelompok sufi. Di Syiraz, misalnya banyak sekali kaum sufi. Mereka melakukan dzikir di banyak masjid setelah shalat Jum’at dan membaca salawat kepada Nabi dari atas mimbar. Sebagai gerakan yang terorganisasi, dia menunjukkan bahwa Karramiyah pada masanya (dia menulis sekitar 975 M) lebih efektif. Mereka memiliki khanaqahkhanaqah di seluruh kawasan Asia yang beragama Islam. Mengenai kegiatan-kegiatan sufi di khanaqah yang didatanginya, maqdisi menyebutkan bahwa dirinya pernah melibatkan diri dalam suatu kegiatan menyanyikan puji-pujian, di kesempatan lain juga ikut berdzikir keras-keras bersama mereka dan juga ikut membacakan puisi kepada mereka. Dari sini kita bisa mengetahui bahwa untuk memperoleh pengetahuan yang memadai seluk beluk kesufian, orang perlu masuk menjadi anggota kelompok sufi.[5]

Di dalam ribath pada masa itu diajarkan berbagai macam kitab yang khusus yang dipergunakan di kalangannya sendiri baik mengenai ilmu fiqh dan ilmu tasawuf, mempunyai dzikir dan doa serta wirid yang khusus pula. Di samping itu, juga ada perjanjian-perjanjian tertentu dari murid terhadap gurunya yang biasa disebut bay’at. Sumber biaya untuk sebuah ribath juga bermacam-macam. Ada ribath yang mendapat bantuan tetap dari pemerintah atau dermawan tertentu, tetapi ada pula ribath yang hidup dari futuh, yaitu tanpa bantuan ataupun tunjangan dari siapa pun. Disebutkan bahwa sebagian ribath atau khanaqah memperoleh biaya hidup yang diperolehnya dari penghasilan waqaf.

Oleh karena itu, bagi mereka yang hidup dari futuh, mereka akan melakukan segenap aktivitasnya dengan biaya mereka sendiri. Sejak Abad ke-11 Masehi, zawiyah-zawiyah dan khanaqahkhanaqah yang menyediakan tempat-tempat peristirahatan sementara bagi sufi yang berkelana telah menyebarkan kehidupan di seluruh wilayah pedesaan dan memainkan peran menentukan dalam pengislaman daerah perbatasan dan wilayah-wilayah non-Arab di Asia Tengah dan Afrika Utara . [6]

C. Karakteristik Pendidikan Persaudaraan sufi

Karakteristik Pendidikan Persaudaraan Sufi – Kumpulan guru sufi bersama murid-muridnya kemudian membentuk pusat-pusat yang dikenal dengan istilah tarekat. Tahap tarekat terjadi pada abad ke-5 Hijriyah, atau abad ke-13 Masehi. Mulai Abad ke-6 Hijriyah, tasawuf telah menjadi lembaga yang memiliki aturan-aturan, prinsip dan sistem khusus, setelah sebelumnya ia hanya dipraktekkan sebagai kegiatan pribadi-pribadi di sana sini tanpa adanya suatu ikatan tertentu. Pada tahap ini pula muncul pusat-pusat tasawuf yang mengajarkan ajaran-ajaran tertentu dalam tasawuf dengan menyertakan silsilah masing-masing ajaran. Periode ini sejumlah pribadi sufi bergabung dengan seorang guru dan tunduk di bawah aturan-aturan terinci di jalan rohani. Mereka hidup di berbagai sentra zawiyah, ribath dan khanaqah atau berkumpul secara teratur dalam acara-acara tertentu dan mengadakan pertemuan ilmiah serta rohaniah yang teratur. [7]

Ada tiga jalur yang dapat ditunjukkan guru sufi kepada calon pengikut. Dalam sistem pengajaran sufi pada umumnya, pertama, pemula menjalani suatu masa percobaan selama 1001 hari, dalam rangka menilai dan meningkatkan kemampuannya menyerap instruksi. Kedua, guru sufi menerima langsung calon murid tanpa menyuruhnya menghadiri majelis-majelis umum di kelompok atau lingkaran (halaqah) sufi, dan memberinya latihan-latihan khusus yang dijalankan bersamanya dan secara mandiri. Ketiga, Setelah menilai kemampuan-kemampuan murid, guru sufi menerimanya secara formal namun mengirimkan ke guru lain yang secara lebih langsung bermanfaat baginya.[8]

Sejak abad ke-12 M sampai awal abad ke-13 M sentra-sentra sufi tertentu berubah menjadi sebuah institusi-institusi tarekat yang dimaksudkan untuk melestarikan namanya, gaya pengajarannya, latihan-latihan mistiknya, serta aturan kehidupan yang digariskannya. Kepemimpinan dalam sentra tersebut diwariskan melalui mata rantai silsilah atau isnad sufi.[9] Tarekat-tarekat tersebut tampak jelas sebagai institusionalisasi ajaran tasawuf yang dikembangkan dalam ajaran praktis-sufistik kepada murid-murid tarekat. Dalam ilmu tasawwuf, meliputi segala aspek ajaran Islam seperti: ajaran salat, puasa, zakat, haji, jihad dan sebagainya. Akan tetapi, semua itu terikat dengan tuntutan dan bimbingan seorang syaikh sesuai dengan pengamalan dan pengalaman syaikh tarekat masing-masing.

Tahap perkembangan berikutnya dalam kelembagaan sufi adalah tahap thaifah. Tahap ini terjadi pada abad ke-15 Masehi. Dalam tahap ini terjadi transmisi ajaran dan peraturan kepada pengikut. Pada tahap ini muncul organisasi-organisasi tasawuf yang mempunyai cabang-cabang di tempat lain. Pemujaan kepada syaikh sudah menjadi kebiasaan. Di sini pula tasawuf telah mengambil bentuk kerakyatan. Pada tahap thaifah inilah thariqah mengandung arti lain yaitu organisasi sufi yang melestarikan ajaran syaikh tertentu dan terdapatlah tarekat-tarekat, seperti tarekat Qadiriyah, tarekat Naqshabandiyah, tarekat Shadhiliyah dan lain sebagainya.

Dari uraian di atas bisa kita ketahui bahwa munculnya institusionalisasi tasawuf dalam bentuk tarekat, membawa arah pengembangan intelektual yang berbeda. Perkembangan tasawuf yang masih bersifat personal lebih berdampak positif bagi pengembangan intelektual keislaman, sementara institusionalisasi dalam bentuk tarekat cenderung menjadikan keharusan bertaklid di kalangan murid kepada teori dan formulasi tertentu yang bersifat doktrinal oleh para syaikh tarekat.

Karakteristik Pendidikan Persaudaraan Sufi – Tersebarnya para alumnus dari masing-masing institusi tarekat yang mendapatkan ijazah untuk meninggalkan ribath gurunya dan mendirikan ribath tersendiri di daerah lain, menjadikan banyak cabang ribath-ribath baru berdiri di berbagai daerah. Dan ini menyebabkan tidak adanya kreasi baru oleh masing-masing pemimpin ribath (murshid). Formulasi ajaran tasawuf yang dikemas oleh syaikhnya masing-masing akan diamalkan apa adanya secara ketat tanpa adanya penambahan keilmuan sedikit pun. Karena penambahan atau pengurangan akan dianggap sebagai sebuah kedurhakaan, dan ini akan berakibat fatal menyebabkan ilmu yang didapatnya tidak bermanfaat.

Pesatnya pengembangan dan perluasan jaringan institusi tarekat hanyalah dari segi kuantitas. Sedangkan segi kualitas keilmuannya nyaris tak beranjak sedikit pun. Nuansa taklid guru semakin kuat dan terlestarikan sedemikian ketat. Berbeda halnya dengan perkembangan tasawuf yang masih bersifat personal. Di sana arah pengembangan intelektual muslim lebih mengedepan. Sementara institusionalisasi tasawuf dalam bentuk tarekat justru menjadikan stagnasi intelektual dan budaya taklid kian menguat.

Di kalangan Sufi, seorang guru, syaikh, mursyid, murad, atau pir , adalah hal yang sangat tidak bisa ditinggalkan. Peran dan fungsi seorang guru sufi adalah sangat besar. Seorang salik (penempuh jalan menuju Allah) tidak akan bisa mencapai tingkat sipiritualitas pada tingkatan yang lebih atas atau lebih tinggi, tanpa adanya bimbingan dan tuntunan seorang guru sufi (syaikh, mursyid, murad, atau pir). [10]

Hubungan antara syeikh dan para saliknya dalam sebuah tarekat bagaikan hubungan antara Nabi Muhammad dengan sahabatnya. Adab salik terhadap syeikh dalam sebuah tarekat digambarkan seperti mayat dan yang memandikannya. Salik didepan gurunya agar bersikap bagaikan mayat, yang berada di tangan orang yang sedang memandikannya. Salik tidak boleh menyisakan suatu prasangka buruk atau keraguan terhadap gurunya itu.

hampir seluruh tarekat memiliki pranata dalam bentuk ajaran seperti baiat, tawajuh, khalwat, dan dzikir.[11] Pranata dan ajaran tarekat itu kemudian membentuk suatu orde keagamaan yang membentuk struktur kehidupan komunitas penganut tarekat yang ketat dan kuat. Selain itu juga jika dilihat lebih lanjut, dapat diketahui bahwa di dalam organisasi tarekat terdapat sejumlah komponen yang meliputi: guru, murid, amalan, zawiyah (khanqah atau ribath) dan adab.[12]

Demikian ulasan singkat seputar Karakteristik Pendidikan Persaudaraan Sufi. Baca juga: Sejarah Tasawuf Amali, semoga bermanfaat.

Daftar Pustaka

Hery, Musnur, Epistemologi Pendidikan Islam:Melacak Metodologi Pengetahuan Perguruan Tinggi Islam Klasik, Jurnal Insania, Vol. 13|No. 3|P3M STAIN Purwokerto | 1 Sep-Des 2008|453-473.

Huda, Sokhi Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah, Yogyakarta: LKiS. 2008.

Jamil, M. Muchsin Tarekat dan Dinamika Sosial Politik: Tafsir Sosial Sufisme Nusantara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005.

mulyati, Sri Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Kencana. 2004.

Schimmel, Annemarie, Mistical Dimensions of Islam, USA: The University of North Carolina Press. 1975.

Trimingham, J. Spencer The Sufi Orders In Islam, London: Oxford University Press, 1971.

[1] J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders In Islam (London: Oxford University Press, 1971), 5.

[2] Musnur Hery, Epistemologi Pendidikan Islam:Melacak Metodologi Pengetahuan Perguruan Tinggi Islam Klasik, (Insania, Vol. 13|No. 3|P3M STAIN Purwokerto | 1 Sep-Des 2008|453-473), 11

[3] Trimingham, The Sufi Orders, 5

[4] Annemarie Schimmel, Mistical Dimensions of Islam (USA: The University of North Carolina Press. 1975), 232

[5] Trimingham, The Sufi Orders, 6-7.

[6] Trimingham, The Sufi Orders, 9

[7] Sri mulyati, Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Kencana. 2004), 6

[8] Annemarie Schimmel, Mistical Dimensions, 234-235.

[9] M. Muchsin Jamil, Tarekat dan Dinamika Sosial Politik: Tafsir Sosial Sufisme Nusantara (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 53

[10] Sokhi Huda,Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidiyah (Yogyakarta: LKiS. 2008), 65

[11] Muchsin Jamil, Tarekat dan Dinamika Sosial, 41-42

[12] Sokhi Huda,Tasawuf Kultural, 64


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *