Lompat ke konten
Home » √ KHULAFAUR RASYIDIN (Pembahasan Lengkap dari A – Z)

√ KHULAFAUR RASYIDIN (Pembahasan Lengkap dari A – Z)

Daftar Isi

khulafaur rasyidin
khulafaur rasyidin

A. Latar Belakang

Islam lahir ditengah-tengah masyarakat dengan membawa undang-undang baru sebagai pedoman dasar tentang ketauhidan dan kemasyarakatan, bagi pengaturan tingkah laku manusia dalam kehidupan dan pergaulannya. Selanjutnya, pedoman dasar tersebut menjadi pijakan bagi pengembangan sistem sosial, ekonomi, politik dan budaya. khulafaur rasyidin.

Sejarah telah mencatat bahwa nabi Muhammad telah berhasil merealisasikan pedoman dasar tersebut sebagai formasi dan karateristiknya di dua tempat, yaitu Mekkah dan Madinah, salam kurang lebih dua puluh tiga tahun.[1]

Setelah nabi wafat di Madinah pada tahun 11 Hijriyah (632 M), tugas-tugas agama dan kenegaraan dilanjutkan oleh para penggantinya (khulafa). Empat khalifah dalam sejarah dikenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin, yang berarti khalifah-khalifah yang terpercaya atau mendapat petunjuk, suatu gelar yang berkaitan dengan kepemimpinan dan kapasitas mereka sebagai kepala negara dan pemimpin agama dalam mempertahankan kemurnian ajaran agama Islam dalam aspek kehidupan sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah saw. dalam mewujudkan kemaslahatan ummah.

Pada periode khulafaur rasyidin ini, prinsip-prinsip dasar pemerintahan yang menjadi landasan dan kompas dalam menjalankan roda pemerintahan tidak berbeda dengan pada msa Rasulullah, terutama pada masa Abu Bakar yang nyaris tidak ada perubahan sama sekali. Jelasnya, para khalifah ini tetap berpegang teguh pada kitab Allah dan sunnah Rasul sebagai sumber hukum islam dan pijakan dalam menjalankan tugas pemerintahan pada masa kekhalifah sampai akhir jabatan mereka.

BAB II PEMBAHASAN Khulafaur rasyidin

A. Hakikat Khilafah pada khulafaur rasyidin

Doktrin mengenai khilafah[2] disebutkan dalam al-Qur’an ialah bahwa segala sesuatu di atas bumi ini baik berupa daya atau kemampuan yang dimiliki manusia, hanyalah karunia dari Allah. Dan Allah dengan karunia dan pemberian-pemberian yang dilimpahkan menjadikan manusia sebagai mahluk yang berkedudukan[3]. Berdasarkan hal ini, maka manusia bukanlah penguasa dan pemilik dirinya sendiri, tetapi ia hanyalah khalifah atau wakil Sang Pemilik yang hakiki.[4]

30. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”[5](QS. Al-Baqarah: 30)

14. Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.[6] [7](QS. Yunus: 14)

69. Apakah kamu (tidak percaya) dan heran bahwa datang kepadamu peringatan dari Tuhanmu yang dibawa oleh seorang laki-laki di antaramu untuk memberi peringatan kepadamu? dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. [8](QS. Al-A’raf: 69)

74. Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ‘Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.[9] (QS. Al-A’raf: 74)

B. Khalifah Kolektif pada khulafaur rasyidin

Dalam Islam, yang diserahi khalifah bukan perorangan, keluarga atau suatu suku tertentu, melainkan komunitas secara keseluruhan[10].

55. Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik. (An-Nur:55)[11]

Menurut ayat ini, setiap individu di dalam kelompok kaum muslimin adalah sekutu dalam kehidupan yang saling menguatkan antar satu dengan lainnya. Dengan demikian tidak seorang atau suatu sukupun yang mengklaim bahwa khalifah Allah hanya dikhususkan baginya, atau bagi suatu kaum. Inilah yang mengarahkan khalifah Islamiyah kearah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan asasi antara demokrasi Islam dengan demokrasi Barat_yaitu dasar pemikiran demokrasi Barat bertumpu atas prinsip kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat[12]. Adapun demokrasi dalam khalifah Islamiyah rakyat mengakui bahwa kekuasaan tertinggi ada ditangan Allah dan, dengan suka rela serta atas keinginannya sendiri, menjadikan kekuasaannya dibatasi oleh batas-batas perundang-undangan Allah SWT.

C. Batas Ketaatan Dan Musyawarah pada khulafaur rasyidin

Rakyat wajib menaati negara yang ditegakkan dengan melakukan sistem khalifah dalam hal-hal yang ma’ruf dan tidak ada kewajiban taat kepadanya atau membantunya di dalam soal-soal maksiat.[13]

2. Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (al-Maaidah:2)[14]

24. Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antar mereka. (al-Insan: 42)[15]

Untuk melaksanakan tugas negara secara sempurna, maka mula-mula harus didirikan dan disusun batu bata pertama, kemudian memiliki kepala negara dan pejabat yang bertanggung jawab. Setelah itu, menyusun perundang-undangan dan perkara-perkara eksekutif, baik dipilih secara langsung atau dengan cara memilih para wakil rakyat dalam suatu sistem pemilihan yang benar.[16]

38. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (As-Syuraa: 38)[17]

D. Sifat-Sifat Ulil Amri pada khulafaur rasyidin

Demi terlaksananya tatanan negara dengan baik, ada beberapa kriteria yang yang harus diperhatikan dalam memilih Ulil Amri, sebagai berikut:

Mereka harus orang-orang yang benar-benar percaya dan menerima baik prinsip tanggung jawab pelaksanaan khilafah sesuai dengan yang diserahkan kepada mereka.[18]

59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Annisa’: 59)[19]

16. Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan, sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (At-Taubah: 16)[20]

Mereka tidak boleh terdiri dari orang yang dzalim, fasik, kafir (orang yang melakukan zina dan sebagainya), lalai akan Allah dan melanggar batasan-batasannya, tetapi mereka harus terdiri dari orang-orang mukmin yang bertakwa dan beramal sholeh.

28. Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang- orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat ma’siat? (QS. shaad :28)[21]

28. Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. (al-Kahfi 28)[22]

13. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (al-Hujaraat:13)[23]

Mereka tidak boleh terdiri dari orang-orang bodoh dan dungu, tetapi haruslah orang-orang berilmu, berakal sehat, memiliki keceredasan, kemampuan intelektual untuk menjalankan roda khalifah dan memikul tanggung jawabnya.

20. Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya hikmah[1301][24]dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan. (QS.shad:20)[25]

55. Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan” (QS.yusuf:55)[26]

Mereka itu haruslah orang-orang yang amanah, sehingga dapat memimikul tanggung jawab yang diamanahkan kepadanya.

58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. (an-Nisaa’ :58)[27]

E. Dasar-Dasar Pemerintahan Dalam Islam pada khulafaur rasyidin

Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas yang membedakan sistem negara Islam dengan yang lainnya[28] ialah:

  1. Kekuasaan perundang-undangan Ilahi.
  2. Keadilan antar manusia.
  3. Tanggung jawab pemerintah.
  4. Permusyawarahan.
  5. Ketaatan dalam kebajikan.
  6. Berusaha mencari kekuasaan untuk diri sendiri adalah terlarang.
  7. Tujuan adanya negara.
  8. Persamaan antar kaum muslimin.
  9. Amar ma’ruf nahi mungkar

F. Al- Khulafaur Rasyidin

Itulah prinsip-prinsip dasar pemerintahan yang menjadi tumpuan dan arah sistem pemerintahan dalam masa Nabi Muhammad saw., dan itu pula prinsip-prinsip dasar yang menjadi tumpuan pemerintahan para khulafaur rasyidin sepeninggal beliau.

Walaupun sebelum wafat nabi tidak menunjuk seorang khalifah (pengganti) beliau, namun tokoh-tokoh dalam masyarakat muslim mengerti bahwa Islam menuntut terbentuknya kekhalifahan di dasarkan musyarawah. Maka, ketika itu, massa rakyat, dengan suka rela, telah memilih empat dari “sahabat nabi” untuk diangkat sebagai khalifah-khalifah secara bergantian.

1. Khalifah Berdasarkan Pemilihan

Ketika nabi wafat, kaum muslimin menjadi resah, setelah melalui proses perdebatan dan permusyawaran panjang, akhirnya kaum muslimin memilih Abu Bakar as-Shiddiq[29] untuk menduduki jabatan khalifah menggantikan nabi. Penduduk kota Madinah yang pada hakikatnya merupakan wakil-wakil negeri secara keseluruhan menerima dengan baik terhadap kekhalifahan Abu Bakar. Mereka mem-bai’at-nya dengan suka rela dan atas dasar pilihan mereka, tanpa paksaan atau tekanan, ikrarpun dilakukan.

Setelah selesai ikrar Abu Bakar menyampaikan sebuah pidato yang didengarkan oleh semua kaum muslimin. Sebuah pidato yang dapat dipandang sebagai contoh yang bijaksana dan sangat menentukan[30]. Ia mengajak kaum muslimin untuk bersatu dan saling membantu dengan tulus serta tunduk kepada khalifah dalam kebaikan.[31]

Sebelum Abu Bakar meninggal dunia, ia mewasiatkan khilafah bagi Umar r.a., dengan mengumpulkan penduduk di masjid Nabi saw., kemudian berkata: “apakah kalian menyetujui orang yang kutunjuk untuk menggantikan kedudukanku sepeninggalku? Sesungguhnya aku, demi Allah, telah sungguh-sungguh berdaya-upaya memikirkan tentang hal ini dan aku tidak akan mengangkat seorang sanak keluargaku, tapi aku telah menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantiku. Maka dengarlah dan taatlah kepadanya. Orang banyakpun berkata: “Sami’na wa atha’na” (“Kami dengar dan kami taat”)

Setelah Abu Bakara meninggal dunia, Umar menjadi khalifah kedua. Umar memerintah selama sepuluh tahun (13-23H/634-44M). Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh seorang budak dari Persia bernama Abu Lu’luah[32]. Abu Lu’ah ini ditawan oleh tentara Islam di Nahawan, dan kemudian menjadi hamba sahaya dari Mughirah ibnu Syu’bah[33]. Untuk menentukan penggantinya ia mengangkat panitia pemilihan kekhalifahan dan Umar mengeluarkan suatu keputusan mengecualikan puteranya sendiri dari hak untuk meraih khalifah agar jabatan itu tidak menjadi jabatan yang diwariskan. Dan ia telah menunjuk enam orang dalam panitia pemilihan itu yang menunrut pandangannya adalah orang-orang yang paling besar pengaruhnya dan paling dapat diterima masyarakat.[34]

Melalui panitia pemilihan ini bersama kaum muslimin lainnya akhirnya diputuskan bahwa khalifah pengganti adalah Utsman bin Affan dan iapun di bai’at dihadapan orang banyak dalam suatu pertemuan umum.

Setelah Utsman dibunuh, orang banyak hendak mengangkat Ali bin Abi Thalib. Atas persetujuan tokoh-tokoh ahli syura bersama kaum muslimin maka Ali diangkat sebagai khalifah yang keempat. Dan ketika Ali hampir meninggal, orang banyak bertanya kepadanya, apakah Ali akan menenggalkan pesan untuk mem-bai’at Hasan? Ia menjawab, “Tidak, aku akan meninggalkan kamu (tanpa satu pesan) sebagaimana rasulullah telah meninggalkan para sahabatnya.”[35]

2. Pemerintah Berdasarkan Musyawarah pada khulafaur rasyidin

Keempat khalifah di atas itu tidak memutuskan suatu perkara yang berkaitan dengan pengaturan pemerintah atau perundang-undangan ataupun lain-lainnya kecuali dengan bermusyawarah dengan kaum cendikiawan di antara kaum muslimin.

Mengenai musyawarah, khulafaur rasyidin berpendapat bahwa tokoh-tokoh syura, yakni orang yang patut dimasukkan ke dalam anggota permusyawaratan, memiliki hak penuh untuk menguraikan pendapat mereka dengan kebebasan yang sempurna. Hal ini bisa dibaca dalam pidato Umar bin Khattab: “Aku tidak mengumpulkan kamu sekalian melainkan agar kamu dapat bersama-sama memikul amanah yang dipikulkan padaku dalam urusanmu, sebab aku hanyalah orang seperti kamu sekalian, dan sekarang kamu dapat memutuskan kebenaran, baik aku ditentang oleh siapapun yang menentangku atau disetujui oleh siapa saja yang menyetujuiku, dan aku sekali-kali, tidak mempunyai keinginan agar kamu mengikuti hawa nafsuku dalam hal ini.”[36]

3. Kekuasaan Undang-Undang pada khulafaur rasyidin

Para khalafaur rasyidin tidak pernah menempatkan diri mereka di atas hukum. Artinya, sekalipun mereka khalifah tetapi mereka “tidak kebal hukum.” Mereka juga tidak memberikan sanak kerabat mereka suatu kekuasaan yang lebih tinggi dari pada undang-undang dan mereka dihadapan hukum sama seperti rakyat yang lain, baik kaum muslimun maupun non muslim.

Untuk menegakkan hukum negara, para khalifah mengangkat hakim-hakim dan setelah diangkat setiap hakim bebas melaksanakan tugasnya menegakkan kebenaran dan keadilan, para hakim memperlakukan para khalifah seperti salah seorang rakyat awam, dan mengadili mereka apabila perkara yang dihadapkan pada melawan mereka.[37]

Sebagai contoh, Umar r.a pernah bertengkar dengan Ubai bin Ka’ab karena suatu masalah dan mereka pun pergUmar r.a pernah bertengkar dengan Ubai bin Ka’ab karena suatu masalah dan mereka pun pergi menghadap Zaid bin Tsabit. Dalam menangani masalah tersebut Zaid ragu dan sungkan dalam menghadapi dan memproses Umar secara hukum. Karena sikapnya itulah Umar mengumumkan bahwa Zaid tidak pantas untuk duduk sebagai hakim sebab ia tidak menyamakan kedudukan Umar dengan seseorang kaum awam muslimin.

4. Jiwa Demokrasi pada khulafaur rasyidin

Di antara ciri-ciri sistem kekhalifahan ini adalah terwujudnya kemerdekaan yang sempurna untuk mengkritik dan mengeluarkan pendapat. Para khalifah selalu terbuka untuk rakyatnya dan mereka juga sering duduk bersama anggota-anggota musyawarah dan ikut serta dalam diskusi-diskusi.

Setiap orang yang ikut diskusi atau perdebatan dalam Mejlis Permusyawaratan itu memiliki hak sama untuk mengutarakan pendapatnya. Dan semua perkara diletakkan dihadapan ahlul halil wal ‘aqd, yakni orang-orang yang merupakan tokoh-tokoh terpenting dalam masyarakat, tanpa perubahan atau pemalsuan.[38]

Dasar utama untuk memecahkan masalah dan memutuskan perkara-perkara yang dihadapkan kepada mereka ialah argumentasi dan dalil yang benar, bukannya perasaan takut dari seseorang, pengaruh seseorang atau demi mempertahankan kepentingan seseorang atau demi mempertahankan kepentingan seseorang, atau berdasarkan kecendrungan kelas ataupun kelompok tertentu.

Para khalifah bertemu dan berkumpul langsung dengan rakyatnya bukan saja pada saat terjadi permusyawaratan, tetapi juga setiap shalat lima waktu dan hari jum’at. khulafaur rasyidin juga sering berjalan-jalan di pasar tanpa dikawal oleh prajurit, pengawal, sekretaris atau staf pribadi. Pintu rumah khalifah juga terbuka untuk rakyatnya yang ingin bertemu, mengadu, atau mengkritik khalifah[39].

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan ulasan di atas tentang khulafaur rasyidin : Ide dan Realitasnya di Masa Awal Islam, dapat dipahami bahwa pada dasarnya setiap manusia adalah khalifah yang memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan Allah dan kehidupan dunia. Dan manusia tidak memiliki kedaulatan atas dirinya dan orang lain karena ia hanya pengganti dari Sang Penguasa yang sebenarnya, yaitu Allah.

Islam juga memiliki prinsip yang jelas mengenai sifat orang-orang yang patut menjadi Ulil Amri, sehingga impian terlaksananya tugas-tugas pemerintahan secara sempurna dapat diwajudkan. Bahkan Islam juga memiliki standarisasi atau batasan-batasan yang tegas dalam ketaatan kepada negara.

Selain itu, sejarah pembentukan khulafaur rasyidin yang berdasarkan pemilihan, penerapan prinsip musyawarah dalam pemerintahan, penerapan undang-undang yang adil dan konsep demokrasi yang kaya nilai kemanusiaan menjadi inspirasi besar bagi pembentukan dan pelaksanaan tugas negara-negara Islam. Dengan kata lain, masa khulafaur rasyidin menjadi pelita yang bersinar dan arah pandangan cemerlang bagi negara-negara selanjutnya.

*situs: www.rangkumanmakalah.com

DAFTAR PUSTAKA

As-Syuti, Jalal Ad-Din. Sejarah Khulafaur Rasyidin. Jakarta: Pustaka Nasional, 2003

A Syahlabi. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Al-Husna Dikra, 1997.

Al-Maududi, Abul A’la. Khilafah dan Kerajaan. Bandung: Mizan, 1996.

Haekal, Husain, Muhammad. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarata: Letera AntarNusa, 1986.

Thohir, Aji. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.

Yatim, Badriu. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.


[1] Aji Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), 24.

[2] Kata “khilafah” merupakan bentuk masdar dari fi’el madhi “khalafah”, artinya “mengganti”, sedangkan kata “khalifah” merupakan isim fa’il (pelaku). Dan dalam Bahasa Inggris, kata “khalifah” disebut dengan “caliph.”

Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah nabi wafat untuk menggantikan pekerjaan umum. Dan khilafah (vicegerency) diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang beriman dan beramal sholeh. Hal ini ter-cover dalam QS.24:55.

[3] Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan (Bandung: Mizan, 1996), 64.

[4] Islam menggunakan ‘khalifah’ sebagai kata kunci, bukannya kedaulatan, karena kedaulatan sesungguhnya hanya milik Allah. Dengan norma-norma dan hukum-hukum Allah, maka dengan sendirinya ia menjadi khalifah (pengganti) Allah Yang Maha Kuasa dan ia tidak memiliki otoritas atas sesuatau, kecuali yang didelegasikan kepadanya.

[5] Al-Qur’an, 2:30.

[6] Ibid., 10:14.

[7] Ibid., 2:30.

[8] Al-Qur’an, 2:30.

[9] Ibid., 7: 74.

[10] Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan (Bandung: Mizan, 1996), 67.

[11] Al-Qur’an, 24:55.

[12] Ibid., 68.

[13] Maksiat adalah segala sesuatu yang berlawanan dengan syari’at Allah dan perundang-undangan-Nya.

[14] Al-Qur’an, 5:2.

[15] Ibid, 42.

[16] Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan (Bandung: Mizan, 1996), 68.

[17] Al-Qur’an, 42:38.

[18] Abul A’la Al-Maududi, op.c cit., 68.

[19] Ibid., 4:59.

[20] Ibid., 9:16.

[21] Ibid., 38:28.

[22] Ibid., 18:28.

[23] Ibid., 49:13.

[24] Yang dimaksud Hikmah di sini ialah kenabian, kesempurnaan ilmu dan ketelitian amal perbuatan.

[25] Al-Qur’an 38:20.

[26] Ibid., 12:55.

[27] Ibid., 4:58.

[28]Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan (Bandung: Mizan, 1996), 109.

[29] Abu Bakar nama aslinya Abdullah ibn Abi Quhafah Usman ibn Amir ibn Ka’b ibn Taym ibn Murrah ibn Ka’b ibn Lu’ayi ibn Ghalib, al-Quraishi, at-Taiyyimi, nasabnya bertemu dengan Rasulullah pada moyangnya bernama Murrah. Lihat dalam buku Sejarah Khulafaur Rasyidin, karya Jalal Ad-Din As-Syuti.

[30] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta:Litera AntarNusa, 1986), 592.

[31] Pidato Abu Bakar : “Saudara-saudara. Saya telah terpilih untuk memimpin kalian, dan saya bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Kalau saya berlakau baik, bantulah saya. Kebenaran adalah suatu kepercayaan, dan dusta adalah pengkhianatan. Orang yang lemah di kalangan kalian adalah kuat di mata saya, sesudah haknya nanti saya berikan padanya__insya Allah__dan orang yang kuat, buat saya adalah lemah sesudah haknya nanti saya ambil
_insya Allah. Apabila ada golongan yang meninggalkan perjuangan di jalan Allah, maka Allah akan menimpakan kehinaan kepada mereka. Apabila kejahatan itu meluas pada suatu golongan, maka Allah akan menyabarkan bencana pada mereka. Taatilah saya salama saya taat kepada Allah dan Rasuolnya. Tetapi apabila saya melanggar perintah Allah dan Rasul maka gugurlah kesetiaanmu kepada saya. Laksanakan salat kamu, Allah akan merahmati kita semua. ” Dikutip dari tulisan Muhammad Husain Haekal, dalambukunya yang berjudul Sejarah Hidup Muhammad.

[32] Badriu Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada), 38.

[33] A. Syahlabi. Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Al-Husna Dikra, 1997), 264.

[34]Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan (Bandung: Mizan, 1996), 112.

[35] Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan (Bandung: Mizan, 1996), 114.

[36] Ibid., 116.

[37] Ibid., 125.

[38] Ibid.,130.

[39] Ibid., 131.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *