Lompat ke konten
Home » √ KONSEP MA’RIFAT DALAM TASAWUF, Kajian Lengkap A-Z!

√ KONSEP MA’RIFAT DALAM TASAWUF, Kajian Lengkap A-Z!

Daftar Isi

konsep ma'rifat dalam tasawuf
konsep ma’rifat dalam tasawuf

Kata “ ma’rifat ” berasal dari kata kerja “arafa” yang berarti tahu, sehingga ma’rifah berarti pengetahuan.Sama halnya dengan istilah “ilmu” yang berasal dari kata kerja “’alima” yang berarti tahu, sehingga ilmu berarti pengetahuan.Hanya saja bedanya ialah bahwa ilmu merupakan pengetahuan lahiriah, sedang ma’rifah adalah pengetahuan batiniah.

Pengertian Ma’rifah Tasawuf

Dari segi bahasa ma’rifah artinya adalah pengetahuan atau pengalaman.Ma’rifah juga berarti pengetahuan tentang hakekat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya.Ma’rifah merupakan pengetahuan yang obyeknya tidak bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya.Hal ini didasarkan bahwa akal manusia dapat mengetahui hakikat ketuhanan.Hakikat itu satu dan segala yang maujud itu berasal dari yang satu.[1]

Ma’rifah juga berarti pengetahuan, maksudnya pengetahuan tentang Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan.Ma’rifah dapat ditemukan dasarnya dalam hadits dan Al-Qur’an.

Sebuah hadits dari Aisyah yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad bersabda:

“sesungguhnya penopang (kekuatan) rumah tergantung pada fondasinya, sedang penopang agama tergantung pada ma’rifahnya kepada Allah, keyakinan dan akal yang bisa menundukkan (hawa nafsu). Aisyah bertanya, demi engkau dengan tebusan ibuku, bagimana akal bisa menundukkan hal?Rasulullah menjawab, mampu menahan dari perbuatan durhaka kepada Allah dan selalu mendorong untuk taat kepadanya” (HR. Ad Dailami).

Selain itu ada ayat Al-Qur’an menjelaskan bahwa pengangungan kepada Allah diwujudkan dengan ma’rifah.Kalau tidak ma’rifah berarti tidak menghargai Allah. Allah berfirman:

“dan tiada mereka mengagungkan Allah sebagaimana mestinya”(Al-An’am:91).

Selain itu ma’rifah membersihkan dirinya dari akhlak yang rendah dan dosa-dosa, kemudian lama mengetuk “pintu” Allah.Dengan hati yang istiqamah dia melakukan i’tikaf untuk menjauhi dosa-dosa, sehingga dia memperoleh hidayah dari Allah.

Ada lagi yang menyatakan bahwa ma’rifah adalah hasil dari inspirasi (ilham).Ini tidak mungkin, karena ma’rifah memberikan tolok ukur untuk membedakan kebenaran dari kepalsuan, sementara yang beroleh ilham tidak memiliki tolok ukur semacam ini.

Selanjutnya, dari literatur yang diberikan tentang ma’rifah sebagai yang dikatakan oleh Harun Nasutian, ma’rifah berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari bisa melihat Tuhan. Oleh karena itu orang sufi mengatakan:

  1. Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup, ketika itu yang dilihatnya hanyalah Allah.
  2. Ma’rifah adalah cermin, dan ketika seorang ‘arif bercermin yang dilihatnya hanyalah Allah.
  3. Yang dilihat oleh orang ‘arif baik sewaktu tidur dan sewaktu bangun hanyalah Allah.
  4. Sekiranya ma’rifah mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat padanya akan mati karena tidak tahan melihat kecantikan dan keindahanya serta cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya akan keindahan yang gilang-gemilang.

Dari beberapa definisi tersebut dapat diketahui, bahwa ma’rifah adalah mengetahui rahasia-rahasia dengan menggunakan hati sanubari.Dengan demikian, tujuan yang ingin dicapai oleh ma’rifah ini adalah mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan.

Alat untuk Mencapai ma’rifat pada konsep ma’rifat dalam tasawuf

Ma’rifat hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka. Ma’rifah dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi, sehingga hatinya penuh dengan cahaya.

Ucapan itu menggambarkan bahwa ma’rifah tidak diperoleh begitu saja, tetapi merupakan pemberian dari Tuhan.Ma’rifah bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung kepada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifah adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya.

Bagi sufi mencapai ma’rifah, maka berarti dia makin dekat dengan Tuhan, dan akhirnya dapat bersatu dengan Tuhan. Tetapi, sebelum seorang sufi bersatu dengan Tuhan dia harus lebih dahulu menghancurkan dirinya.

Penghacuran dalam istilah sufi senantiasa diiringi oleh baqa’ (tetap, terus hidup).Fana’ dan baqa’ merupakan kembar dua.

Fana’ yang dicari oleh sufi ialah penghancuran diri, yaitu hancurnya peranan dan kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia ini.

Memperoleh ma’rifah merupakan proses yang bersifat kontinu. Makin banyak seorang sufi memperoleh ma’rifah dari Tuhan makin banyak pula yang diketahuinya tentang rahasia-rahasia Tuhan dan ia pun makin dekat dengan Tuhan. Tetapi memperoleh ma’rifah yang penuh tentang Tuhan tidak mungkin, karena manusia bersifat terbatas, sedang Tuhan tidak terbatas. Seperti kata al-junaid “ cangkir teh tak akan menampung semua air yang ada di laut “. konsep ma’rifat dalam tasawuf

ma’rifat seperti itu di akui oleh golongan ahlusunah wal jama’ah, karena ma’rifah diterima oleh al Gazali, dan al Gazalilah yang membuat tasawuf dapat diterima oleh kaum syariat. Sebelumnya kaum ulama memandang tasawuf sebagai hal yang menyeleweng dari Islam, terutama tasawuf yang diajarkan oleh abu yazid.Al bisthami (w.261 H/ 875 M) dengan paham ittihatnya dan husein bin mansyur al hallaj (w. 309 H/922 M) dengan ajarannya tentang hulul.Hulul adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.

Kemudian menurut al junaid, ma’rifah terdiri atas 2 jenis, yaitu ma’rifah pengungkapan diri (ta’aruf) dan ma’rifah pengajaran (ta’arif). Ma’rifah pengungkapan diri adalah ma’rifah di mana dia menyebabkan mereka mengenalnya dan mengenal benda-benda lewat dia/ dalam kata Ibrahim : “ Aku tidak sesuatu yang terbenam “.

Sedang Ma’rifat pengajaran berarti bahwa dia memperlihatkan pada mereka tanda kekuasaannya dilangit dan dalam diri mereka sendiri, dan kemudian menanamkan dalam mereka sebuah karunia khusus (Luthf), sehingga benda (material) itu menunjukkan adanya sang pembuat. Inilah ma’rifah yang bisa dicapai oleh orang-orang terpilih, karna pada hakikatnya tak seorangpun bisa mengenal dia kecuali lewat dia.

Alat yang dapat digunakan untuk mencapai ma’rifah telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb (hati), qalb juga menjadi alat untuk berfikir. Bedanya qalb dengan akal adalah bahwa akal tidak dapat memperoleh pengetahuan yang sebenarnya dengan Tuhan, sedangkan qalb dapat mengetahui hakikat semuanya dari segala yang ada, dan jika dilimpahi cahaya Tuhan akan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Qalb yang telah dibersinkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkaian dzikir dan wirid secara teraturakan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, yaitu setelah hati tersebut disinari oleh cahaya Tuhan. Proses sampainya qalb dengan cahaya Tuhan ini erat kaitannya dengan konsep takhalli(mengosongkan diri dari akhlak yang tercela dan perbuatan maksiat melalui taubat),tahalli(menghiasi diri dengan akhlak yang muia dan amal ibadah) dan tajalli(tersingkapnya hijab, sehingga tampak jelas cahaya Tuhan). Hal ini sejalan dengan firman Allah swt :

Artinya : “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. tatkala Tuhannya Menampakkan diri kepada gunung itu[565], dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, Dia berkata: “Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman”.”[2]

Artinya : “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”[3] konsep ma’rifat dalam tasawuf

Kutipan tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa tajalli adalah jalan untuk mendapatkan ma’rifah, dan terjadi setelah terjadinya al-fana’ yakni hilangnya sifat-sifat kemnusiaan dan melebur kepada sifat-sifat Tuhan.Alat yang digunakan untuk mencapai tajalli ini adalah hati, yaitu hati yang telah mendapatkan cahaya dari Tuhan.

Selain itu ma’rifah diwujudkan dengan sikap-sikap sufistik, seperti zuhud, wara, sabar, syukur, ikhlas, tawakal, istiqamah, dan sebagainya.Sikap-sikap sufistik ini memerlukan kecerdasan emosional.

Tokoh yang Mengembangkan konsep ma’rifat dalam tasawuf

Ma’rifat digunakan untuk menujukkan tingkatan dalam tasawuf. Orang yang telah mencapai ma’rifah disebut al-‘arif .orang ‘arif mampu mencapai cinta kepada Allah. Pengetahuan ma’rifat itu sedemikian lengkap dan jelas, hingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu, yaitu Tuhan.

Ahli ma’rifat selagi dia tetap sebagai ahli ma’rifah tidak takut terpisah dari Tuhan.Keterpisahan disebabkan oleh hilangnya ma’rifah, tapi pengetahuan intuitif tidak bisa hilang walau dalam bayangan.Doktrin ini berbahaya sekali bagi orang awam.Untuk menghindari akibat buruknya, maka kita harus mengetahui bahwa pengetahuan manusia dan pengetahuannya tentang Tuhan sepenuhnya tergantung pada informasi dan petunjuk kebenaran yang kekal.

Dijelaskan pula bahwa tanda orang ma’rifah ada tiga :

  1. Cahaya ma’rifahnya tidak memadamkan cahaya wara’nya.
  2. Tidak meyakini ilmu batiniah yang dapat merusak lahirilah hukum.
  3. Banyaknya nikmat yang dianugerahkan Allah kepadanya tidak membawanya pada kebinasaan sampai merusak tabir dan hal yang diharamkan oleh Allah.

Dalam literatur tasawuf di jumpai dua orang tokoh yang mengenalkan paham ma’rifah ini : Al-Ghazali dan Dzannun Al–Misri.

Abu hamid Muhammad al-ghazali

Al-ghazali nama lengkapnya Abu hamid Muhammad al-ghazali , lahir pada tahun 1059M . dighazaleh ,suatu kota kecil yang terletak didekat thus ,khurasan . ia pernah belajarkepada imam Al-Haramin Al-Juwaini , guru besar di madrasah An-Nizamiah, Nisyafur. Setelah mempelajari imu agama dan lain-lain meliputi teologi , ilmu pengetahuan alam , filsafat dan lain-lain akhirnya ia memilih tasawuf sebagai jalan hidupnya .setelah bertahun – tahun menggembara sebagai sufi , ia kembali ke thus pada tahun 1105M . da meninggal disana pada tahun 1111M.

Dzannun al–Misri

Adapun Dzannun al–Misri berasal dari Naubah , suatu negeri yang terletak diantara Sudan dan Mesir. Tahun kelahirannya tidak banyak di ketahui , yang diketahui hanya tahun wafatnya, yaitu 860M .menurut Hamka, beliaulah yang banyak sekali menambahkan jalan menuju Tuhan, yaitu jalan mencintai Tuhan, menuruti garis perintah yang diturunkan dan takut terpalingkan dari jalan yang benar .[4]

Mengenai bukti bahwa kedua tokoh tersebut membawa paham ma’rifat dapat diikuti dari pendapat – pendapatnya di bawah ini.misalnya, ia mengatakan bahwa ma’rifah adalah: Ma’rifah yaitu meneliti rahasia-rahasia ketuhanan dan mengetahui atau mengerti keteraturan urusan ketuhanan yang mencakup segala yang ada.[5] Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan, ma’rifah adalah : memandang kepada keagungan wajah Allah.

Demikian ulasan singkat seputar Konsep Ma’rifat dalam tasawuf . situs: www.rangkumanmakalah.com

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Abdl. Syakur, Muzayyanah, Mochammad Yazid. 2011. Akhlak Tasawuf. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press.

Tebba Sudirman. 2004. Kecerdasan Sufistik Jembatan Menuju Makrifat. Jakarta. Kencana Prenada Media Group

Tebba, Sudirman. 2006. Merengkuh Makrifat: Menuju Ekstase Spiritual. Tangerang: Pustaka Irvan


[1]Jamil Saliba. Mu’ajam al-falsafi, jilid II.(Beirut: Dar al-kitab, 1979), 72.Lihat juga Abuddin Nata. Akhlak, 219-220

[2] QS. 7:143

[3] QS. 24:35

[4] Harun Nasution. Falsafah, 43

[5] Hamka, Tasawuf, 100


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *