Lompat ke konten
Home » √ Lembaga Pendidikan Islam Pra Madrasah, Lengkap!

√ Lembaga Pendidikan Islam Pra Madrasah, Lengkap!

Daftar Isi

Lembaga Pendidikan Islam Pra Madrasah – merupakan pelajaran bagi kita untuk mengetahu lembaga pendidikan islam sebelum adanya madrasah secara formal. Karena sejarah mencatat bahwa peradaban islam pernah besar diakibatkan oleh para pemikir islam yang namanya hingga kini terus di kenal. Sebelum munculnya madrasah sebagai lembaga pendidikan formal, sebenarnya telah terlebih dahulu berkembang lembaga pandidikan non formal. Bahkan lembaga-lembaga tersebut saat ini masih banyak kita jumpai. Di antara lembaga-laembaga pendidikan Islam non formal itu adalah:
Lembaga Pendidikan Islam Pra Madrasah

Lembaga Pendidikan Islam Pra Madrasah

a. Masjid

Lembaga Pendidikan Islam Pra Madrasah pertama adalah masjid, Semenjak berdirinya di zaman nabi Muhammad masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kaum muslimin, baik yang menyangkut pendidikan maupun sosial ekonomi. Sebagai lembaga pendidikan, masjid pada awal perkembangannya dipakai sebagai sarana dan penyampaian doktrin ajaran Islam[1]

b. Shuffah

Lembaga Pendidikan Islam Pra Madrasah adalah Shuffah. Pada masa Rasulullah, shuffah merupakan suatu tempat yang telah dipakai untuk aktifitas pendidikan. Biasanya tempat ini menyediakan pemondokan bagi pendatang baru dan mereka yang tergolong miskin. Di sini para siswa (sahabat) diajarkan membaca dan menghafal al-Qur’an secara benar dan hokum Islamdi bawah bimbingan nabi secara langsung. Pada masa itu setidaknya ada Sembilan shuffah yang tersebar di kota madinah. Rasulullah mengangkat ‘Ubaid ibn al-Samit pada shuffah di madinah.[2]

c. Kutta>b

Lembaga Pendidikan Islam Pra Madrasah adalah kuttab. Kutta>b atau maktab berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat menulis. Sebelum Islam datang, Kutta>b ini sudah dikenal meskipun terbatas dari golongan tertentu saja. Di antara penduduk Makkah yang mula-mula belajar baca tulis adalah Sufyan ibnu Umayyah ibnu Abdu Syam dan Abu Qais ibnu Abdi Manaf ibnu Zuhrah ibnu Kilat. Keduanya mempalajarinya di negeri Hirah.[3] Karena masih sedikitnya penduduk Makkah yang menguasai baca tulis, maka menurut Shalabi, yang menjadi pengajar dalam kuttab ini seringkali kaum zimmi.
Di awal perkembangan Islam, kuttab tersebut dilaksanakan di rumah-rumah guru yang bersangkutan. Materi yang diajarkan adalah menulis dan membaca syair yang terkenal pada masanya. Sementara penulisan al-Qur’an tidak diajarkan di sini, sebab kebanyakan pengajar adalah kaum zimmi maupun para tawanan perang Badar. Selain alasan tersebut ada juga yang beranggapan bahwa al-Qur’an tidak boleh dipermainkan oleh anak-anak dengan jalan menulis dan menghapusnya. Sehingga di masa itu al-Qur’an hanya disebarluaskan dengan cara membaca saja.[4]
Kepandaian baca tulis dalam kehidupan sosial dan politik umat Islam ternyata memegang peranan penting, yaitu sejak nama nabi Muhammad digunakan sebagai media komunikasi dakwah kepada dunia di luar Arab serta dalam menuliskan perjanjian-perjanjian. Karena kepentingan inilah maka Kutta>b sebagai tempat belajar menulis dan membaca semakin berkambang pesat.
Perubahan terjadi di akhir abad pertama hijriyah, di mana dalam Kutta>b ini telah diberikan juga materi al-Qur’an dan pokok-pokok ajaran agama, seperti pokok-pokok nahwu dan shorrof. Pada mulanya Kutta>b jenis ini merupakan pemindahan dari pengajaran al-Qur’an yang berlangsung di masjid dan untuk semua kalangan. Namun dengan adanya kekhawatiran bahwa anak-anak tidak dapat menjaga kesucian masjid, maka bagi mereka dibuatkan tempat-tempat khusus di samping masjid yang juga berfungsi untuk belajar baca tulis, al-Qur’an serta pokok-pokok ajaran Islam.[5] Bahkan menurut George Makdisi, dalam Kuttab juga dipelajari pendidikan yang lebih tinggi lagi, ysitu pembelajaran untuk spesialisasi keilmuan seperti belajar Fiqih[6]
Selain itu dikatakan oleh Ibnu Khaldun, bahwa tempat pembelajaran bagi murid perempuan di kuttab tersebut dipisahkan dari laki-laki. Namun kepergian anak-anak perempuan ke kuttab itu sendiri sering tidak disukai oleh sebagian ulama karena dikhawatirkan dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.[7]

d. Halaqah pendidikan islam pra madrasah

Lembaga Pendidikan Islam Pra Madrasah adalah halaqah di masjid. Pendidikan masjid berlangsung dalam sistem halaqah (lingkaran). Artinya, tempat duduk para murid dalam proses belajar mengajar adalah berbentuk lingkaran, yaitu mereka melingkari gurunya. Biasanya seorang guru duduk di lantai menerangkan, membacakan karangannya, atau memberikan komentar atas karya pemikiran orang lain. Meskipun tidak ada batasan resmi, namun rata-rata dalam sebuah halaqah terdiri dari 20 murid di mana dalam halaqah tertentu masuknya murid ini melalui sebuah seleksi.[8]
Kegiatan di halaqah ini tidak khusus untuk mengajarkan atau mendiskusikan ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, termasuk filsafat. Oleh karena itu, halaqah ini dikelompokkan ke dalam lembaga pendidikan yang tebuka terhadap ilmu pengetahuan umum. Mengikuti halaqah tidak mengandung suatu implikasi keterkaitan dengan halaqah tersebut atau dengan syaikhnya serta halaqah ini memberikan kebebasan akademis. Dilihat dari segi ini, halaqah dapat dikategorikan ke dalam lembaga pendidikan tingkat lanjutan karena sudah mulai mebedah masalah pemikiran orang lain.[9]
Kegiatan pembelajaran di halaqah dimulai dengan doa singkat yang dibaca oleh syaikh dilanjutkan dengan memberikan komentar umum tentang topik bahasan dengan mengaitkan topik tersebut pada materi yang telah diberikan sebelumnya. Dalam materi tertentu metode imla’[10]juga digunakan. Kegiatan ini dilanjutkan dengan penjelasan pada materi yang telah didiktekan, di mana uraian materi ini didasarkan pada tingkat pemahaman para murid. Akhir dari kegiatan halaqah adalah pemeriksaan catatan yang dilakukan oleh syaikh sehingga dimungkinkan syaikh tersebut dapat memberikan perhatian secara individu. Selain itu juga diadakan sesi tanya jawab di mana dalam sesi tersebut tidak ada larangan bagi seorang murid untuk berbeda pendapat dengan syaikhnya.
Jika seorang syaikh berhalangan, agar pembelajaran tidak terganggu maka dia mengangkat seorang naib untuk menggantikannya. Jika syaikh wafat maka naib ini akan ditugasi untuk mengajar sampai syaikh yang baru diangkat. Dalam mengajar, seorang syaikh dibantu oleh seorang mu’id atau mufid. Muid merupakan murid senior yang bertugas untuk mengulas kembali materi yang telah diberikan oleh syaikh di luar pembelajaran beserta temen-temannya. Sedangkan mufid bertugas untuk membantu murid pemula dalam belajar. Secara hierarkis tingkatan pengetahuan mufid masih berada di bawah muid.[11]

e. Pendidikan Rendah di Istana

Lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah adalah pendidikan rendah di istanah. Adanya pendidikan rendah di istana didasari oleh kesadaran bahwa pendidikan harus diberikan pada anak sejak kecil agar mereka dapat melaksanakan tugasnya setelah dewasa nanti. Atas dasar kesadaran tersebut para khalifah dan keluarganya serta para pembesar istana mendatangkan guru-guru khusus yang ditugasi untuk mengajar anak-anak mereka.[12]
Rencana pelajaran untuk pendidikan di istana pada garis besarnya sama saja dengan rencana pelajaran pada kuttab-kuttab, hanya ditambah atau dikurangi menurut kehendak para pembesar istana, dan selaras dengan keinginan istana yaitu untuk menyiapkan anak tersebut secara khusus untuk tujuan-tujuan dan tanggung jawab yang akan dihadapinya dalam kehidupan kelak.[13]

f. Toko-Toko Buku

Lembaga Pendidikan Islam Pra Madrasah adalah toko – toko buku. Pada permulaan Daulah Bani Abassiyah, di mana ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islamtelah berkembang pesat yang diikuti oleh penulisan kitab-kitab berbagai disiplin ilmu, maka berdirilah toko-toko kitab. Para pemilik toko tersebut umumnya bukan sekedar para pedagang, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang cerdas yang memilih profesi tersebut agar dapat membaca dan menelaah kitab-kitab yang ditulis oleh para ilmuwan. Mereka juga menyalinnya dan menjualnya pada orang yang memerlukan. Dengan demikian toko-toko buku tersebut bukan saja sebagai tempat berjual beli buku, akan tetapi juga berfungsi sebagai tempat bertemunya para ilmuwan untuk berdiskusi, berdebat dan mengkaji masalah-masalah ilmiah.[14]

g. Majlis

Lembaga Pendidikan Islam Pra Madrasah adalah majlis. Istilah majlis telah dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama Islam. Mulanya ia merujuk kepada arti tempat-tempat pelaksanaan belajar mengajar. Majlis ini bermula sejak zaman Khulafa>’ al-Ra>syidu>n yang digunakan untuk memberikan fatwa, musyawarah serta diskusi dengan para sahabat untuk memecahkan masalah yang dihadapi pada masa itu. Awalnya pertemuan majlis ini diadakan di masjid, namun sejak khalifah Bani Umayyah tempat tersebut dipindahkan ke istana.[15]
Pada masa Khalifah Ha>ru>n al-Rasyi>d (170-193 H), majlis ini mengalami kemajuan yang luar biasa karena Khalifah sendiri sangat mencintai ilmu pengetahuan sehingga ia juga ikut aktif di dalamnya. Selain itu keadaan negara yang kondusif mendukung diadakannya perlombaan antar ahli syair, perdebatan antar fuqaha, diskusi-diskusi ilmiah, serta sayembara di antara ahli kesenian dan pujangga.[16]
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam, majlis digunakan sebagai kegiatan transfer ilmu pengetahuan sehingga majlis banyak ragamnya. Di antaranya ada majlis hadith, majlis tadris, majlis munadzarah, majlis muzakarah, majlis syu’ara>’ majlis adab, dan majlis al-fatwa dan al-nazar.[17]

h. Badi>’ah

Lembaga Pendidikan Islam Pra Madrasah adalah Badi’ah. Merupakan padang pasir di pedalaman yang ditinggali oleh orang-orang Badwi. Sejak berkembang luasnya Islam, bahasa Arab sering digunakan oleh bangsa luar Arab yang beragama Islamsehingga bahasa Arab berkembang luas. Hal ini mengakibatkan keaslian bahasa Arab semakin lama semakin luntur karena bercampur dengan kaidah bahasa lain.
Namun tidak demikian halnya di badi>’ah-badi’a>h, mereka tetap mempertahankan kemurnian dan keaslian bahasa Arab. Oleh karena itu, badi>’ah-badi>’ah ini menjadi pusat untuk pelajaran bahasa Arab yang asli dan murni. Sehingga banyak anak-anak khalifah, ulama-ulama dan para ahli ilmu pengetahuan pergi ke badi>’ah-badi’a>h dalam rangka mempelajari ilmu bahasa Arab. Dengan begitu, badi>’ah-badi’a>h telah berfungsi sebagai lembaga pendidikan.[18]
Selain itu, di badi>’ah-badi’a>h ini juga terdapat ribat-ribat atau zawiyah-zawiyah yang menjadi pusat kegiatan para sufi. Di sanalah mereka mengembangkan metodenya untuk mencapai ma’rifat.

i. Perpustakaan

Lembaga Pendidikan Islam Pra Madrasah Adalah perpustakaan. Pada zaman berkembangnya ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, buku mempunyai nilai yang sangat tinggi. Buku merupakan sumber informasi. Orang dengan mudah dapat belajar dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah tertulis dalam buku. Para ulama dari berbagai macam keahlian, pada umumnya menulis buku-buku dalam bidangnya masing-masing. Para ulama juga memberikan kesempatan kepada para penuntut ilmu untuk belajar di perpustakaan pribadi mereka.[19]
Dengan didirikannya perpustakaan para pelajar akan merasa sangat terbantu karena mereka bisa mengurangi pengeluaran untuk pembelian buku. Terdapat tiga perpustakaan besar dalam sejarah Islamklasik, yaitu perpustakaan Abbasiyah di Baghdad, perpustakaan Fatimiyah di Kairo dan perpustakaan Umayyah di Cordoba.

Penutup

Baca juga selengkapnya: Pusat pendidikan tinggi al azhar


[1]Abudin Nata, Sejarah Pendidikan IslamPada Periode Klasik dan Pertengahan,(Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 37.

[2]Ibid., 32.
[3]Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumu Aksara, 1997), 89.
[4] A. Shalabi, Sejarah Pendidikan Islam, terj. Muhtar Yahya, (Jakarta : Bulan Bintang, 1973), 45.
[5] Muhammad Syafi’i Antonio, Ensiklopedia Leadership & Manajemen Muhammad Saw “The Super Leadership Manager”, (Jakarta Selatan: Tazkia Publishing, 2012), 42.
[6] George Makdisi, The Rise of Colleges: Institution of Learning in Islamic and The West, (Edinburg: Edinburg University Press, 1991), 19.
[7]Asma Hasan Fahmi, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang,1990), 32.
[8] George Makdisi, The Rise of Colleges,184.
[9]Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, 35.
[10] Imla’ yaitu menyalin huruf hijaiyah dan tanda baca dengan benar sehingga menjadi tulisan yang baik dan benar. (Lihat buku Imla’ Teori dan Terapan hal 21).
[11] George Makdisi, The Rise of Colleges,195.
[12]Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, 92.
[13]Ibid., 93.
[14]Ibid., 79.
[15] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, 35.
[16] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, 96.
[17]Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, 37.
[18]Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, 42.
[19]Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, 98.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *