Daftar Isi
Poligami dalam Islam – Menurut Dr. Fuad Moch Fachruddin, poligami adalah pengambilan lebih dari seorang istri oleh seorang suami.[1] Sedang menurut Soemiyati SH, poligami adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih seorang perempuan dalam waktu yang sama.[2] Jadi jelasnya poligami adalah perkawinan seorang laki-laki dengan orang perempuan yang lebih dari satu dan dalam waktu yang sama. Tidak dapat dikatakan poligami apabila perkawinan itu terjadi stelah perceraian dengan istri sebelumnya.
Dasar Hukum poligami dalam islam
Mengawini wanita lebih dari seorang menurut hukum Islam diperbolehkan dengan dibatasi paling banyak empat orang. Meskipun diperbolehkan namun perlu kita perhatikan bahwa asas perkawinan dalam hukum Islam adalah monogami. Hal ini dapat dilihat dalam Al Qur’an yang menerangkan tentang dibolehkannya poligami itu sendiri, yaitu:
Artinya:“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”
Dari ayat tersebut jelas bahwa meskipun poligami dalam islam diperbolehkan tapi jika takut tidak dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya maka Allah menganjurkan untuk menikah seorang saja.
Syarat-syarat Melakukan poligami dalam islam
Pembolehan kawin dengan lebih dari satu orang ini adalah merupakan pengecualian. Disamping itu pembolehan ini diberikan dengan pembatasan-pembatasan yang berat, berupa syarat-syarat dan tujuan yang mendesak. Batasan-batasan tersebut adalah:
- Jumlah wanita yang boleh dikawini tidak boleh lebih dari orang, seperti yang tersebut dalam surat An Nisa’ ayat 3.
- Akan sanggup berlaku adil terhadap semua istrinya.
- Wanita yang akan dikawini seyogyanya adalah wanita yang mempunyai anak yatim, dengan maksud supaya anak yatim itu berada dibawah pengawasan lelaki tersebut, dan supaya ia dapat berlaku adil terhadap anak yatim dan harta yatim.
- Wanita yang hendak dikawini itu tidak boleh ada hubungan saudara, baik sedarah maupun sesusuan. Hal ini sesuai dengan Al Qur’an surat An Nisa’; 23.
Dalam undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 5 disebutkan, bahwa untuk mengajukan permohonan ke pengadilan agar seorang suami dapat ber poligami dalam islam sebagaimana yang ada dalam pasal 3 ayat 2 harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Adanya persetujuan dari istri/istri-istri.
- Adanya kepastian bahwa suami tersebut mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
- Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.[3]
Batas Jumlah Dalam poligami dalam islam
Mengenai batas jumlah wanita yang boleh dihimpun oleh seorang suami ada beberapa pendapat, diantaranya adalah:
- Menurut Syafi’I tidak boleh kawin lebih dari empat orang sebagaimana yang tersebut dalam surat An Nisa’ ayat 3 tersebut. Pendapat As Syafi’I ini adalah menurut ijma’ para ulama’.
- Sebagian golongan Syi’ah membolehkan kawin lebih dari empat orang, bahkan ada yang membolehkan tanpa mereka menganggap kata penghubung berupa huruf wawu dalam ayat 3 surat An Nisa’ tersebut menunjukkan jumlah dan dengan memperkuat alasannya dengan praktek Rasulullah saw yang mempunyai istri sampai sembilan.
- Kaum Rafidzah dan sebagian ahli Dzahir memahami kata matsna, tsulatsa, dan ruba’ berarti dia ditambah dua, tiga ditambah tiga, dan empat ditambah empat. Sebagian ahli Dzahiri membolehkan sampai delapan belas orang, dengan menjumlah bilangan yang diulang tersebut.[4]
Tampaknya mereka berbeda pendapat mengenai penafsiran ayatnya. Dari berbagai pendapat tersebut yang dianggap benar adalah nomor pertama, karena tidak pernah terdengar sahabat atau tabi’in pun yang memadu lebih dari empat. Hal ini juga diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan dari Harits bin Qayyah, ia berkata:
أسلمت وعندى ثمان نسوة فذكرت ذلك لنبىّ ص. فقال اختر منهنّ اربعاً
Artinya:“Saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan istri saya, lalu saya ceritakan hal tersebut kepada Rasulullah, maka sabda beliau: pilihlah empat orang diantara mereka”[5]
Motif-motif Dilaksanakannya poligami dalam islam
Sebagaimana yang diuraikan diatas, bahwa pada asasnya perkawinan dalam islam adalah monogami. Poligami diperbolehkan jika dalam kondisi darurat. Adapun motif-motif dilaksanakannya poligami antara lain:
Motif-motif Sosial
1) Dalam kondisi wajar jumlah perempuan di dunia lebih banyak daripada jumlah laki-laki.
2) Dalam kondisi pasca perang dunia ke II banyak pemuda yang gugur, dan banyak terjadi penyelewengan para suami, karena banyak gadis yang masih sendiri.
Motif-motif Pribadi
1) Istri mandul sedang suami ingin mempunyai anak keturunan.
2) Istri mempunyai penyakit kornis.
3) Suami terlalu benci pada istri yang sampai tidak dibatasi oleh hakim.
4) Suami banyak bepergian, ia tidak dapat membawa pergi istrinya dan juga tak sanggup hidup sendirian.
5) Suami mempunyai sahwat yang tinggi sehingga tidak puas dengan satu istri.[6]
Akibat Dilaksanakannya poligami dalam islam
Dampak dilaksanakannya poligami antata lain:
Dampak Negatif
1) Permusuhan diantara istri
2) Permusuhan diantara anak-anak mereka
3) Kemungkinan suami dapat berlaku adil sangat kecil
4) Dapat menyebabkan anak-anak terlantar.
Dampak Positif
1) Dapat meringankan beban masyarakat, karena mengayomi wanita-wanita untuk dijadikan istrinya yang sah
2) Diperolehnya status anak yang sah atau jelas
3) Poligami merupakan peraturan yang berdasarkan etika yang memelihara budi pekerti manusia.[7]
Penutup
Demikianlah pembahasan masalah poligami, meskipun diperbolehkan tetapi konsekuensi moral yang harus diterima sangat berat terutama dalam hal keadilan.
*situs: www.rangkumanmakalah.com
[1] Dr. Fuad Moch Fachruddin, Filsafat dan Hikmah Syari’at Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1966, jilid I, hlm. 184.
[2] Soemiyati SH, Hukum perkawinan Islam dan Undang-Undang perkawinan (Undang-Undang No. 1 tahun 1974, tentang perkawinan), Yogyakarta: Liberty , 1989, hlm. 74.
[3] Undang-undang Perkawinan, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, cet. II, 1990, hlm. 8.
[4] Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, jilid II, hlm. 107.
[5] HR. Abu Dawud.
[6] DR. Mustafa As-Siba’, Wanita Diantara Hukum Islam dan Perundang-undangan, Jakarta: Bulan Bintang, 1966, hlm. 112-115.
[7] Ibid, hlm. 125-132.