Lompat ke konten
Home » √ Problematika Pendidikan PAI di Indonesia

√ Problematika Pendidikan PAI di Indonesia

Daftar Isi

Pengantar

Dalam problematika pendidikan PAI. Tidak ada gading yang tidak retak. Menurut penulis pribahasa ini cukup bisa mewakili pendidikan agama Islam di Indonesia sekarang ini. [baca: perkembangan demokrasi di indonesia] Tidak sedikit dijumpai buku-buku dan tulisan-tulisan yang menunjukkan kegemilangan pendidikan agama Islam, pendidikan agama Islam dianggap sudah bisa menghantarkan siswa menjadi pribadi yang mengusai bagaimana cara berinteraksi yang baik dan benar, baik secara vertikal maupun horisontal. Di sisi lain, masih banyak dijumpai kekurangan serta problematika pendidikan agama Islam yang perlu mendapat perhatian khusus.

Problematika selalu menuntut untuk bisa diselesaikan. Begitu juga dengan problematika pendidikan PAI (Pendidikan agama Islam). Dalam studi problematika pendidikan PAI, tidak hanya dikaji tentang masalah-masalah yang muncul, akan tetapi juga berusaha menemukan solusi dan jalan keluar atas permasalahan tersebut.

Problematika Pendidikan PAI di Indonesia
Problematika Pendidikan PAI di Indonesia

Munculnya sebuah permasalahan dalam PAI terutama yang berkenaan dengan proses pembelajaran, tidak lepas dari tiga sebab yang mendasar. Pertama, selama ini, banyak pendidikan agama yang lebih banyak berorientasi pada aspek kognitif saja. Padahal pendidikan agama seharusnya lebih berorientasi secara praktisi, maka tidak heran ketika banyak dijumpai anak yang menadapat niai bagus dalam mata pelajaran agama akan tetapi dalam penerapan dan prilaku keseharian cenderung menyimpang dari norma ajaran yang islami, sebagaiman a disebutkan oleh penulis di pendahuluan. Kedua, sistem pendidikan agama yang berkembang di sekolah kurang sistematis dan kurang terpadu untuk anak didik. Ketiga, eveluasi yang dilakukan untuk pendidikan agama disamakan dengan pelajaran-pelajaran yang lain, yaitu hanya aspek kognitif saja. Pada hakikatnya evaluasi PAI idealnya tidak hanya dalam hal kognitif saja, akan tetapi lebih menekankan pada praktisi, supaya ajaran agama yang telah siswa pelajari bisa terlihat langsung dalam berprilaku sehari-hari.[1]

Problematikan Pendidikan PAI di Filipina

Problematika pendidikan PAI tidak hanya tumbuh subur di Indonesia. Di Filipina permasalahan ini sudah banyak diperbincangakan sejak 1980, dan ditahun yang sama diadakan sebuah konferensi untuk membahas problematika ini. berikut ini adalah problematika yang ditemukan: 1. Curriculum 2. Inadequate resources 3. Lack of competent teachers 4. Lack of competent administrators 5. Lack of adequate teaching materials (no relevant textbooks and referen-ces) 6. Lack of school facilities such as buildings, etc. 7. Peace and order as an extraneous factor affecting the normal operation of madrasah.[2]

Enam permasalahan yang muncul di Filipina hampir ada kesamaan dengan yang terjadi di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan proses pembelajaran. Bedanya, di Filipina hal tersebut sudah menjadi perhatian khusus bahkan sejak tahun 1980, akan tetapi di Indonesia belum ada konferensi yang memperbincangkan problematika pendidikan PAI. [baca: manusia dan pendidikan]

Ruang Lingkup Studi Problematika pendidikan PAI

Dalam mengkaji problematika pendidikan Islam yang berkembang baik di lembaga pendidikan Islam maupun di lembaga yang tidak ber latar belakang Islam selalu menjadi hal yang menarik. Karena masalah yang muncul dalam PAI seakan tidak pernah ada habisnya.

Secara garis besar problematika yang dihadapi oleh pendidikan agama Islam bisa digolongkan menjadi dua. Pertama, permasalahan yang bersumber dari internal. Maksudnya adalah permasalahan yang muncul dari materi pendidikan agama Islam itu sendiri, karena materi dalam pendidikan agama Islam mayoritas berupa sesuatu yang abstrak. Kedua, permasalahan yang bersumber dari ekternal. Eksternal disini mencakup lingkungan, guru, keadaan ekonomi siswa, politik dan orang tua.[3]

Problematika yang muncul dari internal siswa cenderung lebih mudah untuk ditangani. Karena guru bisa memilah dan memilih materi apa yang tepat diajarkan kepada peserta didik di level belajar tertentu. Kurikulum juga termasuk dalam problematika yang bersumber dari internal, kurikulum dianggap sebagai pedoman dalam setiap proses belajar mengajar.

Kuriulum PAI yang digunakan disekolah cenderung memiliki kompetensi yang tidak terlalu luas, lebih-lebih lagi guru PAI seringkali terpaku pada kurikulum yang tidak terlalu komprehensif tersebut. Selain itu, kurikulum PAI lebih cenderung menjelaskan persoalan-persoalan teoretis agama yang bersifat kognitif dan amalan-amalan ibadah praktis. Padahal PAI seharusnya diaplikasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari.[4]

Kurikulum adalah salah satu komponen operasional pendidikan agama islam sabagai sistem materi atau disebut juga sebagai kurikulum. Jika demikian, maka materi yang disampaikan oleh pendidikan (khususnya pendidik agama islam) hendaknya mampu menjabarkan seluruh materi yang terdapat di dalam buku dan tentunya juga harus ditunjang oleh buku pegangan pendidik lainnya agar pengetahuan anak didik tidak sempit.

Disamping itu materi yang diberikan harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak didik dan tujuan pembelajaran. Sesuai dengan pernyataan Nur Uhbiyati mengenai definisi kurikulum, bahwa kurikulum adalah sejumlah pengalaman pembelajaran, kebudayaan sosial, olah raga dan kesenian yang tersedia di sekolah bagi anak didik dan tujuan didik di dalam dan di luar sekolah dengan maksud menolongnya untuk perkembangan menyeluruh dalam segala segi dan merubah tingkah laku mereka sesuai dengan tujuan pembelajaran.[5]

Namun merealisasikan kurikulum yang ada disuatu lembaga pendidikan bukanlah suatu hal yang mudah, sedangkan alokasi waktu untuk pembelajaran pendidikan agama islam sangat sedikit. Dengan demikian dapat menjadi problem dalam pembelajaran pandidikan agama islam.

Permasalahan yang bersumber dari eksternal cenderung lebih kompleks dan menuntut banyak kerja keras untuk bisa menyelesaikanya.

1. Faktor ekternal Problematika Pendidikan PAI

Dalam paradigma pendidikan islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan.

Disisi lain, pendidikan itu berfungsi membentuk kepribadian anak, mengembangkan agar mereka percaya diri dan menggapai kemerdekaan kepribadian, pendidikan itu bergerak untuk mewujudkan perkembangan yang sempurna dan mempersiapkannya dalam kehidupan, membantu untuk berinteraksi sosial yang positif di masyarakat, menumbuhkan kekuatan dan kemampuan dan memberikan sesuatu yang dimilikinya semaksimal mungkin. Juga menimbulkan kekuatan atau ruh kreativitas, pencerahan dan transparansi serta pembahasan atau analisis di dalamnya.

Peserta didik merupakan ukuran dari keberhasilan suatu pendidikan. Masyarakat selalu menilai keberhasilan pendidikan dari output yang berasal dari siswa. Problematika yang muncul drai peserta didik adalah umumnya siswa yang telah belajar selama 12 tahun (SD, SMP, dan SMA), yang mana mata pelajaran agama hanya diajarkan dua jam saja dalam satu minggu, masih banyak yang belum bisa membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar, tidak menjalankan kewajiban sholat secra rutin, tidak beribadah puasa di bulan Ramadhan, dan yang paling penting adalah kurang bisa berprilaku secara benar.[6]

Peserta didik dalam suatu lembaga pendidikan tentu berasal dari latar belakang kehidupan beragama yang berbeda-beda. Ada siswa yang berasal dari keluarga yang taat beragama, namun ada juga yang berasal dari keluarga yang kurang taat beragama, dan bahkan ada yang berasal dari keluarga yang tidak peduli dengan agama. Bagi anak didik yang berasal dari keluarga yang kurang taat atau tidak peduli terhadap agama, perlu perhatian yang serius. Sebab jika tidak, maka anak didik tidak akan peduli terhadap pendidikan agama, lebih parah lagi mereka menganggap remeh pendidikan agama. Sikap ini akan sangat berbahaya, meskipun demikian, tentu ada faktor-faktor yang mempengaruhi peserta didik seperti; minat belajar, keluarga, lingkungan, dan lain sebagainya.

Diantara problematika pendidikan PAI yang berhubungan dengan peserta didik adalah : (1) rendahnya minat peserta didik untuk memahami ilmu-ilmu agama Islam, (2) rendahnya minat dan kemampuan peserta didik untuk bisa membaca dan memahami Al-Qur’an, (3) peserta didik belum memiliki dasar keimanan dan ketakwaan yang kuat, sehingga mudah untuk terbawa arus, (4) semakin banyak peserta didik yang berprilaku menyimpang dari moral agama, pergaulan bebas semakin meningkat, (5) peserta didik terbiasa dengan narkoba, kekerasan, dan tindak anarkis.[7]

Masalah yang paling memprihatinkan adalah tentang etika dan akhlaq siswa. Karena berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh dari Swiss, yang telah melakukan penelitian di sebelas negara tentang faktor-faktor yang meletarbelakangi menurunya ekonomi bangsa. Menurutnya, diantara faktor yang paling mempengaruhi adalah akhlaq.[8]

Akhlaq seakan-akan menjadi acuan keberhasilan pendidikan agama Islam, terutama pendidikan di tingkat SD/MI. Pendidikan dasar akan sangat berimplikasi pada masa depan seseorang, maka dari itu, tidak mengejutkan ketika Gunar Mirdal menyimpulkan sebagaimana di atas. Sebagai contoh, anak yang sejak kecil dibiasakan untuk diberi imbalan ketika melakukan kebaikan, maka hal ini akan terus dia amalkan, sehigga semakin banyak usianya, maka semakin banyak imbalan yang dia minta, hal ini yang menyebabkan korupsi semakin tumbuh segar.

2. Guru / Pendidik

Peran guru sangat penting dalam proses pendidikan. Bahkan ada lelucon yang mengatakan andaikan pak Mendiknas dan Kabid Mapenda tidak masuk kantor, sedangkan guru tetap masuk dan mengajar, maka pendidikan akan tetap berjalan, akan tetapi ketika pak Mendiknas dan Kabid Mapenda masuk kantor sedangak guru tidak masuk, maka KBM tidak berjalan dengan baik.[9]

Meskipun guru memegang peranan yang sangat sentral dalam pendidikan, guru juga bisa menjadi sumber problem pendidikan, khususnya pendidikan agama Islam. Problematika tersebut mencakup pola prilaku guru agama yang kadang kurang bisa mencerminkan agama. Selain itu, seorang guru juga bisa menimbulkan permasalahan, sebagaimana penulis kutip dari jurnal Islamic Studies And Islamic Education In Contemporary Southeast Asia : Other problems have to do with teacher competence, curriculum, instructional materials and infrastructure..Beberapa guru memang dalam praktisnya tidak terlalu menguasai materi yang diajarkan, terutama di sekolah-sekolah swasta di daerah, hal ini tetntu akan menimbulkan persoalan, karena pendidikan agama idealnya dipegang oleh ahli dibidangnya.

Hal senada juga dikemukakan oleh Muhaimin dan Suti’ah yang mengutip pendapat Towaf. Bahwa guru juga memiliki andil dalam munculnya problematika. Yakni metode yang digunakan cenderung monoton, sehingga siswa kurang antusias dalam belajar PAI.[10]

3. Keluarga dan lingkungan

Situasi dan kondisi di dalam keluarga dan lingkungan sosial sedikit banyak pasti berimbas pada siswa yang kemudian banyak memunculkan permasalahan. Keluarga menjadi faktor yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan dan kegagalan siswa di semua aspek kehidupan seseorang, termasuk pada permasalahan pendidikan. PAI akan semakin bermasalah ketika sering dijumpainya orang tua yang kurang memperhatikan pendidikan agama anaknya, hal ini tidak hanya terjadi di perkotaan saja, di pedesaan juga banyak ditemukan orang tua yang kurang memberi perhatian serta tidah memberikan contoh bagaimana PAI dalam aplikasinya sehari-hari.

Banyaknya orang tua yang kurang memperhatikan perkembangan pendidikan agama Islam ankanya karena beberapa faktor, diantaranya adalah karena orang tua disibukkan dengan bekerja. Sehingga orang tua tidak ada waktu untuk mengontrol sholat serta akhlaq anak ketika di rumah. Padahal idealnya adalah guru mengajarkan materi keagamaan di sekolah, seperti tata cara sholat, kepada siswa, kemudian aplikasinya adalah setiap hari siswa melaksanakan sholat minimal lima kali dalam satu hari, akan tetapi masih ada beberapa orang tua yang tidak memperhatikan sholat anaknya karena faktor berkerja sebagaimana ditulis oleh pemakalah sebelumnya.

Lingkungan hidup siswa juga sangat brengaruh terhadap siswa. Ketika lingkungan sosialnya merupakan lingkungan yang tingkat religiusnya tinggi, maka siswa akan lebih memahami aplikasi PAI yang sesungguhnya, akan tetapi ketika lingkunga sosialnya kurang memberi perhatian pada agama, maka secara otomatis anak didik hanya akan menganggapa PAI hanya sekedar mata pelajaran di sekolah sebagaimana mata pelajaran lain seperti IPA, IPS dan Bahasa Indonesia.

4. Politik

Kondisi politik juga sangat berpengaruh terhadap munculnya problematika pendidikan PAI. Ketika pemegang kekuasaan memutuskan sebuah kebijakan yang mengamini bahwa pendidikan agama merupakan hal yang sangat penting, maka kurikulum yang diberlakukan akan memandang agama sebagai faktor yang dipertimbangkan dalam merumuskan kurikulum, akan tetapi ketika pemegang kekuasaan lebih fokus kepada pendidikan yang beorientasi pada materi eksakta saja, maka pendidikan agama dianak tirikan dan kurang mendapat perhatian.

Politik juga memegang peranan dalam hal menyelesaiakan dan menemukan solusi dalam dunia pendidikan, tidak hanya pendidikan agama, akan tetapi semua aspek dan problematika pendidikan. Keadaan politik yang stabil maka akan berimplikasi bai disemua aspek kehidupan.

Probematika pendidikan PAI bisa muncul di segala aspek eksternal lainya, seperti, metode mengajar, fasilitas belajar, sarana dan prasarana. Akan tetapi permasalahan yang mungkin muncul di semua aspek tersebut bisa ditutupi dengan guru yang senantiasa bisa memanage sebaik mungkin. Aspek-aspek tersebut bisa menjadi masalah jika seorang guru tidak berhasil untuk menyembunyikan kekurangan dimana-mana dengan kesempurnaaan performa seorang guru.

Penutup

Demikian pembahasan tentang problematika pendidikan PAI di indonesia dan penulis memberikan menjelaskan tentang Model dan Desain Pembelajaran Dick and Carey sebagai tambahan wawasan anda untuk belajar agama islam. semoga bermanfaat.

Fote Note

[1] Ibid; 158.

[2]Carmen Abu Bakar, Mainstreaming MAdrasah Education In The Philippines: Issues, Problems And Challenges, (Islamic Studies And Islamic Education In Contemporary Southeast Asia), 77.

[3] Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam;Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen, Kelembagaan, Kurikulum Hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2009), 242.

[4] Ibid.

[5] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: C.V. Pustaka Setia, , 1997) 75.

[6] Muhaimin, Pemikiran, 157.

[7] Ibid; 159.

[8] Fadhil al-Jamali, Menerabas Krisis Pendidikan Dunia Islam, (Jakarta: Golden Terayon Press, 1981), cet ke-1, 103. Yang dikutip oleh Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2004), 169-170.

[9] Muhaimin, Pemikiran, 162.

[10] Muhaimin & Suti’ah, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2002), 90.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *