Lompat ke konten
Home » √ Sejarah Islam Di Uzbekistan (Asia Tengah), Lengkap dari A – Z!

√ Sejarah Islam Di Uzbekistan (Asia Tengah), Lengkap dari A – Z!

Daftar Isi

Sejarah Islam Di Uzbekistan (Asia Tengah)Negara Uzbekistan terletak di jantung Asia Tengah yang luasnya sekitar 447.400 km persegi. Jumlah penduduknya berdasarkan data statistik tahun 1419 H/ 1998 M sekitar 24 juta jiwa (terdiri Uzbek, Rusia, dan Tartar). Persentase kaum muslimin di negeri ini lebih dari 88 %, mereka adalah pengikut mazhab sunni.

Perekonomian Negara ini disandarkan kepada kekayaan hasil pertanian dan tambang. Di sana juga terdapat kapas, padi, dan sutera, di samping penghasil minyak dan batu bara.[1]

Di dalam Uzbekistan terletak pusat-pusat kebudayaan Islam yang paling prestius dan berpengaruh di Asia Tengah: kota Bukhara, Samarkand dan Khiva, merupakan tempat yang memiliki akar kuat dalam menentukan perkembangan intelektual Islam dunia. Bahkan wilayah ini, ketika seluruh kota-kota Islam mulai tercemari oleh kolonialisme Eropa dan ide-ide yang dibawanya, kota suci Bukhara merupakan objek keyakinan kaum muslimin yang belum tercemar sama sekali. Dengan demikian, pada periode itu, madrasah Bukhara sebagai pusat kegiatan muslim Asia Tengah Khususnya dari wilayah-wilayah kekaisaran Rusia dan lainnya.[2]

Sejarah Masuknya Islam di Uzbekistan (periode klasik)

Sejarah Islam Di Uzbekistan (Asia Tengah) – Di Transoxiana, terdapat dua kota penting, tempat peradaban Islam pernah berkembang dengan pesat, yaitu Samarkand dan Bukhara. Samarkhand terletak di sebelah selatan sungai Al-Saghad. Riwayat tentang kota Samarkand yang tertua disebutkan dalam berita-berita tentang peperangan-peperangan Iskandar Zulkarnain (Alexander the Great) di Timur. Menurut berita itu, kota ini beberapa kali diduduki oleh Iskandar ketika ia dan pasukannya berperang melawan Spitamenes. Tetapi, menurut riwayat-riwayat tertua dalam bahasa Arab, Iskandarlah yang mendirikan kota Samarkand itu. Setelah itu, kota ini menjadi bagian dari sebuah kekuasaan yang berpusat di Bactria.

Setelah itu, di sana berdiri kerajaan Graeco-Bactrion (Bactria Yunani) pada masa Anthiochus II Theos. Sejak saat itu, hubungan politik dan ekonomi antara Samarkand dengan Persia dan Cina terputus, meskipun hubungan dalam bidang budaya, masih tetap berlanjut. Riwayat kota Bukhara sebelum Islam juga panjang kota ini diperkirakan sudah ada ketika Iskandar datang ke sana Dilihat dari bangunan-bangunan kuno, pengaruh Persia sudah lama tertanam di sana. Pengaruh Cina juga besar. Sebelum Islam datang disana terdapat tempat ibadah agama Budha.[3]

Kebangkitan Umat Islam

Salah seorang walisongo, yaitu Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419 M ) juga disebutkan konon berasal dari daerah Samarkahand,karena ia berasal dari keturunan Ibrahim As-Samarkandi, yang kemudian di Jawa terkenal dengan sebutan Ibrahim Asmarakandi.[4]

Setelah kebangkitannya yang gemilang, umat Islam berusaha mengadakan ekspansi ke negeri ini. Akan tetapi, usaha-usaha itu selalu gagal, kecuali setelah Qutaibah bin Muslim ditunjuk sebagai gubernur Khurasan. Ketika itu Samarkand diperintah oleh Tharkun pada tahun 91 H (709 M) Ia mengadakan perjanjian damai dengan Qutaibah dan berjanji untuk membayar jizyah (pajak) kepada pemerintahan Islam di Damaskus, di bawah dinasti Bani Umayyah. Namun, penduduk negeri itu marah kepada Tarkhun dan menurunkannya dari kekuasaannya.

Posisinya di ganti oleh Ikhsyiz Ghurik, Qutaibah berhasil memaksa Ikhsyiz untuk menerima perjanjian itu pada tahun 93 H (912 M) setelah ia dan pasukannya mengepung kota tersebut dalam waktu yang cukup panjang. Quthaibah memperkenankan Ikhsyiz tetap pada posisinya, tetapi ia menempatkan seorang wakilnya sebagai penguasa Arab dengan satu pasukan yang kuat. Sejak itu, Samarkand dan Bukhara menjadi batu loncatan untuk melancarkan ekspansi lebih luas di negeri Transoxiana. Ekspansi Islam itu dilalui dengan berat dan melalui banyak sekali pertempuran.

Pada tahun 204 H (819 M), Al-makmun, khalifah dari dinasti Bani Abbas yang berpusat di Baghdad, menyerahkan urusan pemerintaha negeri Transoxiana, khususnya Samarkand dan Bukhara kepada keluarga keluarga Asad bin Saman. Sejak itu, dua kota ini berada di bawah kekuasaan dinasti Samaniah. Dalam pemerintahan dinasti Samaniah. Samarkand menjadi daerah yang sangat makmur dan masyarakatnya hidup sejahtera.

Ketika itu Samarkand dan Bukhara, masing-masing terbagi menjadi tiga bagian sebagaimana lazimnya kota-kota di Persia, yaitu daerah benteng, kota sebagai pusat dan perkampungan. Di daerah benteng terdapat istana, kantor-kantor pemerintahan dan penjara. Di sekitar kota di gali parit yang dalam dan tanahnya dibuat tembok kota. Kota Samarkand mempunyai empat buah pintu utama, sementara itu Bukhara tujuh buah pintu. Kota berbatasan dengan perkampungan, yang terdapat pasar-pasar besar, pertokoan, dan gudang harta yang jarang terdapat di kota di tengah berdiri kantor-kantor pemerintahan dan masjid Jami’.

Penghasilan utama kota Samarkand adalah kertas Samarkand yang terkenal. Pabrik kertas ini dipindahkan dari Cina. Sedangkan, kota Bukhara terkenal dengan perdagangan dan industri tenunnya.hasil industry tenun diekspor ke Syria, Mesir, dan Romawi. Kalau di Samarkand terdapat makam terkenal yang sampai sekarang masih dihormati dan dikunjungi orang, yaitu makam Qasim bin Abbas yang dipandang sebagai pembawa agama Islam ke negeri ini pada masa Khalifah Utsman bin Affan, di Bukhara juga terdapat makam Baha’ Al-Din Al-Naqsyabandi yang wafat pada abad ke-8 H (14 M).

Kelahiran Ulama’ Islam Berkaliber Dunia

Perlu disebutkan juga, seorang ulama terkenal pada masa itu, Abu Manshur Al-Maturidi, wafat di Samarkand pada tahun 333 H (944 M). Dia adalah pendiri aliran teologi Islam yang dikenal dengan alirann Maturidiah. Aliran ini dikembangkan oleh muridnya bernama Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi (421-493 H/ 1030-494 M) di Bukhara, yang melahirkan aliran teologi Islam dan dikenal dengan aliran Maturidiah Bukhara. Ulama terkenal lainnya dari Bukhara adalah Imam Bukhari, seorang ahli hadis terkenal di dunia Islam yang menulis kitab Shahih Al-Bukhari. Bukhara memang dikenal sebagai pusat ilmu-ilmu keagamaan Islam.

Setelah dinasti Samaniah runtuh, Samarkand dan Bukhara jatuh ke tangan dinasti Saljuk Sanjar tahun 495 H (1102 M), tetapi empat puluh tahun kemudian, tepatnya pada tahun 536 H (1141 M), kota ini di rebut oleh dinasti Khawarizmsyah yang menjadikan Bukhara sebagai pusatnya. Pada tahun 606 H (1209 m), dua kota ini dikepung oleh Jengis Khan selama beberapa bulan setelah ia menyeberangi sungai Jihun. Bukhara adalah kota Islam pertama yang disrang Jengis Khan, yaitu pada tahun 616 H (1220 M), setahun kemudian, kota Samarkand, setelah sebagaian penduduk dibunuh dan sebagaian bangunan dihancurkan, penduduk yang lain diperkenankan tinggal di sana di bawah kekuasaan Mongol.

Selama seratus lima puluh tahun berikutnya, sejarah kota ini sangat menyedihkan. Rumah-rumah penduduk sangan sedikit, dikelilingi oleh puing-puing. Kebangkitan kembali terjadi mulaitahun 771 H (1369 M), pada masa pmerintahan Timur Lenk, penguasa tertinggi di Tranxosiana. Timur lenk menjadikan Samarkand sebagai ibu kota pemerintahannya. Kota ini diperindah oleh Ulugh Bek (w.857 H/1449 M), cucu Timur lenk, dengan mendirikan sebuah istana yang sangat megah. Di pihak lain, Bukhara, secara politik, menjadi sebuah kota yang tak berarti.

Pada tahun 906 H (1500 M), dua kota ini jatuh ke tangan Syaibani, raja Uzbek. Setelah ia wafat, pada tahun itu juga direbut oleh Babur, raja Mughal India. Akan tetapi, tahun berikutnya Babur kembali ke India dan daerah Transoxiana kembali dikuasai orang-orang Uzbekistan. Pada tahun 1917 M, Uni Soviet berdiri dan Uzbekistan yang didalamnya terdapat Samarkand dan Bukhara menjadi bagian dari Uni Soviet.[5]

Sejarah Islam Uzbekistan pada masa kontemporer

Sejarah Islam Di Uzbekistan (Asia Tengah) – Di bawah kekuasaan pada Tsar Rusia dan Soviet, Tashkent sebagai ibu Uzbekistan modern, menjadipusat politik yang dominan di seluruh wilayah itu. Dengan bercokolnya pemerintahan komunisme Uni Soviet di wilayah ini setelah tahun 1917, kebijakan anti Islam pun mulai diberlakuakan meskipun pada awalnya mendapat perlawanan bahkan kecaman dari anggota komunis di Uzbekistan dan Asia Tengah secara umum. Secara refresif pemerintahan Soviet selalu melakukan serangan terhadap kegiatan Islam, bahkan perlakuan kasar pada Umat Islam terus menerus dilakukan, termasuk menutup berbagai sarana dan peninggalan warisan Islam seperti tempat-tempat ziarah dan makam-makam orang suci. Muslimin Uzbekistan melakukan perlawanan terbuka terhadap kebijakan ini.

Dengan munculnya pemimpin komunis Uzbekistan dari Islam A. Karimov (kemudian menjadi presiden Uzbekistan merdeka), pemerintahan Soviet akhirnya memberikan kebijakan yang lebih toleran terhadap Islam. Mufti baru Muhammad Shaddiq Muhammad Yusuf diangkat sebagai figure public yang amat menonjol, yang pikiran-pikirannya mulai didengar di kalangan Islam Uzbekistan, sekalipun penuh dengan pengawsan pemerintahan komunis. Dia sangat membatasi diri untuk tidak bersinggungan dengan pemerintahan sekuler yang sedang berkuasa. Batasan-batasan ini seolah-olah belum diberi hak secara penuh berbicara di depan public atau bahkan oleh sebagaian orang ia dianggap sebagai corong penguasa, sehingga menimbulkan ketidakpuasan di kalangan ulama dan umat setempat.

Deklarasi kemerdekaan Uzbekistan

Deklarasi kemerdekaan Uzbekistan pada 31 Agustus 1991, telah membuang semua rintangan kaum muslim di wilayah ini untuk mewujudkan kehidupan spiritual dan sosial serta menjalankan pendidikan agama yang sudah sekian lama dilarang dan diabaikan. Masjid-masjid, madrasah kembali membuka pengajaran Al-Qur’an baik laki-laki maupu perempuan. Penerbitan keagamaan bangkit kembali dan dijual bebas di toko-toko, serta ikln-iklan darmawisata untuk membawa orang-orang Uzbekistan untuk berziarah ke makam-makam suci kian hari kian semarak.

Dalam konteks yang lebih luas kemerdekaan republik-republik di Asia Tengah ini menyebabkan mufti Tasykent yang diangkat oleh pemerintah kehilangan otoritasnya karena sejumlah tokoh agama lokal juga bermunculan. Bersamaan dengan itu, hubungan dan kunjungan duta-duta dari sejumlah Negara-negara muslim konservatif ke wilayah ini, seperti Iran dan Arab Saudi, pada satu sisi menyebabkan sebagaian orang Uzbek termasuk kaum muslimnya merasa takut dan khawatir, bahkan setelah tirani Soviet jangan-jangan akan digantikan “fundamentalisme Islam” situasi seperti ini cukup memanas terutama di lembah Ferghana di mana para aktivis muslim mulai menyusun kekuatannya, termasuk di Tajikistan.

Presiden Karimov (pemerintahan sekuler sebagai boneka Soviet) diam-diam mengizinkan pengerahan tentara Rusia untuk mengendalikan situasi tersebut. Oleh karena itu, orang-orang Uzbekistan akhirnya lebih memilih Model Turki yang sekuler dalam mengatur pemerintahannya. pemerintahan sipil Presiden Komarov, dalam rangka menahan gejolak kaum muslimin mengadopsi pemerintahan rangkap; satu sisi ulama resmi (mufti) yang setia didukung dengan berbagai cara sebagai perimbangan para aktivis muslim yang tidak sah. Pada sisi lain kekuatan sekuler dipergunakan manakala pengaruh ulama resmi tidak cukup memadahi.[6]

Pada situasi perkembangan seperti ini, dan dengan latar belakang sosial dan ekonomi yang belum terpecahkan akibat lamanya system refresif komunis soviet, Uzbekistan masih meninggalkan sejumlah pertanyaan bagi perkembangannya. Harapan kepada Islam sebagai simbol perlawanan terhadap berbagai ketidakadialan, kemiskinan dan ketertindasan serta sebagai simbol kebangkitan etnik, adalah satu-satunya yan memberi harapan bagi wajah dunia Islam di wilayah ini.

Penutup

Mungkin itu sedikit informasi yang dapat JASA MAKALAH sampaikan, guna Sejarah Islam Di Uzbekistan (Asia Tengah) ini sebagai tambahan informasi anda, semoga bermanfaat.

[1] Ahmad Al-Usairy. Sejarah Islam.Jakarta: Akbar Media, 2011. Hal 513

[2] Ajid Tohir. Studi Kawasan dunia Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2011. Hal 254

[3] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam. Jakart: PT. Raja Grafindo Persada, 2013. Hal 295

[4] Samsul Munir. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah, 2013. Hal 297

[5] Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam. Jakart: PT. Raja Grafindo Persada, 2013. Hal 295-298

[6] Ajid Tohir. Studi Kawasan dunia Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2011. Hal 252-254


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *