Lompat ke konten
Home » √ Sejarah Tasawuf Falsafi, Kajian Kritis Lengkap!

√ Sejarah Tasawuf Falsafi, Kajian Kritis Lengkap!

Daftar Isi

sejarah tasawuf falsafi
sejarah tasawuf falsafi

A. Pengertian Tasawuf Falsafi

sejarah tasawuf falsafi – Lafazh tasawuf merupakan masdar Bahasa Arab dari fi’il (kata kerja) تَصَوَّفَ- يَتَصَوَّفُ menjadi تَصَوُّفًا yang artinya berpindah.[1] Ada juga yang mengatakan kata taswuf itu berasal dari pakaian orang sufi yaitu wol yaitu yang biasa disebut suf.[2] Dan kain tersebut sangat digemari oleh para sufi yang menjadi symbol kesederhanaan pada masa itu. Antara para sufi dan pakaian sufnya sangat berhubungan, yakni jenis pakaian yang sederhana dengan kebersahajaan hidup para sufi.[3]

Menurut pendapat lain pengertian tasawuf diambil dari kehidupan sekelompok muhajirin yang hidup dalam kesederhanaan di Madinah. Mereka selalu berkumpul di serambi masjid yang disebut Suffah.

Pendapat lain menggatakan bahwa kata tasawuf berasal dari Bahasa Yunani Sophos yang berarti hikmah atau ilmu hakekat.[4] Dan masih banyak pendapat yag lainnya.

Sedangkan kata Falsafi merupakan kata yang diadopsi dari Bahasa Arab Falsafah. Dan ada yang mengatakan bersasal dari Bahasa Inggris yakni Philosophy yang berarti upaya secara sungguh-sungguh dengan menggunakan akal pikiran sebagai alat utamnya untuk menemukan hakekat segala sesuatu.[5]

Jadi yang dimaksud dengan tasawuf falsafi adalah tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat.[6] Dari keterangan di atas tasawuf falsafi menurut penulis adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketingkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wahdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat, di dalamnya menonjolkan ungkapan-ungkapan ganjilnya (Shatahiyat) dalam ajaran yang dikembangkan oleh para sufi.

B. Sumber Tasawuf dalam sejarah tasawuf falsafi

sejarah tasawuf falsafi – Ada beberapa tradisi pengalaman ajaran tasawuf yang bersumber dari beberapa ajaran, antara lain: Unsur Islam, Unsur Masehi (Agama Nasrani), Unsur Persia Unsur Yunani dan Unsur Hindu / Budha. Kelima unsur ini dapat diringkas menjadi dua unsur yakni unsur Islam dan Unsur luar Islam.

Unsur Islam

Secara umum Agama Islam menajarkan kepada umatnya agar selalu berbuat baik dan selalu mendekatkan diri pada Allah SWT, atau dengan kata lain amar ma’ruf nahi munkar.[7] Seperti yang tercermin dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW, Walau pada masa ini istilah tasawuf belum dikenal. Ketika beliau mengadingkan diri di Gua Hira’ menjelang datangnya wahyu. Yang dilakukan oleh Beliau hanyalah bertafakur, tidak makan dan minum kecuali yang dihalalkan oleh Allah. Hal yang demikian itu merupakan perilaku orang yang zuhud.

Pada kalangan para sahabat pun mengikuti praktek tasawuf sebagaimana yang diamalkan oleh Nabi Muhammad. Seperti halnya yang dilakukan oleh Sahabat Abu Bakar Al-Sdidiq, beliau pernah berkata: “Aku mendapatkan kemuliaan dalam ketakwaan, kefanaan dalam keagungan dan rendah hati”. Atau yang pernah dilakukan oleh sahabat Umar Bin Khattab pernah berkhutbah dengan mengnakan pakaian yang sangat sederhana. Demikian pula pada Kholifah Uthman Bin `Affan yang banyak menghabiskan waktunya untuk membaca Al-Qur’an.[8]

Selain sumber-sumber dia atas, situasi masyarakat pada masa itu juga turut mempersubur lahirnya konsep tasawuf. Setelah Islam tersebar luas ke seluruh penjuru dunia, masyarakat makmur, dan masyarakat suka melakukan hidup berfoya-foya, lalu muncul segolongan masyarakat yang melakukan proses zuhud seperti yang dilakukan oleh Hasan Al-Basri dan seterusnya.

Unsur Luar Islam

Masyarakat Arab pada umumnya menyukai cara kependetaan, khususnya dalam hal latihan jiwa dan ibadah. Hal ini diperkuat oleh Gold Ziher yang mengatakan bahwa sikap fakir dalam Islam merupakan cabang dari agama Nasrani. Dan pakaian wol itu merupakan pakaian yang biasa digunakan oleh para pendeta.[9]

Namun hal ini dibantah oleh al-Taftazani bahwa dalam Islam itu tidak ada sistem kependetaan sebagaimana yang terdapat dalam Agama Nasrani. Adanya kesamaan unsur tasawuf dengan Nasrani dalam hal Rabbaniyah tidak berarti islam mengambil unsur tersebut. Karena kehidupan semacam tsawuf merupakan kecenderungan universal yang terdapat dalam semua agama, sekalipun berbeda dalam segi formal dan detailnya.[10]

Selain unsur Nasrani, masih ada lagi yang unsur yang dikatakan sebagai sumber tasawuf, seperti Unsur Yunani, Hindhu Budha dan Persia.

C. Perkembangan sejarah Tasawuf Falsafi

sejarah tasawuf falsafi – Perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami beberapa fase. Pada abad pertama dan ke dua Hijriyah mengalami fase asketisme (Zuhud), karena pada masa ini belum dikenal istilah sufi. Pada fase ini bisa dikatakan tasawuf masih sangat murni yang tidak terpengaruh oleh ajaran filsafat.[11]

Pada abad ini individu-individu dari kalangan muslim lebih memusatkan dirinya pada hal ibadah. Mereka tidak meentingkan hal duniawi, berpakaian, makan, minum dan bertempat tinggal seadanya.[12] Tokoh yang terkenal pada masa ini adalah Hasan al-Basri (wafat pada tahun 110 H) dan Rabi’ah Al-‘Adawiyah (wafat pada 185 H).

Pada abad ke tiga Hijriyah, tasawuf mengalami perkembangan yang sangat pesat. Ditandai dengan bebagai macam tasawuf yang berkembang pada masa itu. Yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, pertama tasawuf yang berintikan ilmu jiwa / tasawuf murni. Ke dua tasawuf yang terfokus pada petunjuk-petunjuk tentang cara-cara berbuat baik serta cara-cara menghindarkan keburukan, yang bisanya disebut tasawuf akhlaqi. Dan yang ke tiga adalah tasawuf yang berintikan metafisika, di dalamnya terkandung ajaran yang melukiskan ketunggalan Hakekat yang Maha Kuasa, yang merupakan satu-satu nya yang ada dalam pengertian yang mutlak, serta melukiskan sifat-sifat Tuhan.[13]

Jadi tasawuf falsafi mulai terlihat pada abad ke tiga Hijriyah, golongan ini diwakili oleh Al-Hallaj, yang dihukum mati karena menyatakan pendapatnya mengenai Hulul (309 H).[14]

Selanjutnya pada abad ke empat Hijriyah kemajuan Tasawuf lebih pesat dibandingkan pada abad ke tiga Hijriyah. Bisa terlihat pada usaha ulama` tasawuf untuk mengembangkan ajaran tsawufnya masing-masing. Sehingga kota Bagdad menjadi satu-satu nya kota yang terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling besar. Selain itu para ulama’ tasawuf juga mengajarkan ajarannya ke luar Kota Bagdad, diantara para pelopor tersebut ialah

  • Musa Al-Ansori. Beliau mengajarkan ilmu tasawuf di Khurasan (Persia dan Iran) dan wafat disana pada tahun 320 Hijriyah.
  • Abu Hamid bin Muhammad al-Rubazi; beliau mengajarkan tasawuf di salah satu Kota di Mesir, dan wafat disana pada tahun 322 Hijriyah.
  • Abu Yazid Al-Damiy beliau mengajar di Semenanjung Arabiyah dan wafat disana pada tahun 341 Hijriyah
  • Abu‘Ali Muhammad Bin ‘Abd al-Wahhab Al-Thaqofi, mengajarkan tasawuf di Naisabur dan kota Sharaz dan wafat pada tahun 328 Hijriyah.[15] Selain hal di atas, pada abad ini para sufi banyak memproduksi buku filsafat.

Selanjutnya pada abad ke lima Hijriyah ada pertentangan antara ulama’ sufi dengan ulama’ Fiqih. Dan keadaan semakin rawan ketika berkembang suatu madhhab Shi’ah yang menghendaki pengembalian kekuasaan kepada Kholifah ‘Ali bin Abi Tholib. Seiring waktu berjalan madhhab Shi’ah ini semakin berkembang luas. Hal itu telah membuat Ulama’-Ulama’ Fiqih khawatir.

Keresahan para ulama’ Fiqih tersebut semakin besar, ketika ajaran Filsafat Neo-Platonisme (Filsafat Persia dan India) banyak mempengaruhi tasawuf, sehingga mewujudkan corak tasawuf Falsafi yang sangat bertentangan dengan ajaran tasawuf pada masa awal. Pada abad ke lima Hijriyah ini terjadi pertentangan tiga golongan yaitu golongan Fuqoha ahli ahli tasawuf falsafi dan ahli tasawuf suni.[16]

Dan muncullah tokoh Sufi yang bernama Al-Ghazali, beliau melihat pertentangan tersebut ingin segera meredakan pertentangan tersebut. Al-Ghazali hanya sepenuhnya menerima tasawuf berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan yang seederhana, penyucian jiwa serta pembianaan moral. Disisi lain beliau memberikan kritikan yang tajam terhadap para filosof, seperti kaum Mu’tazilah dan Bat}iniyah. Dan akhirnya Al-Ghazali berhasil mengenalkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat. Sehingga pada abad ini tasawuf falsafi mulai tenggelam.

Namun sejarah perkembangan tasawuf falsafi kembali muncul pada abad ke enam Hijriyah. Ditandai dengan adanya sekelompok tokoh tasawuf yang memadukan tasawuf dengan filsafat dengan teori mereka yang bersifat setengah-setengah. Artinya tidak ada yang disebut tasawuf murni dan tidak ada pula yang disebut dengan filsafat murni. Diantara tokohnya yang terkenal yakni Shuhrowardi al-Maqtul, Shekh Akbar Muhyiddin Ibnu ‘Arabi (wafat pada tahun 638 H). [17]

Pada abad ke tujuh, terdapat beberapa tokoh tasawuf yang berpengaruh, diantaranya

  • Umar Ibnu Faridh (lahir di Homat, Shiria tahun 576 H / 1181 M. da wafat di Mesir tahun 632 H / 1233 M)
  • Ibnu Sabi’in (lahir di Mercial, Spanyol tahun 613 H / 1215 M dan wafat di Makkah tahun 667 H / 1215 M )
  • Jalal Al-Din Al-Rumi (lahir di Kota Balkh tahun 604 H / 1217 M dan wafat pada tahun 672 H / 1273 M)

Pada abad ini tokoh-tokoh tasawuf mendirikan lembaga-lembaga pendidikan tasawuf. Pada akhirnya kegiatan tersebut dinamakan tarekat oleh penganutnya. Yang sering dinisbatkan namanya pada gurunya.[18] Masa ini gairah masyarakat dalam mempelajari tasawuf menurun, karena beberapa faktor:

  • Semakin gencarnya serangan Ulama’ Shari’at memerangi ahli tasawuf. Yang diiringi golongan Shi’ah yang menekuni ilmu kalam dan ilmu fiqih
  • Adanya tekap penguasa atau pemerintah yang ingin melenyapkan ajaran tasawuf karena dianggap sebagai sumber perpecahan umat Islam.

Sehingga bisa dikatakan negeri Arab dan Persia ketika itu sunyi dari kegiatan tasawuf.[19]

Setelah itu, pada abad ke delapan Hijriyah sudah tidak terdengar lagi ajaran atau perkembangan tasawuf yang baru. Dan ada tokoh yang bernama Ibnu Taimiyah (727 H / 1329 M), beliau yang memurnikan ajaran tasawuf dari filsafat.

Akhirnya pada abad ke Sembilan, sepuluh Hijriyah dan sesudahnya merupakan keadaan yang benar-benar sunyi dari ajaran tasawuf bahkan bisa dikatakan tasawuf telah mati.[20]

D. Karakteristik sejarah Tasawuf Falsafi

Karakteristik sejarah tasawuf filosofi secara umum ialah mengandung kesamaran akibat banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Ajaran tasawuf filosofi ini tidak dapat dipandang sebagai filsafat murni, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dhauq), dan juga tidak bisa dikatakan bahasa dan terminologi filsafat.[21]

Sedangkan karakteristik khusus Tasawuf Falsafi ialah:

  1. Konsep pemahaman tasawuf filosofi adalah gabungan pemikiran rasional-filosofis dengan perasaan (dhauq). Kendatipun demikian tasawuf jenis ini sering mendasarkan pemikirannya dengan dalil naqliyah, namun diungkapkan dengan kata-kata yang samar sehingga sulit dipahami oleh orang lain. Kalaupun bisa diinterpretasikan orang lain, cenderung kurang tepat dan sering bersifat subyektif.
  2. Terdapat latihan-latihan rohaniah (Riyadhoh) sebagai peningkata moral untuk mencapai kebahagiaan.
  3. Tasawuf filosofi memandang illuminasi sebagai metode untuk mengetahui hakekat sesuatu, yang menurut penganutnya dapat dicapai dengan fana’.
  4. Menyamarkan ungkapan-ungkapan dengan berbagai simbol dan terminologi.[22]

E. Tokoh-Tokoh Tasawuf dan Ajarannya

Diantara tokoh-tokoh tasawuf falsafi adalah:

  1. Syekh Akabar Muhyid Al-Din Ibnu ‘Arabi (wafat pada tahun 638 H )
  2. Suhrowardi al-Maqtul (wafat pada tahun 549 H )
  3. Ibnu Sabi’in (lahir pada tahun 614 H )
  4. Abu Sulaiman al-Darany (wafat pada tahun 215 H )
  5. Ahmad bin Al-Hawari al-Damashqi (wafat pada tahun 230 H )
  6. ‘Abd Faid Dhun Nun Bin Ibrahim al-Misri (wafat pada tahun 245 H)
  7. Abu Yazid Al-Bustami (wafat pada tahun 261 H)
  8. Al-Hallaj (lahir pada tahun 244 H dan wafat pada tahun 309 H )
  9. Junaid Al-Baghdadi ( wafat pada tahun 298 H)
  10. Al-Ghaznawi (wafat pada tahun 545 H )
  11. ‘Umar Ibnu Al-Farid (wafat pada tahun 632 H)
  12. ‘Abd Al-Haq Ibnu Sabi’in Al-Mursi (wafat pada tahun 669 H)

Dalam makalah ini akan diterangkan mengenai tokoh tasawuf falsafi yang sering kali didengar beserta ajarannya.

Syekh Akabar Muhyid Al-Din Ibnu ‘Arabi

Beliau lahir di Murcia, Spanyol bertepatan pada tanggal 17 Ramadhan 560 H atau 28 Juli tahun 1165 .[23] Setelah studi di Seville ia pindah ke Tunis pada tahun 11945 dan disanalah ia masuk dalam aliran sufi. Pada tahun 1202 M ia pergi ke Makkah dan meninggal di Damaskus dan meninggal pada tahun 1240 M.[24] Beliau termasuk seorang penulis yang produktif, diantara bukunya yang terkenal adalah Futuyah al-Makkah, Risalah Al-Quds.[25]

Beliau termasuk tokoh yang menganut faham Wahdah Al-Wujud. Ia membangun pahamnya berdasarkan akal budi filsafat dan dhauq. Ia menerangkan ajaran tasawufnya dengan bahasa yang berbelit-belit dengan tujuan, untuk menghindari fitnah dan ancaman bagi kaum awam seperti yang dialami oleh Al-Hallaj. Menurutnya Wahdah (Yang ada) itu hanya satu. Pada hakekatnya tidak ada pemisah antara manusia dengan Tuhan. Jika dikatakan antara makhluq dan Kholiq itu berlainan, itu hanya karena pendeknya paham dan akal dalam mencapai Hakekat. Dalam Futuh Al-Makkah, Ibnu ‘Arabi menulis:

يا خا لق الشئ فى نفسى انت لما تخلقه جمىيع تخلق ما لا ينتهى كونه فبك فأنت الضيق الوا سع

Wahai yang menjadikan sesuatu, Engkau kumpulkan apa yang Engkau jadikan, Engkaulah yang menjadikan sempit dan lapang.[26]

Mnurut Ibnu ‘Arabi, wujud alam pada hakekatnya adalah wujud Allah, dan Allah adalah hakekat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut Kholiq dengan wujud yang baru yang disebut makhluq. [27]

Suhrawardi al-Maqtul

Beliau dilahirkan pada tahun 549 H atau 1153 M di Desa Suhraward, persia modern[28] . Suhrawardi ini mempunyai faham filsafat Illuminasi. Prinsip dan asas pertama bagi filsafat ini ialah bahwa Allah adalah cahaya dan sumber bagi semua makhluk-Nya, maka dari cahaya-Nya terdapat cahaya-cahaya lain yang keluar sebagai cikal-bakal / pondasi alam semesta ini.[29]

Al-Hallaj

Nama lengkapnya adalah Husain Bin Mansur Al-Hallaj, dia dilahirkan pada tahun 244 H / 858 M di Negeri Baidha, salah satu kota yang ada di persia. Beliau pernah kelluar masuk penjara akibat konflik dengan ulama fiqih. Dikarenakan padndangan taawufnya yang ganjil. Dan pada akhirnya pada tahun 309 H/ 921 M Kholifah Al-Mu’Tasim Billah dari Bani Abbas memutuskan agar Al-Hallaj dihukum mati.[30]

Beliau membawa paham hulul, menurut bahasa berarti menempati suatu tempat. Sedangkan menurut istilah berarti Tuhan memilih tbuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang adadalam tubuh itu dilenyapkan.

Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan, ia menakwilkan surat Al-Baqarah Ayat 34:

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir.

Sujud di sini berarti menghormati dan memuliakan Adam, bukanlah berarti sujud memperhambakan diri, karena sujud memperhambakan diri itu hanyalah semata-mata kepada Allah.

Dalam ayat tersebut di sebutkan Bahwa manusia mempunyai sifat ketuhanan, karena malaikat sujud kepada Adam. Jadi pada dasarnya manusia itu mempunyai dua sifat yakni sifat kemanusiaan dan sifat ketuhahan. Jika manusia dapat menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya, maka Tuhan dapat mengambil tempat dalam dirinya.[31]

Abu Yazid Al-Bustomi

Nama kecilnya adalah Al-Toifur, beliau disebut-sebut sebagai sufi yang pertman kali memperkenalkan paham Fana’yang berarti lenyap dan Baqo’ yang berarti tetap. Aksud Fana’ disini adlah hilangnan hawa keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannyadan dapat membedakan sesuatu dengan sadar dan telah menghilangkan segala kepentingan ketika berbuat sesuatu.

Dari fana’ dan baqo’ memunculkan Ittihat. Dalam tahapan ini seorang sufi berstu dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan tang dicintai menyatu baik substansi maupun perbuatannya. Sehingga Al-Hallaj mengatakan “Ana A-Haq”. Yang tidak diucapkan oleh ulama’ Fiqih dan dianggap sebagai kemurtadan.[32]

Demikian ulasan singkat seputar sejarah tasawuf falsafi, semoga bermanfaat.

situs: www.rangkumanmakalah.com

DAFTAR PUSTAKA

Anwar. Rosihon. dan Solihin. Mukhtar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2000)

Bakhtiar . Amsal, Fulsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010)

Mahyuddin, Akhlaq Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 1999)

Mustofa. A. Akhlak Tasawuf, (Pustaka Setia: Bandung, 1997)

Nasr . Husain. Seyyed, Filsafat Islam, (Yogjakarta: IRCiSoD, 2006)

Nata. Abuddin, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000 )

Nicolson. A. R.The Mistic Of Islam, (London: Kegan Paul, 1996)

Rivay siregar. A. H, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke New-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2002)

Shatif . M.M., A History Of Muslim Philosophy Volume 1, (Delhi: Low Price Publications, 1995)

Solihin. M. dan Anwar . Rosyid, Akhlaq Tasawuf, (Bandung: Nuansa, 2005)

Sudjiman. Panuti, Filsafat Islam: Metode dan Penerapan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1991)

Syukur. Amin, Mengugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)

Trimingham. Spencer. J. The Sufi Orders In Islam, (New York: Oxford Yuniversity Press, 1973


[1] H.A.Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Pustaka Setia: Bandung, 1997), 202

[2] J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders In Islam, (New York: Oxford Yuniversity Press, 1973), 1

[3] R.A.Nicolson, The Mistic Of Islam, (London: Kegan Paul, 1996), 3

[4] H.A. Rivay siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke New-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2002), 32.

[5] Amsal Bakhtiar, Fulsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), 10

[6] Amin Syukur, Mengugat Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 39

[7] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 43

[8] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000 ), 183

[9] Ibid., 186

[10] Amin Syukur, Mengugat Tasawuf,…………….. 19

[11] Mahyuddin, Akhlaq Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 1999), 69

[12] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf,……………………… 50

[13] Ibid., 70

[14] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf,……………………… 51

[15] Mahyuddin, Akhlaq Tasawuf……………., 76

[16] Ibid., 78

[17] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf,……………………… 51

[18] Mahyuddin, Akhlaq Tasawuf……………., 87

[19] Ibid., 88

[20] Mahyuddin, Akhlaq Tasawuf……………., 89

[21] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf,……………………… 65

[22] Ibid., 66

[23] M.M. Shatif, A History Of Muslim Philosophy Volume 1, (Delhi: Low Price Publications, 1995), 399

[24] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf,……………., 253.

[25] M.M. Shatif, A History Of Muslim Philosophy Volume 1,……………, 398

[26] M. Solihin dan Rosyid Anwar, Akhlaq Tasawuf, (Bandung: Nuansa, 2005), 227

[27] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf,………………………147

[28] Seyyed Husain Nasr, Filsafat Islam, (Yogjakarta: IRCiSoD, 2006), 103

[29] Panuti Sudjiman, Filsafat Islam: Metode dan Penerapan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1991), 59

[30] M. Solihin dan Rosyid Anwar, Akhlaq Tasawuf,……………………………, 211-212

[31] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf,………………………140.

[32] Ibid., 136.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *