Lompat ke konten
Home » √ Sejarah Dualisme Pendidikan di Indonesia, Lengkap!

√ Sejarah Dualisme Pendidikan di Indonesia, Lengkap!

Daftar Isi

sejarah dualisme pendidikan di indonesia
sejarah dualisme pendidikan di indonesia

Terkait dengan dengan sejarah dualisme pendidikan di indonesia atau dengan bahasa sederhananya adalah dikotomi pendidikan maka menjadi problem kontemporer yang keberadaannya tentu tidak lepas dari proses historisitas yang panjang sehingga bisa muncul sampai sekarang ini.[1] Setiap Negara mempunyai history yang berbedabeda dalam kontruksi pendidikan dan sosialnya, [baca: problematika pendidikan PAI] begitu juga pendidikan yang ada di Indonesia.

Awal mula dikotomi pendidikan

Sebagaimana dijelaskan dalam bukunya Karel A. Steenbrink, pada tahun 1888 Menteri Kolonial menolak memberikan subsidi kepada sekolah-sekolah Islam karena “campur tangan Gubernur jenderal yang tidak mau mengorbankan keuangan Negara untuk sekolah-sekolah Islam karena yang pada akhirnya hanya berhasil mengembangkan suatu sistem pendidikan yang sebenarnya tidak menguntungkan pengaruh dan kewibawaan kita. Berdasarkan pertimbangan tersebut, didirikanlah apa yang disebut sekolah desa, sebuah lembaga pendidikan sederhana yang membuka jalan kearah terwujudnya pendidikan umum. Pada saat itu, usul untuk menggabungkan pendidikan Islam ditolak.[2] Sekolah Islam yang berada di surau, mushollah, mesjid atau pondok pesantren yang berkembang pada saat itu.

Penolakan Pendidikan

Penolakan pendidikan agama bagi gubernemen belanda karena mempunyai pendidikan yang tidak terarah dan tidak sistematis atau pendidikan jelek hal ini dikemukakan oleh Inspektur Pendidikan pribumi J.A. Van der Chijs dari belanda lihat bukunya karel A. Steenbrink. Artinya pendidikan bahasa arab yang monoton dengan sistem metode membaca teks Arab yang hanya dihafal tanpa pengertian dan menulis bahasa arab (ngesai), sehingga membutuhkan waktu panjang dalam mengembangkan potensi pengetahuan yang di pelajari baik potensi afektif, potensi kognitif dan potensi psikomotorik. Belum juga perkembangan pengetahuan tidak semua mampu untuk mempelajari bahasa arab tersebut dengan sempurna. Sehinggai sekolah pribumi tidak dapat dipakai.

Memang pada saat itu kekuasaan berada ditangan belanda dimana belanda kebijakan Pada abad kedua puluh dimulai, kebijakan kolonial Belanda mengalami perubahan yang paling signifikan dari arah dalam sejarahnya. Kewenangannya telah memperoleh definisi baru sebagai teritorial penaklukan.[3] Kebijakan tersebut tidak lain menunjukkan kekuasaan penuh dipegang oleh Belanda, sehingga masyarakat pribumi tidak bisa memberikan saran dan usulan hanya sebagai pengikut apa yang direncanakan oleh belanda.

Pendidikan dengan model diatas juga lama untuk mempunyai pengetahuan umum karena pengetahuan bahasa arab tidak sampai memikirkan pengetahuan umum yang menyeluruh. Membutuhkan waktu yang panjang, sedangkan kebutuhan manusia dalam kehidupannya harus seimbang antara kedua pengetahuan tersebut, keseimbangan pengetahuan tersebut akan terwujud bila mana memberikan pengetahuan yang tersistem dan terkonsep metode pengajarannya, materi ajarnya, target dan tujuan dalam pendidikan tersebut.

Sejalan dengan diatas dalam bukunya suwendi yang dimaksud dianggap pembelajaran jelek adalah dari sudut kelembagaan, kurikulum, maupun metode pengajaranya. Akhirnya, pemerintah Hindia Belanda memilih bentuk persekolahan-persekolahan sebagaimana yang sudah dikembangkan jauh sebelumnya, khususnya dalam rangka misionaris.[4] Berarti pendidikan Barat sudah mempunyai keterampilan yang baik dalam pendidikan sehingga tidak setuju metode pendidikan yang dilakukan oleh pribumi. Tujuan didirikan pendidikan tersebut agar bisa membantu dalam melaksanakan sistem kenegaraan dengan cara mewujudkan guru-guru yang profesional dari pribumi dengan upah yang murah daripada mendatangkan guru dari belanda yang mahal.

Memang, titik tolak untuk mengembangkan pendidikan pada dasawarsa terakhir abad lalu, belum merupakan satu bentuk pendidikan umum, melainkan hanya sekedar untk memenuhi kebutuhan pegawai gubernemen.[5]

Selain itu dengan mendirikan pendidikan umum pribumi akan mampu mengetahui dan menguasai bahasa latin yang biasa digunakan oleh belanda agar mereka patuh pada peraturan yang diputuskan oleh belanda sehingga masyarakat pribumi akan tunduk. Hal ini dicatat di dalam sejarah islam indonesia.

Titik balik dalam sejarah dualisme pendidikan di indonesia

Sejarah dualisme pendidikan di indonesia, Sejalan dengan pemikiran diatas, Gubernur Jendral Van den Capellen pada tahun 1819 M mengambil inisiatif merencanakan berdirinya sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar dapat membantu pemerintah belanda. Dalam surat edarannya kepada para Bupati tersebut sebagai berikut: “ Di anggap penting untuk secepat mungkin mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin meratanya kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar mereka lebih mudah untuk dapat menaati undang-undang dan hukum Negara”.[6] Hal ini terlihat mereka menganggap bahwa masyarakat pribumi dalam pendidikan di surau, mushlalla dan pesantren adalah masih bodoh yang tidak tahu apa-apa tentang pengetahuan membaca dan menulis latin, padahal masyarakat pribumi tetap bersikukuh keras untuk bisa mengalahkan penjajah.

Pada saat yang sama, di Minahasa dan Maluku terdapat sejumlah sekolah yang didirikan dan dikelola oleh zending tetapi mendapat subsidi dari pemerintah. Sama seperti lembaga pendidikan Islam di Indonesia, sekolah ini hampir 100 persen memusatkan diri pada pendidikan agama.[7] sejalan pemikiran tersebut dalam bukunya Jihar Aritonang menjelaskan bahwa karakter Kristen Minahasa adalah hasil dari perubahan drastis dalam kehidupan sosial, ekonomi dan agama selama periode pertama kegiatan misionaris pedalaman oleh para pekerja NZG Jerman JG Schwarz dan JF Riedel (1831 sampai awal 1860-an)[8]

Dalam perkembangan pendidikan zending tersebut inspeksi pendidikan Kolonial secara aktif banyak terlibat dalam pendidikan Kristen di Minahasa dan Maluku tersebut. Bahkan secara agak cepat, Van der Chijs megusulkan agar mutu pelajaran umum di sekolah tersebut diperbaiki dan ditingkatkan, sedang mata pelajaran agama dikurangi. Kemudian usul dari inspeksi Kolonial Van der Chijs di amini sehingga masuklah pendidikan umum gubernemen. Secara teknis, memasukkan sekolah tersebut ke dalam sistem sekolah umum lebih mudah dari pada memasukkan pesantren ke dalam sistem pendidikan umum. Sebab para murid sekolah tersebut sudah terbiasa dengan menulis latin.

Dengan berkembangnya model pendidikan tersebut, maka pendidikan Islam berdiri sendiri yang melepaskan dari campur gubernemen Belanda dengan tetap memakai metode tradisional. Lama kelamaan dengan pendidikan tradisional menumbuhkan patriot nasional tinggi untuk menjadikan Negara yang merdeka dan pendidikan Islam berdiri sendiri sama halnya dengan pendidikan umum. [baca: islam dan pengembangan ilmu pengetahuan]

Demikian dalam pembahasan sejarah dualisme pendidikan di indonesia ini, dan untuk mengetahui sejarah dualisme pendidikan yang ada di negara lain maka [baca: kemajuan dunia intelektual di spanyol] semoga bermanfaat.

Fotenote

[1] M. Rusydi, Wacana dikotomi ilmu dalam pendidikan Islam dan pengaruhnya,(tt,tc,tt), 24

[2] Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, (Jakarta: PT Pustaka, 1994), 7

[3] M. C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c.1200, (Basingstoke: Palgrave, 2001), 193

[4] Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004), 65.

[5] Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, 6.

[6] Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), 148

[7] Ibid., 4.

[8] Jan Sihar Aritonang and Karel Steenbrink, A History of Christianity in Indonesia, (Indonesia: leiden, 2008), 419.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *