Daftar Isi
khalifah umar bin khattab – Untuk menetapkan suatu keputusan yang berhubungan dengan kemaslahatan orang banyak diperlukan prinsip musyawarah karena sadar bahwa jalan pikiran kita sangat terbatas jangkauannya. Sesungguhnya Rasulullah dan para Sahabat adalah orang-orang yang paling paham terhadap makna hakiki al-Qur’an, karena itu keteladanan watak, kepribadian dan akhlak Rasul serta Sahabat senantiasa dijadikan panutan dan idola sepanjang zaman.
Dalam mengembangkan ajaran yang dibawa oleh nabi muhammad saw pasca wafat. Para sahabat mempunyai karakteristik tersendiri dalam penyebarannya, ada yang dimulai dengan jalan perdamaian dan ada pula dengan jalan kekerasan. Hal ini berimplikasi pada mindset dari masyarakat bahwa islam itu sumber perdamaian, keadilan dan kesejahteraan serta ada juga yang beranggapan bahwa islam itu agama kekerasan.
Dalam Sejarah Islam ini, penulis akan menyajikan beberapa describsi dari penyebaran islam pada masa khalifah yang kedua yaitu umar bin khotob serta perkembangan peradaban dari masa pemerintahan khalifah yang terkenal dengan pedangnya tersebut.
Silsilah dan Keluarga khalifah umar bin khattab
khalifah umar bin khattab adalah sahabat nabi yang kemudian menjadi khalifah kedua setelah Abu Bakar al-Shiddiq pada tahun 634-644 H. Nama lengkapnya umar bin khattab bin Nufail bin ‘Abdul ‘Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Razah bin ‘Adi bin Ka’b bin Lu’ayi bin Fihr bin Malik[1]. Umar dilahirkan di kota Mekkah dari suku bani ’Adi, yaitu salah satu rumpun suku Quraisy yang terbesar di kota Mekkah dan dinilai mempunyai status strata sosial tinggi saat itu. Meski demikian, ayah Umar tidak termasuk kaum the haves yang serba berkecukupan. Justru sebaliknya, keadaan finansialnya pas-pasan, namun dia sang pemberani dan cerdas serta dihormati dikalangan orang sekelilingnya.
Dari segi nasab, jika dihubungkan pada Rasulullah, Umar masih ada hubungan sanak yang sambung, yaitu dari ’Adi, saudara laki-laki Murrah, kakek nabi Muhammad SAW yang kedelapan. Ibu Umar bernama Hantamah binti Hasyim bin al-Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum[2].
khalifah umar bin khattab memiliki kecenderungan mengawini banyak perempuan dengan harapan akan mempunyai banyak keturunan sebagaimana pola pikir masyarakat Arab kala itu. Umar mangawini sembilan perempuan dan dikaruniai dua belas keturunan, delapan laki-laki dan empat perempuan. Namun setelah masuk Islam kelima istri khalifah umar bin khattab diceraikannya, karena aturan dalam Islam batasan menikah hanya empat istri. Salah satu istri Umar adalah Ummi Kulthum putri Ali bin Abi Thalib[3].
Masa Muda khalifah umar bin khattab
khalifah umar bin khattab dibesarkan layaknya anak-anak Quraisy pada umumnya. Dia mengembala unta ayahnya di Dajnan atau tempat lain dipinggiran kota Makkah. Betapapun tingkat kedudukannya, mengembala merupakan hal yang biasa di kalangan Quraisy kala itu. Hanya saja, letak perbedaannya, Umar mengenyam pedidikan baca-tulis yang kala itu tidak semua orang tua mengizinkan anaknya. Malah sebaliknya, banyak orang tua yang menghindari dan menghindarkan anaknya-anaknya belajar. Sejarah mencatat, dari semua suku Quraisy ketika nabi diutus, hanya ada tujuh belas orang yang pandai baca-tulis[4], salah satunya Umar bin al-Khaţţāb
Kepandaian umar tidak hanya sebatas pada baca-tulis yang kala itu bukanlah menjadi hal istimewa di kalangan bangsa Arab, Umar juga mempunyai hal istimewa dibidang olah raga. Umar tergolong pemuda berani dengan performa tinggi besar dibanding usia sebayanya. Wajahnya putih agak kemerahan, tangannya kidal dan berkaki lebar hingga caranya berjalan begitu cepat. Dalam olah fisik, ia dikenal sebagai atlet gulat yang biasa berlaga pada pekan tahunan ‘Ukaz dan berakhir dengan memperoleh predikat jawara. Dibidang olah raga lainnya, khalifah umar bin khattab juga tercatat sebagai penunggang kuda yang handal[5].
Setiap individu tentu mempunyai nilai plus-minus yang beragam, begitu pula khalifah umar bin khattab. Di masa mudanya sebelum masuk Islam, sejarawan mencatat disamping dia berkepribadian kasar dan beringas, Umar termasuk pecandu minum-minuman keras melebihi teman-temannya. Umar juga gila wanita dan bersya’ir. Prilaku Umar yang demikian bukanlah hal yang tabu di kalangan Arab. Karena yang demikian memang tradisi orang Arab jahiliyah kala itu. Sehingga merupakan hal yang wajar bermabuk ria dan bermain-main dengan wanita, menggodanya dan menikmati hamba sahaya yang mereka miliki.
Masa kepemimpinan khalifah umar bin khattab
Kepemimpinan khalifah Umar bin al-Khaţţāb selama lebih dari sepuluh tahun sebagai Amīrul Mukminīn dan kepala pemerintahan penuh dengan capaian prestasi. Umar sebagai Khalīfah tidak sekadar kepala negara dan kepala pemerintahan, lebih-lebih dia sebagai pemimpin umat. Ia sangat dekat dengan rakyatnya dan berusaha menempatkan diri sebagai salah seorang dari mereka. Meski telah masuk Islam, peranannya bagi masyarakat jahiliah sebelum ia masuk Islam, kepribadiannya sebagai manusia Arab dan kemudian sebagai Muslim merupakan teladan yang sukar dicari tolok bandingnya dalam sejarah.
Pada masa pemerintahan Umar, selain sebagai kepala pemerintahan, ia juga berperan sebagai seoarang Fāqih. Peranannya dalam ijtihad dan pengaruhnya terhadap perubahan pandangan hukum berpengaruh besar pada masanya hingga saat ini. Di kalangan Muslimin, Umar terkenal karena ijtihadnya yang luar biasa dan berani dalam memecahkan masalah-masalah hukum, sekalipun yang sudah termaktub dalam al-Qurān.
Kehadiran Rasūlullah Muhammad Saw, telah membawa perubahan yang sangat besar bagi masyarakat Arab khususnya Umat Islam. Selain lihai dalam menyelesaikan masalah politik dan urusan konstitusional Rasulullah SAW juga merubah sistem ekonomi dan keuangan negara, sesuai dengan ketentuan Al-Qurān. Dalam Al-Qurān telah dituliskan secara jelas semua petunjuk bagi umat yang tentunya dapat diambil dan diadopsi menjadi petunjuk untuk semua urusan manusia[6].
Pada masa khulafāur rāshidīn, syariat Islam juga tidak dapat diberlakukan secara sempurna. Saat itu, para sahabat dihadapkan pada berbagai kenyataan hidup dan kondisi sosial yang berbeda dengan yang terjadi pada masa Rasul, sehingga menuntut mereka untuk melakukan ijtihad, serta bermusyawarah di antara mereka. Suatu saat, para sahabat dapat saja sependapat dan bersepakat mengenai satu hal, tetapi pada saat lain tidak menutup kemungkinan justru berselisih pendapat. Hal tersebut juga terjadi pada masa ke khalifah umar bin khattab.
khalifah umar bin khattab adalah seorang yang dipandang sebagai penggagas terbentuknya ilmu pemerintahan Islam. Dia adalah seorang yang pertama kali memberikan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan baku yang terkait dengan hukum dan peradilan, bagaimana mengatur pemerintahan dengan membaginya ke beberapa daerah kecil untuk lebih mudah mengaturnya dan sebagainya.
khalifah umar bin khattab adalah seorang yang dalam memutuskan sesuatu yang terkait dengan hukum, selalu berpegang teguh pada al-Qur’ān sebagai perundang-undangan (dustur) utama dan pertama. Setiap pandangan hukum yang dikeluarkannya selalu dibangun berdasarkan ketentuan tersebut, dan tidak pernah menyalahinya. Akan tetapi sebagian besar pemahaman yang dibentuk untuk menetapkan suatu hukum, oleh Umar bin Al-Khattab tidak lepas dari aspek-aspek kemaslahatan masyarakat (umat), seperti menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kebaikan, tolong menolong, dan penegakan hak-hak yang ada dalam masyarakat, termasuk dalam kebijakan-kebijakan ekonomi. khalifah umar bin khattab terkenal sangat berani melakukan ijtihad, hal ini dilakukan karena Umar melihat lebih jauh dan lebih dalam terhadap ajaran Islam, yaitu adanya prinsip kemaslahatan umat[7].
1. Dinamika Politik dan Administrasi Pemerintahan khalifah umar bin khattab
khalifah umar bin khattab – Serangkaian penaklukan bangsa Arab dipahami secara populer dimotivasi oleh hasrat akan harta rampasan perang, dan termotivasi oleh agama yang tidak menganut keyakinan tentang bangsa yang terpilih, layaknya Yahudi. Salah satu prinsip agama Islam adalah menyebarkan ajarannya kepada orang lain, lain halnya dengan Yahudi yang menganggap bangsanya sendirilah yang terpilih dan menganggap bangsa lain adalah domba-domba sesat[8]. Keyakinan inipun otomatis juga berpengaruh kepada lancarnya beberapa ekspansi pada masa Umar bin al-Khaţţāb.
Motivasi apapun yang terlibat di dalam beberapa penaklukan tersebut, semuanya merupakan perluasan yang telah terencana dengan baik oleh pemerintahan khalifah umar bin khattab, meskipun sebagian kecilnya berlangsung secara kebetulan. Beberapa wilayah yang akan ditaklukkan dilihat dari kesuburan tanahnya, kestrategisannya dalam dunia perdagangan dan kestrategisannya untuk menjadi basis-basis penaklukan berikutnya. Seperti kota Mesir yang ditaklukkan, kota ini merupakan lumbung besar bagi Kostantinopel.
Kostantinopel mulai mengalami kekalahan dalam peperangannya dengan pasukan-pasukan muslim setelah Mesir jatuh ketangan negara Islam. Sedangkan untuk menaklukkan Sasania, pasukan muslim tidaklah mengalami kesulitan, karena selain dari sisi kekuatan politis imperium ini yang telah melemah dan hancurnya adiministrasi, juga hubungan baik antara negara-negara kecil yang sebelumnya merupakan wilayah kekuasaan mereka, juga karena Iraq telah jatuh ke tangan pasukan muslim pada masa sebelumnya.
Selain itu, beberapa alasan yang mendukung keberhasilan serangkaian penaklukan ini adalah tidak terjalinnya hubungan baik antara pemerintah dengan rakyat. Dalam beberapa kasus hal ini sungguh penting, karena orang-orang Kristen Arab yang merupakan bagian imperium yang ditaklukkan lebih menerima dan bergabung dengan pasukan muslim. Lebih jauh lagi migrasi orang-orang Arab badui juga ikut menjadi alasan keberhasilan ini. Dalam mengorganisasi orang-orang Badui, khalifah umar bin khattab membangun beberapa mishr. Mishr ini menjadi basis tempat orang-orang badui. Selain itu juga sebagai basis-basis militer dengan tujuan penaklukan selanjutnya.
Beberapa kampung-kampung militer terbesar yang dibangun pada masa Umar bin Al-Khattab adalah Bashrah yang bertujuan untuk mempermudah komunikasi dengan Madinah, ibu kota negara dan juga menjadi basis penaklukan menuju Iran Selatan. Kufah dibangun untuk menjadi basis administrasi pemerintahan untuk Irak Utara, Mesopotamia bagian Timur dan Utara Iran. Selain menjadi basis militer dan pemerintahan, amshar juga menjadi pusat distribusi dan administrasi pajak. Dengan begitu sistem yang diterapkan oleh khalifah umar bin khattab adalah sistem desentralisasi. Gaji para pasukan yang diambil dari pajak, upeti dan zakat dibayarkan melalui pusat-pusat administrasi ini[9].
Pemerintahan khalifah umar bin khattab pada dasarnya tidak memaksakan sebuah sistem administrasi baru di wilayah taklukan mereka. Sistem adaministrasi yang berlaku adalah kesepakatan antara pemerintah dengan elit lokal wilayah tersebut. Dengan begitu, otomatis tidak ada kesamaan administrasi suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Tampaknya hal ini tidaklah menjadi masalah penting pada saat itu.
a) Ekspansi-ekspansi pemerintahan khalifah umar bin khattab
Adapun rangkaian penaklukan yang terjadi pada masa khalifah umar bin khattab sangatlah gencar[10], sehingga wilayah kekuasaan Umar pada saat itu meliputi: benua Afrika hingga Alexandria, Utara hingga Yaman dan Hadramaut, Timur hingga Kerman dan Khurasan, Selatan hingga Tabristan dan Haran.
b) Kebijakan Politis dan Administratif.
1) Ekspansi dan penaklukkan.
2) Desentralisasi administrasi.
3) Pembangunan fasilitas-fasilitas umum, seperti Masjid, jalan dan bendungan.
4) Pemusatan kekuatan militer di amshar-amshar.
5) Memusatkan para sahabat di Madinah, agar kesatuan kaum muslimin lebih terjaga.
6) Aktivitas haji tahunan sebagai wadah laporan tahunan para gubernur terhadap khalifah[11].
7) Membangun kota Kufah dan Bashrah.
8) Pemecatan Khalid bin Walid dari kepemimpinannya[12].
9) Pembentukan beberapa jawatan:
(a). Diwan al-Kharaj (jawatan pajak) yang bertugas mengelola administrasi pajak negara.
(b). Diwan al-Ahdats (jawatan kepolisian) yang bertugas memlihara ketertiban dan menindak pelaku penganiayaan untuk kemudian diadili di pengadilan.
(c). Nazarat al-Nafi’at (jawatan pekerjaan umum) yang bertanggung jawab oelaksanaan pembangunan fasilitas-fasilitas umum.
(d). Diwan al-Jund (jawatan militer) yang bertanggung jawab atas pengelolaan administrasi ke-tentaraan.
(e). Bait al–Mal sebagai lembaga perbendaharaan negara yang bertanggung jawab atas pengelolaan kas negara. Beberapa tugasnya adalah memberikan tunjangan (al-‘atha) yang merata kepada seluruh rakyat secara merata baik sipil maupaun militer, tapi tentu saja tunjangan ini tidak sama jumlahnya.[13]
(f). Menciptakan mata uang resmi negara.
(g). Membentuk ahl al–hilli wa al–aqdi yang bertugas untuk memilih pengganti khalifah.
2. Dinamika Intelektual
Selain dari menetapkan tahun hijriah yang dihitung dari sejak berhirahnya nabi Muhammad Saw ke Madinah, pada masa khalifah umar bin khattab juga tercatat ijtihad-ijtihad baru. Beberapa sebab-sebab munculnya ijtihad baru di masa awal Islam berkataitan dengan al-Qur’an maupun sunnah.
Pada waktu itu dalam al-Qur’an sudah ditemukan kata-kata yang musytarak, makna lugas dan kiasan, pertentangan nash, juga makna tekstual dan kontekstual. Hal ini yang mewarnai munculnya ijtihad Umar. Di sisi lain pengaruh faktor ekonomi, sosial dan militer juga sangat besar, yakni dengan meluasnya wilayah kekuasaan Islam, maka rakyat semakin heterogen.
a) Kebijakan Hukum
Di antara hasil ijtihad Umar bin al-Khaţţāb dalam implementasi hukum Islam yang tidak senada dengan hukum pedoman normatif Islam adalah sebagai berikut:[14]
1) Tidak memberikan jatah mu’allaf padahal ayat al-Qurān sudah jelas menetapkannya. Dalam pandangan Umar, pemberian bagian zakat kepada golongan muallaf pada awalnya dilakukan karena melihat yang ada pada saat itu, yaitu kondisi mental para muallaf yang masih rawan untuk dapat kembali berbuat tidak baik kepada kelompok Islam, yang saat itu juga masih dalam kondisi lemah. Oleh karenanya, kelompok ini perlu untuk diberikan. Akan tetapi menurut khalifah umar bin khattab, ketika kondisi umat Islam telah mampu mandiri dan dalam kondisi sangat kuat, maka pemberian tersebut tidak perlu dilakukan. Hal ini dilakukannya merupakan sebagai bagian dari siasat politik yang diterapkannya untuk memperkuat pemerintahan Islam saat itu.[15] Implementasi hukum ini berseberangan dengan Surah at-Taubah ayat 60 yang berbunyi:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَ الْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَ فِي الرِّقَابِ وَ الْغَارِمِينَ و َفِي سَبِيلِ اللَّهِ و َاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ و َاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (60)[16]
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk membebaskan orang yang berutang, untuk yang berada di jalan Allah dan untuk orang yang sedang di dalam perjalanan sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
2) Tidak memotong tangan pencuri karena kondisi sedang paceklik. Padahal ayat al-Qurān menyatakan dengan jelas hukuman potong tangan bagi pencuri. Implementasi hukum ini berseberangan dengan Surat al-Māidah ayat 38-39:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (38) فَمَن تَابَ مِن بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ (39)[17]
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
3) Pada masa awal Islam, ketika Khaibar ditaklukkan, Nabi Muhammad mengambil kebijakan sebagai jatah harta rampasan maka 4/5 harus diberikan kepada bala tentara penakluk. Namun, hal ini tidak dilakukan oleh Umar karena kondisi keuangan di Baitul al-Māl sedang menipis sementara jumlah fakir miskin banyak. Sebab, saat dibandingkan jumlah tentara dan penduduk satu lawan tiga. Akhirnya, Umar memutuskan bahwa tanah tetap menjadi milik penduduk yang ditaklukkan dan penduduk dibiarkan dalam kebebasan.
4) Melarang umat Islam di masanya untuk menikah dengan wanita ahlul al-Kitāb sementara ayat al-Qurān jelas membolehkan. Alasan khalifah umar bin khattab adalah bahwa saat itu telah banyak umat Islam yang menikahi ahl al-Kitāb sehingga wibawa umat Islam menurun. Di samping itu, dikhawatirkan keturunannya akan meninggalkan Islam. Implementasi hukum ini berseberangan dengan Surat al-Māidah ayat 5.
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ(5) [18]
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan, di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi”
5) Menetapkan ucapan talak satu kali sama dengan tiga kali, karena umat Islam banyak yang bermain-main dalam masalah talak. Bertentangan dengan Surat al-Baqarah ayat 229, sebagai berikut:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ (229)[19]
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”
6) Menetapkan jumlah hukuman cambuk untuk pemabuk dari 40 yang ditetapkan oleh Hadith Nabi menjadi 80 agar pelakunya jerah.
b) Kebijakan Peradilan
Dalam bidang peradilan, Umar terkenal dengan risalah qodhonya, yakni surat yang berisi hukum acara peradilan meskipun masih sederhana. Surat yang mulanya dia kirimkan kepada qadhi Abu Musa al-Asy’ari di Kufah.[20] Dalam mata kuliah Sistem Peradilan Islam dan yang semacamnya, surat khalifah umar bin khattab ini dipandang sebagai hukum acara pengadilan tertulis pertama dalam Islam.
c) Kebijakan Ekonomi
Dalam perjalanannya menjadi khalīfah, khalifah umar bin khattab mengumumkan kepada rakyat tentang pengaturan kekayaan negara Islam. Beliau berkata: “Barang siapa ingin bertanya tentang al-Qurān, maka datanglah pada ‘Ubay ibnu Ka’ab. Barang siapa bertanya tentang ilmu farāid (ilmu warisan), maka datanglah pada Zāid ibnu Tsābit. Barang siapa bertanya tentang harta, maka datanglah padaku. Karena Allah SWT telah menjadikanku sebagai penjaga dan pembagi harta”. Di antara kebijakan-kebijakan Umar menggunakan dasar-dasar sebagai berikut :
(1). Negara Islam mengambil kekayaan umum dengan benar, dan tidak mengambil hasil kharaj atau harta fai’ yang diberikan Allah kepada rakyat kecuali melalui mekanisme yang benar.
(2). Negara memberikan hak atas kekayaan umum dan tidak ada pengeluaran kecuali sesuai dengan haknya, dan negara menambahkan subsidi serta menutup hutang.
(3). Negara tidak menerima harta kekayaan dari hasil yang kotor. Seorang penguasa tidak mengambil harta umum kecuali seperti pemungutan harta anak yatim. Jika dia berkecukupan, dia tidak mendapat bagian apapun. Kalau dia membutuhkan, maka dia memakai dengan jalan yang benar.
(4). Negara menggunakan kekayaan dengan benar. Strategi yang dipakai oleh Amīrul Mukminīn Umar bin Al-Khattab adalah dengan cara penanganan urusan kekayaan negara, di samping urusan pemerintahan, karena khalīfah Umar memiliki kemampuan dalam mengatur ekonomi.[21]
d) Kebijakan Zakat
Kewajiban dalam berzakat di masa Umar telah kembali normal setelah dinetralkan oleh Abū Bakar ra dengan memerangi mereka yang membangkang. Setelah itu, Umar lebih berkonsentrasi dengan persoalan penerapannya yang dipercayakan kepadanya.
Dalam sebuah riwayat, Umar juga meringankan zakat tanaman, karena tidak semua yang dipanen dapat mengembalikan modal usaha petani. Dengan demikian tidak semua buah yang dihasilkan bumi harus dikenakan zakat karena dikhawatirkan berkurang untuk kebutuhan pokok. Dengan demikian Umar telah meletakkan dasar-dasar keadilan untuk penarikan zakat. Dia memberikan petunjuk dengan melihat situasi dan kondisi agar benar-benar memperhatikan ketika pengambilan zakat. Dalam hal kebijakannya untuk tidak memberikan bagian zakat bagi salah satu asnaf, yaitu kelompok al-Mu’allaf ini, Umar mengeluarkan pendapatnya yang cukup tekenal: “Tidak ada kepentingan bagi kami atas kamu (kamu masuk Islam atau tidak), karena Allah-lah yang membuat Islam jaya dan membuat kamu kaya jika kamu masuk Islam, dan jika tidak, maka hal itu tidak menjadi masalah antara kami dan kamu semua”.
Dari pendapat yang dikeluarkan khalifah umar bin khattab tersebut, beberapa ulama banyak yang menentangnya, terutama dari golongan Shī’ah Imamiyah yang mengatakan bahwa bagaimana mungkin Umar berani mengeluarkan kebijakan yang menyangkut pendistribusian zakat tersebut kepada golongan mu’allaf yang telah ditetapkan dengan jelas dalam nas al-Qurān untuk diberikan tetapi dibatalkannya, apakah boleh ijtihad dilakukan didasarkan pada pertimbangan istihsan dari sudut pandang rasional (‘aqlīyah) dan sebab (‘illah) yang masih bersifat dzanniyyah terhadap suatu nas yang telah jelas (tsābit) mengaturnya.
Terhadap pertanyaan kontradiktif tersebut, dalam hal ini para ulama menjelaskan bahwa pendapat Umar tersebut adalah didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan yang menuntut hal tersebut (sebagaimana dijelaskan Ustadh Kahlid Muhammad Khalid dalam bukunya Al-Dimaqrathīyah. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa dalam hal ini sosok Umar dianggap sebagai tokoh yang pertama kali menetapkan suatu hukum yang masih bersifat umum (tashri’ ‘am) dengan menggunakan metode yang baru yaitu berdasarkan pertimbangan kemaslahatan untuk menghilangkan kesulitan (raf’ul haraj) dalam masyarakat.
e) Kebijakan Jizyah
Jizyah merupakan salah satu sumber pajak pada masa Umar. Jizyah dipungut dari non muslim yang hidup di bawah pemerintahan Islam tapi tidak mau masuk Islam. Pajak yang dikenakan pada mereka merupakan pengganti dari imbalan atas fasilitas ekonomi, sosial dan layanan kesejahteraan yang mereka terima dari pemerintahan Islam juga sebagai jaminan dan keamanan hidup dan harta mereka. Pajak ini mirip dengan zakat fitrah yang dipungut dari muslim setiap tahun.
Perjanjian dengan umat non muslim – ahlu dzimmah – tersebut dapat memberikan jaminan keamanan baik untuk diri mereka, harta dan agama. Selain merupakan kewajiban dari Allah SWT, jizyah juga merupakan dasar-dasar penegak hukum agar para kafir dzimmi itu dapat menikmati perlindungan dari negara Islam, seperti pembangunan, pelayanan dan fasilitas yang ada, maka mereka harus ikut berpartisipasi dalam mengelola harta kekayaan umum.
Adapun pembayarannya dilakukan setelah tiba masa panen, agar sesuai dengan situasi dan kondisi ahlu dzimmah. Mereka dapat membayar setelah sumber untuk membayar jizyah telah tersedia, yaitu hasil bumi yang telah dipanen. Dengan demikian, hal itu memberikan kemudahan dan keringan kepada mereka.
f) Kebijakan ‘Usyur[22]
Kebijakan di bidang ‘usyur yang pada masa Rasulullah dan Abu Bakar belum diperkenalkan pada ummat kini mulai diterapkan di negara Islam pada masa khalifah umar bin khattab, yang berlandaskan demi penegakan keadilan. ‘Usyur telah diambil dari para pedagang kaum muslimin jika mereka mendatangi daerah lawan. Maka dalam rangka penerapan perlakuan yang seimbang terhadap mereka, Umar bin al-Khaţţāb memutuskan untuk memperlakukan pedagang non muslim dengan perlakukan yang sama jika mereka masuk ke negara Islam.[23]
Analisa
Dari uraian dan pemaparan makalah di atas, kita bisa menilai seberapa jauh kebijakan-kebijakan yang dilakukan Umar bin al-Khaţţāb sebagai khalifah, Umar sangat brilian memainkan otaknya dengan ide dan gagasan baru yang inovatif dan seringkali melakukan sinkronisasi Konsep Tata Negara dengan Hukum Agama. Hal ini sesuai dengan peranannya selain sebagai Kepala Pemerintahan atau Umara’, ia juga sebagai Ulama’ saat memutuskan hukum agama.
Umar dengan segala kearifannya dalam menangani masalah kesejahteraan umat, dalam kebijakan-kebijakan, berpandangan jauh kedepan, tidak hanya memandang kepentingan sesaat, dengan ketajaman otaknya, mencerna al-Qur’an dan hadis-hadis nabi, tidak harus ditafsirkan secara harfiah tetapi juga harus dimengerti maksud dan isinya kemudian diaplikasikan pada tataran konteks yang berlaku.
Hal itu disebabkan karena pemikiran hukum Umar lebih menempatkan implementasi esensi Hukum Islam sebagai Rahmatan lil ‘alamīn, yang selain menyentuh aspek-aspek ritual (ta’abbudi) juga menyentuh aspek sosial (ijtimāī), dan aspek kultural (thaqāfī).
Dalam menghadapi era transformasi dan revolusi masyarakat yang dipimpinnya ia tidak ingin memodifikasikan Islam yang disekulerkan. Namun, ia cenderung menerapkan Islam sesuai dengan sosio, kultural dan ekonomi masyarakat kala itu. Sehingga, tidak terbatas pada kesakralan simbol-simbol Islam.
Penutup
Langkah kebijakan yang diambil Khalīfah Umar memberi pemahaman kepada kita bahwa ijma’ (konsensus) maupun ijtihad, keduanya merupakan prinsip ketiga dan keempat dalam urutan hirarkis prinsip-prinsip Syariat Islam. Dengan kata lain, prinsip-prinsip itulah yang menjadi komplementer dalam menyempurnakan Syariat Islam. Sebab itu, statemen mengenai “pemberlakuan Syariat Islam secara sempurna” adalah tidak benar, setidaknya jika dilihat dari segi prinsip-prinsip dalam syariat itu sendiri.
Agama Islam yang rahmatan li al-‘alamin sebagai agama untuk seluruh umat manusia tidak dapat diberlakukan secara sempurna, kecuali jika telah memenuhi prinsip-prinsip yang empat: al-Qur’ān, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas (baca: ijtihad). Demikianlah kebijakan-kebijakan hukum Umar, yang sarat dengan prinsip kemaslahatan. Penanganan permasalahan yang termasuk juga di dalamnya permasalahan hukum karena, suatu negara memerlukan sosok yang handal dan mampu menggabungkan antara pengetahuan teoritis dan pengalaman praktis mengenai kekayaan negara.
*situs: www.rangkumanmakalah.com
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qurān
Aqqad, Abbas Mahmud. Keagungan Umar bin Khattab. Solo: Pustaka Mantiq, 1992.
Haekal, Muhammad Husain, al-Faruq Umar. Cairo: Dar al-Ma’arif, 1977.
Hodgson, Marshall. The Venture Of Islam. Chicago: Chicago University Press, 1974, Jil. I.
Ja’far, Abu. Tarikh at-Thabari. Cairo: Dar al-Ma’arif, 1973, Jil. IV.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilm Ushul al-Fiqh. Cairo: Dar al-Hadith, 1423 H.
Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Ummat Islam, terj. Ghufron. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999.
Maududi (al), Abul A’la. Khilafah dan Kerajaan. Jakarta: Mizan, 1996.
Nuruddin, Amiur. Ijtihad Umar bin Khattab. Jakarta: Rajawali Press, 1991.
Shidqi (al), Hasbiy. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
Redha, Muhammad. al-Farouk the Second Caliph, terj. Muhhammad Agha. Beirut: International Publishing house, 1999.
Sholabi (al), Ali Muhammad. Umar bin al-Khattab Syakhsiyyatuhu wa ‘Ashruhu. Beirut: Dar al-Aiman, 2002.
———————————–Umar bin Khattab His Life and Times. Beirut: International Publishing House, 1999.
Quthb, Ibrahim Muhammad. Kebijakan Ekonomi Umar bin Khattab. Jakarta: Pustaka Azzam, 2002.
Hitti. Pillip K, Histori Of The Arabs, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010.
[1]Ali Muhammad Muhammad as-Sholabi, Umar bin al-Khaţţāb Syakhsiyyatuhu wa ‘Ashruhu (Beirut: Dar al-Aiman, 2002), 36.
[2]Muhammad Husain Haekal, al-Faruq Umar (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1977), 35.
[3]Ibid., 39.
[4]Ibid., 37.
[5]Ibid., 38.
[6]Quthb Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaţţāb (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), 8.
[7]Abbas Mahmud Aqqad, Keagungan Umar bin Khaţţāb (Solo: Pustaka Mantiq, 1992), 46.
[8]Marshall Hodgson, The Venture Of Islam (Chicago: Chicago University Press, 1974), Jil. I, 315.
[9]Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, terj. Ghufron (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), 63.
[10]Abu Ja’far, Tarikh at-Thabari (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1973), Jil. IV, 112.
[11]Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan (Jakarta: Mizan, 1996), 124.
[12] Peralihan administrasi yang diterapkan oleh khalifah umar bin khottob adalah diangkatnya abu ubaydah menggantikan kholid bin walid sebagai gubernur jenderal dan wakil khalifah. Lihat: Philip K Hitti, History Of The Arabs (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010),191
[13]Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin Khattab (Jakarta: Rajawali Press, 1991), 128.
[14]Kebijakan-kebijakan ini bisa dilihat di buku-buku sejarah tentang khalīfah Umar, seperti karya Husain Haikal, Muhammad Redha, Jalaluddin al-Suyuti dan lainnya.
[15]‘Ali Muhammad as-Shalabi, Umar bin Khaţţāb His Life and Times (Beirut: International Publishing House, 1999), 56.
[16]Al-Qurān, 9: 60.
[17]Ibid., 5: 38-39.
[18]Ibid., 5: 5.
[19]Ibid., 2: 229.
[20]Hasbiy as-Shidqi, Sejarah Peradilan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), 26.
[21]Muhammad Redha, al-Farouk the Second Caliph, terj. Muhhammad Agha (Beirut: International Publishing house, 1999), 74.
[22]‘Usyur adalah pajak yang dikenakan atas barang-barang dagangan yang masuk ke negara Islam, atau datang dari negara Islam itu sendiri. peraturan usyr ini telah ada sejak zaman sebelum Islam, yaitu seperti yang diterapkan oleh orang-orang Yunani.
[23]Aqqad, Keagungan Umar bin Khattab, 46.
Maksih atas artikelnya… blognya bagus ya.